Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Buruh Dihasut Lengserkan Jokowi, Demi Halal MUI
Spoiler for Demo Buruh:


Spoiler for Video:


Bagaimana kalau anak sakit. Bagaimana obat. Bagaimana dokter. Bagaimana rumah sakit. Bagaimana uang. Bagaimana gaji. Bagaimana pabrik? mogok? Pecat! Mesin tak boleh berhenti.

Paragraf tersebut adalah penggalan dari puisi berjudul Buruh-Buruh yang diciptakan oleh Widji Thukul. Puisi itu menggambarkan keluh kesah dari para buruh yang sebenarnya hanya menginginkan kehidupan lebih layak. Mereka tak inginkan hal yang muluk-muluk. Peduli setan dengan perpolitikan atau apa pun itu, yang penting berpenghasilan cukup dan tidak kekurangan.

Itulah mengapa bila ada Undang-Undang yang merugikan para buruh, akan mereka tentang sekuat tenaga dengan cara unjuk rasa, karena itu lah yang mereka punya. Contohnya dapat kita lihat akhir-akhir ini saat para buruh menggelar rentetan demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law. 

Aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja telah terjadi semenjak Omnibus Law Cipta Kerja masih menjadi agenda di awal tahun 2020. Namun puncaknya saat UU Cipta Kerja disahkan DPR 5 Oktober 2020 silam. Alhasil, berbagai aksi mogok dan demonstrasi pun dilakukan untuk melawannya.

Dari berbagai pasal Omnibus Law Ciptaker yang dinilai bermasalah, terdapat tiga di antaranya yang mengancam kehidupan para pekerja. Pertama tentang tidak adanya batas waktu dan jenis pekerjaan dalam sistem kontrak yang menyebabkan para pekerja dapat dikontrak seumur hidup. Kedua, status kontrak akan berimplikasi pada hilangnya jaminan sosial dan kesejahteraan. Ketiga, dihapusnya upah minimum sektoral, adanya persyaratan dalam penerapan upah minimum kabupaten/kota, serta diwajibkannya penerapan upah minimum provinsi (UMP) yang nilainya lebih rendah.

Sumber : BBC[Omnibus Law: Alasan buruh berdemo di tengah ancaman virus corona - 'Covid-19 berdampak satu generasi, Omnibus Law hingga tujuh turunan’]

Itulah mengapa selama 12 hingga 16 Oktober 2020, serikat pekerja yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI) akan terus menggelar aksi demo menolak UU Ciptaker. “Bahwa UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan sangat mendegradasi hak-hak dasar buruh jika dibandingkan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," begitu bunyi surat resmi dari KSBI.

Sumber : Detik [Alasan Buruh Lanjutkan Demo Tolak Omnibus Law Cipta Kerja]

Dengan kata lain, buruh sebenarnya hanya menolak UU Ciptaker Klaster Ketenagakerjaan.

Akan tetapi, dalam melakukan demonstrasi, ada saja pihak lain yang berupaya menunggangi ombak massa buruh yang banyak. Mereka seolah turut memperjuangkan hak-hak para buruh, namun kenyataannya ada agenda lain di belakangnya. 

Seperti aksi demo tanggal 13 Oktober 2020 lalu di Jakarta. Aksi tersebut dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) bersama dua ormas Islam lainnya yakni Persaudaraan Alumni 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Ketiganya bergabung dalam wadah bernama Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI.

Dalam aksi demonstrasi tersebut, ormas-ormas Islam itu mengusung lima tuntutan kepada pemerintah dan DPR. Pertama, menolak RUU HIP/BPIP dan menangkap inisiatornya. Kedua, membubarkan partai makar terhadap Pancasila. Ketiga, mendesak MPR memakzulkan Presiden Jokowi. Keempat, menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kelima, membatalkan Perppu Corona.

Sumber : CNN Indonesia [FPI Demo Tolak Omnibus Law, Usung Lima Tuntutan]

Aneh, bukankah para buruh hanya menolak UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan? Para buruh tidak pernah menuntut Presiden mundur dari jabatannya seperti yang menjadi tuntutan ANAK NKRI. Gerakan Blok Islam yang tergabung dalam ANAK NKRI justru berlawanan dengan tujuan utama para buruh serta para aktivis yang menuntut hak tenaga kerja dalam Omnibus Law.

Aksi Blok Islam ANAK NKRI memang berjalan damai hingga mereka membubarkan diri. Namun, setelah aksi berakhir sekitar pukul 16.00 WIB, tiba-tiba ada sekelompok pelaku anarkis yang menyusup dalam barisan kelompok ANAK NKRI. Para penyusup lantas melempari petugas gabungan dengan batu dan benda-benda lainnya yang menyebabkan aksi berujung kericuhan.

Terlihat jelas para perusuh memanfaatkan situasi jelang bubar untuk melancarkan kerusuhan dengan memprovokasi massa melempari petugas. Para perusuh rata-rata adalah anak sekolah yang datang dari Bogor, Bekasi, Depok, dan Banten.

Sumber : [url=https://akuraS E N S O Rnews/id-1223444-read-garagara-penyusup-anarko-aksi-demo-1310-berujung-kerusuhan]Akurat[/url] [Rusuh, Aksi Demo 1310 Disusupi Kelompok Anarko]

Mereka itulah yang disebut-sebut sebagai kelompok anarko. Massa perusuh yang rata-rata masih berusia sekolah itu sedari awal telah menyebabkan rentetan aksi demo damai menolak Omnibus Law menjadi kericuhan. Terutama saat demo pada 8 Oktober 2020 lalu.

Pertanyaannya, mengapa mereka berbuat kericuhan di tengah aksi damai yang berlangsung? Apakah yang menyebabkan siswa-siswa itu dapat berbuat brutal? Mereka yang ditangkap selalu mengatakan bahwa ajakan melakukan demonstrasi didapat dari WhatsApp Grup (WAG) masing-masing. Para pelajar pun terhasut dengan alasan solidaritas.

Mungkin saja ini ada kaitannya dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Sebelumnya Ketua KAMI Medan, Khairi Amri ditangkap karena diduga menjadi penggerak massa pendemo yang berujung kericuhan. Ketika aparat menyita dan memeriksa handphone-nya, ditemukan WAG ‘KAMI Medan’ yang di dalamnya ada ajakan untuk menggelar unjuk rasa ricuh.

Khairi Amri pun mengakui adanya ajakan demonstrasi rusuh di WAG ‘KAMI Medan’. Salah satu member grup menyerukan ajakan demo seperti 1998. Berdasarkan pengakuan Khairi, ia bertindak sebagai inisiator KAMI Medan sekaligus admin dengan member yang berisikan 40 orang. Ia juga mengatakan ada beberapa admin lain selain dia. Khairi mengklaim jarang mengecek isi percakapan grup KAMI Medan karena kesibukannya bekerja. Karena jarang memantau percakapan grup, ia baru menyadari ada kalimat ajakan demo rusuh oleh dua member grupnya.

Sumber : Detik [Ketua KAMI Medan Akui Ada Ajakan Demo Rusuh Seperti '98 di Grup WhatsApp]

Jika ada ajakan berbuat rusuh seperti 1998 di dalam WAG KAMI Medan, maka bukankah ada kemungkinan ajakan berbuat rusuh itu masuk ke dalam jaringan WAG pelajar?

Jika begini akhirnya maka tujuan dari para buruh dan aktivis untuk memperjuangkan hak buruh justru ternoda oleh hasutan kelompok KAMI. Apalagi KAMI telah mengakui bahwa mereka berpolitik.

Sehingga kita dapat simpulkan bahwa kemungkinan besar Blok Islam seperti ANAK NKRI (FPI, PA 212, GNPF Ulama) serta KAMI tidak serta merta bertujuan untuk memperjuangkan hak buruh. Mereka memiliki agenda utama lain. Perjuangan hak buruh hanyalah kesempatan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

Tapi apakah aksi buruh cuma ditunggangi demi kepentingan menggulingkan pemerintah?

Ternyata masih ada lagi. Parahnya ini bersifat komersil. Pada 9 Oktober 2020 lalu, dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K Sarbumusi) menuntut Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Serikat Pekerja yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) itu mengatakan Perppu harus diterbitkan dalam waktu 1 tahun jika UU Cipta Kerja tak berdampak signifikan pada investasi.

Selain itu, DPP K Sabumusi juga menolak klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. DPP K Sarbumusi menginstruksikan kepada seluruh basis DPC, DPW dan federasi untuk menyuarakan sikap organisasi dengan cara dan bentuk yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing kepengurusan.

Sumber : Kompas [Serikat Pekerja Afiliasi NU Minta Jokowi Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja]

Terlihat bahwa tujuan utama dari seikat buruh terafiliasi dengan NU ini berbeda dari tuntutan para buruh. Saat para buruh fokus pada penolakan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, Sarbumusi seolah menyuarakan penolakan UU Ciptaker Klaster Ketenagakerjaan sebagai sampingan. Pantaskah kita mencurigai bahwa sebenarnya penolakan UU Ciptaker yang mereka lakukan atas nama buruh adalah tunggangan kepentingan dari NU?

Seandainya NU benar-benar fokus membela hak-hak para buruh, tentunya mereka hanya akan fokus pada RUU Ciptaker Klaster Ketenagakerjaan. Namun ternyata ada kepentingan NU yang banyak berada di MUI terancam karena UU Ciptaker. Yakni terkait sertifikasi halal.

Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh MUI, maka Omnibus Law memberi alternatif lain. Sertifikat dapat diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Direktur Eksekutif Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah menyebutkan pada pasal 35A ayat 2 UU Cipta Kerja, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka BPJPH dapat menerbitkan sertifikat halal.

Iksan menilai UU Ciptaker mengubah BPJPH sebagai otoritas tunggal atas segala hal yang berkaitan dengan proses sertifikasi halal. Sementara MUI hanya berperan sebagai subordinat atau bawahan BPJPH. Iksan menilai seharusnya UU Ciptaker menggunakan pendekatan yang humanis dan tetap menghormati MUI sebagai representasi ulama di tanah air. Sebab aturan sertifikasi halal yang tercantum dalam beleid tersebut akan sulit diimplementasikan tanpa adanya dukungan dari ulama.

Sumber : Ekonomi [UU Cipta Kerja Sah, Rezim Sertifikasi Halal Berubah]

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pun turut memberikan komentar terkait berkurangnya ‘peran’ ulama dalam sertifikasi halal di UU Ciptaker. Ia menyoroti kelonggaran sertifikasi halal dari aspek syariah dampak pemberlakuan Omnibus Law.

Ia mencontohkan UU Ciptak Kerja mengabaikan syarat auditor halal harus sarjana syariah. Menurutnya ketika sarjana nonsyariah menjadi auditor halal maka kekuatan sertifikasi halal secara keagamaan menjadi berkurang. Kyai Said Aqil pun menuding bahwa UU Cipta Kerja mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa halal kepada satu lembaga.

Sumber : Suara [Astagfirullah, UU Cipta Kerja Picu Kelonggaran Syariah Sertifikasi Halal]

Namun apakah begitu adanya? Sebab dijelaskan dalam UU Ciptaker Pasal 33 bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI maupun ormas lain yang berbadan hukum, kemudian disampaikan kepada BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal dalam waktu tiga hari kerja. Dengan kata lain ada lembaga selain MUI yang berbadan hukum yang dapat mengajukan sertifikasi halal. Bukankah ini sama dengan desentralisasi? Berlawanan dengan klaim dari Kyai Said Aqil.

Jika MUI khawatir kekuatan sertifikasi halal secara keagamaan menjadi berkurang, bukankah pemerintah dapat membuat Peraturan yang menetapkan kriteria ketat kepada lembaga selain MUI?

Adanya kemudahan bagi para pegiat UMKM mendapatkan sertifikasi halal bahkan disambut baik oleh Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Dedi Irawan. Dedi menjelaskan, dalam pasal 44 ayat 1 UU Ciptaker disebutkan bahwa sertifikasi halal yang diajukan oleh UMKM tidak dikenakan biaya. Kemudahan proses pengajuan dan biaya yang dibebankan pada negara akan mendorong pelaku UMKM segera mendaftarkan usahanya untuk mendapatkan sertifikasi halal.

Sumber : RMOL Jateng [Pemuda Muhammadiyah Sambut Baik Kemudahan Sertifikasi Halal Di UU Ciptaker]

Banyak mereka yang memiliki kepentingan lain namun berlindung di balik topeng memperjuangkan hak-hak buruh. Padahal buruh hanya menginginkan hidup yang berkecukupan dan tak kurang. Tapi sayang, bagi mereka yang memiliki kepentingan politik dan uang, buruh hanyalah tunggangan. 
Diubah oleh NegaraTerbaru 15-10-2020 22:02
dionovirwanAvatar border
satyadimitriAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 4 lainnya memberi reputasi
1
847
20
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan