- Beranda
- Komunitas
- Cinta Indonesiaku
KISAH YOHANA MARPAUNG MASUK HUTAN DEMI PENDIDIKAN ANAK RIMBA


TS
masramid
KISAH YOHANA MARPAUNG MASUK HUTAN DEMI PENDIDIKAN ANAK RIMBA
KISAH YOHANA MARPAUNG
MASUK HUTAN DEMI PENDIDIKAN ANAK RIMBA
YOHANA
Pamella Berliana Marpaung. Perempuan ini memilih berjuang mengajar anak-anak rimba hutan pedalaman Jambi di masa pandemi Covid-19. Ini pilihan bebas, tidak ada yang mengharuskan dia begitu.
Itu pun, dia harus berhadapan dengan aneka tantangan, termasuk dari para Orang Rimba. Ikut berpindah-pindah di dalam hutan dia jalani juga dalam proses membantu pendidikan anak-anak Rimba ini.
Yohana memang berlatar staf pendidikan kelompok marginal di Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Ini lembaga non-profit yang berdiri sejak 27 Desember 1991.
Selama pandemi, pendidikan anak-anak dari suku Orang Rimba makin termarjinalkan. Tidak memungkinkan pendidikan mereka dilakukan menggunakan teknologi informasi.
“Sekolah tutup sampai waktu tak ditentukan. Anak-anak telantar tidak bisa belajar. Saya terpanggil untuk mendampingi mereka, mengajari mereka dari hutan ke hutan,” kata Yohana, Minggu (12/7/2020).

Aktivitas Yohana bersama Anak Rimba di Jambi. - (DOK PRIBADI/YOHANA MARPAUNG)
Yohana mulai menjalani aktivitas ke pedalamanan tersebut sejak April 2020. Awalnya, dia menuju rumah singgah KKI Warsi di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Jambi.
Namun, rupanya anak-anak dijemput orangtua mereka dan ikut masuk ke hutan selama sekolah tutup.
“Orangtua mereka menjemput, karena takut anaknya terserang virus corona,” kata Yohana
Meyakinkan kembali para orangtua untuk mengizinkan anak-anaknya kembali ke rumah singgah adalah strategi jemput bola Yohana.
Baca juga: Kisah Yohana Mengajar Anak Rimba di Masa Pandemi
Perjalanan jemput bola ini tidak mudah. Menggunakan sepeda motor, butuh waktu tujuh hingga delapan jam dari satu sudong Orang Rimba ke sudong lainnya. Sudong adalah tempat tinggal Orang Rimba—sebutan lain Suku Kubu untuk dirinya sendiri—di dalam hutan.
Proses meyakinkan para orangtua ini tidak mudah. Yohana harus menjelaskan dia punya surat dokter yang menyatakan dia bebas dari Covid-19. Riwayat perjalanannya pun diceritakan rinci.
Sudah begitu, dia tetap harus menjalani karantina ala Orang Rimba. Sebutannya besesandingon. Lalu, dia harus pula menerapkan sesalungun, istilah untuk jaga jarak menurut kearifan lokal.
Proses belajar
Setelah melewati perjalanan panjang dan upaya meyakinkan para orangtua, Yohana baru bisa bertemu dengan anak-anak. Mereka dia bawa ke rumah singgah KKI Warsi. Ada belasan anak bersamanya saat ditemui Kompas.com.

Anak-anak rimba sangat antusias belajar dengan guru rimba, Yohana Marpaung.
DOK PRIBADI/YOHANA MARPAUNG
Untuk proses belajar, Yohana berinisiatif mendatangi kepala sekolah setempat untuk meminjam buku. Dia juga berkonsultasi tentang materi yang harus diajarkan selama sekolah tutup.
"Agar anak-anak tidak ketinggalan pelajaran,” kata Yohana.
Fokus pelajaran yang diberikan Yohana adalah membaca, menulis, dan berhitung. Dia menggunakan metode belajar sambil bermain. Artinya, tidak ada jadwal khusus, terlebih Anak Rimba tidak memahami konsep waktu seperti kita yang tidak tinggal di hutan.
"Kadang-kadang saat belajar di rimba, waktu gelap anak tidur. Tengah malam, mereka bangun minta belajar lagi. Kita yang sesuaikan keinginan mereka buat belajar," tutur Yohana memberikan gambaran.
Baca juga: Kisah Maria "Sang Dokter Rimba", Ambil Alih Tugas Dukun Hantu Pedalaman Jambi
Menurut Yohana, anak-anak ini sebenarnya punya semangat tinggi untuk belajar. Setelah belajar tengah malam dan tidur lagi selama empat hingga lima jam, mereka bangun untuk balajar lagi sampai matahari terbit.
Selain baca, tulis, dan hitung, anak-anak ini belajar juga membuat kerajinan tangan dan bercocok tanam. Dengan beragam tantangan, kurikulum yang mencakup pelajaran tematik juga tetap diberikan, bermodal buku pinjaman dari sekolah.
Pindah-pindah tempat
Selain mengajar di rumah singgah, Yohana juga mengajar anak-anak yang orangtuanya berpindah-pindah dari kebun sawit ke hutan kemudian ke kebun sawit lagi.
Kendati tidak menetap, perpindahan Orang Rimba masih bisa dijangkau, tetap dalam kawasan Bukit Duabelas, tepatnya Desa Bukit Suban.
Sebagian Orang Rimba masih memilih berpindah-pindah tempat. Salah satunya, kelompok Meriau.
Perpindahan lokasi berdiam adalah cara Orang Rimba bertahan dari virus. Dengan berpindah, peluang untuk bertemu dengan orang luar semakin sedikit.
Sebelum mendatangi rombongan Meriau, santer terdengar kabar Yohana akan ditolak. Orang Rimba melarang orang luar masuk ke lingkungan mereka.
Dalam perjalanan mencari kelompok Meriau, Yohana bertemu anak-anak dari rombongan itu yang sedang membrondol atau memungut buah sawit yang jatuh dari pohon atau dari mobil perusahaan saat panen.
Meski sudah kenal Yohana, anak-anak itu tetap kabur dan bersembunyi karena ketakutan. Tantangan lagi bagi Yohana untuk mengajak mereka belajar lagi.
“Kami andok, induk awok marah. Kami mau, tapi ibu kami marah,” kata Yohana menirukan kata Matam, salah satu anak Rimba yang dia temui itu.
Untuk meyakinkan rombongan Meriau, Yohana tinggal dan ikut berpindah bersama mereka. Tentu, awalnya dia ditolak dan dijauhi. Namun, melihat Yohana tetap bertahan selama sepekan, Orang Rimba pun luluh dan mengizinkan anak-anaknya belajar bersamanya.
Sama seperti proses belajar yang tak memungkinkan dilakukan dalam jaringan, ujian kenaikan kelas bagi anak Rimba juga harus dilakukan manual.
Yohana datang ke sekolah, mengambil soal ujian, lalu mendampingi anak-anak mengerjakan soal ujian, dan menyerahkan kembali lembar jawaban ke sekolah.
Kebanyakan anak-anak rimba di Bukit Duabelas terdaftar sebagai siswa di SDN 191 Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
“Anak-anak mau ujian, tetapi tidak boleh tatap muka di sekolah. Jadi kami minta tolong bapak ibu untuk mengambil soal anak-anak asuhnya agar bisa dikerjakan di rumah. Soal dijemput hari Senin 15 Juni pukul 09.00 di sekolah,” bunyi pesan dari Kepala Sekolah SD 191 yang masuk ke ponsel Yohana.
Mewujudkan mimpi.
Meski ada beragam tantangan berat, harus pula bergelut dengan kesunyian hutan, tak ada sinyal seluler, bertemu satwa liar, dan menempuh perjalanan jauh, Yohana menyebut semua ini sebagai upaya mewujudkan mimpi.
"Ada kegelisahan di hati melihat kondisi mereka saat ini," kata Yohana.
Yohana mengaku punya impian mengajar di rimba sejak masih sekolah di SMA. Dia tertarik dengan Orang Rimba setelah membaca buku dan publikasi KKI Warsi di media sosial tentang suku ini.
Saat orang-orang sibuk dengan urusan teknologi terbaru, model rumah minimalis, lampu emergensi, atau ragam pilihan makanan, Yohana melihat masih ada saudara-saudara kita yang hidup seadanya di hutan dan tak jarang terancam kelaparan.
"Rumah (mereka) hanya dari kayu, terpal, tanpa dinding, makanan pada umumnya dimasak dengan cara merebus," lanjut Yohana.
Sebelum mengajar di rimba sejak November 2018, Yohana pernah menjadi peneliti independen. Keluar masuk hutan di Pulau Kalimantan dan di Nusa Tenggara Timur pernah dia lakoni.
Selain itu, Yohana juga sempat bekerja untuk Bank Dunia dan Kantor Staf Presiden. Namun, panggilan hatinya adalah mengajar anak-anak dari Orang Rimba.
Menurut Yohana, pemerintah masih kurang mempedulikan anak-anak dari suku termarjinal, terutama soal pendidikan. Padahal, kata dia, anak-anak Rimba pun cerdas. Namun, situasi membuat mereka cenderung pemalu dan minder sehingga potensinya tak keluar optimal saat mengikuti sekolah formal.
Ancaman kehidupan pun mengintai Orang Rimba seturut makin banyaknya hutan dibuka untuk kebun sawit. Lahan penghidupan semakin sempit dan mereka belum mampu beradaptasi dengan lingkungan yang mulai rusak.
Gaya hidup yang datang bersama pembukaan hutan sawit pun punya pengaruh ke Orang Rimba. Ponsel, misalnya, ingin dimiliki pula oleh Orang Rimba. Bedanya, ponsel bukan dipakai untuk komunikasi melainkan untuk memutar lagu saat di hutan.
Adakah yang lain tergerak juga seperti Yohana dan sejumlah kawan-kawannya?***
https://regional.kompas.com/read/202...page=all#page2
0
516
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan