Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Kapolri Pilih Kesehatan (PSBB DKI) Ketimbang Ekonomi (Omnibus Law)
Spoiler for Konvoi Buruh:


Spoiler for Video:


Bagi setiap warga Indonesia, menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak. Ia bahkan telah diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Dengan adanya pasal itu seharusnya rakyat dapat merdeka dalam mengeluarkan pendapat baik berupa lisan maupun tulisan. Termasuk bagi para buruh yang menolak kebijakan pemerintah atau pun perusahaan yang tidak menguntungkan para pekerja. Mereka menyuarakan pendapat lewat mogok bekerja dan demonstrasi.

Apakah cara penyampaian seperti ini salah? Tentu saja tidak, buruh boleh saja mogok dan berdemo, karena memang itu cara mereka menyuarakan aspirasi supaya dapat didengar.

Menyuarakan aspirasi dengan cara berdemo pun tetap menjadi pilihan para buruh dalam menolak Omnibus Law Cipta Kerja terutama Klaster Ketenagakerjaan yang telah disahkan DPR pada 5 oktober 2020 lalu. Itulah mengapa jutaan buruh melakukan mogok secara nasional. Itulah mengapa sebagian dari mereka terutama yang berada di kawasan industri seperti Tengerang dan Bekasi ingin ke Jakarta menyuarakan rasa keberatannya pada DPR.

Sayang, rombongan demo buruh yang ingin ke Senayan tertahan di perbatasan Bekasi dan Tangerang. Pada 5 Oktober 2020, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono mengatakan aparat menahan rombongan massa. Mereka disekat di kawasan industri EJIP Bekasi dan depan kantor Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KC FSPMI) Tangerang.

Usut punya usut ternyata demo buruh tidak diizinkan Polda Metro Jaya karena melanggar peraturan PSBB yang masih berlaku hingga 11 Oktober mendatang. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melarang ada kerumunan dan keramaian yang berpotensi mempercepat penularan corona.

Sumber : Tempo[KSPI: Rombongan Demo Buruh Tolak Omnibus Law Ditahan di Bekasi dan Tangerang]

Penyekatan buruh ini pun diperkuat dengan perintah Kapolri melalui surat telegram tertanggal 2 Oktober 2020 yang melarang demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja dan mogok kerja para buruh. Pihak Kepolisian mengatakan telegram tersebut diterbitkan dengan asas keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto. Unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral, dan hukum di tatanan masyarakat.

Sumber : Medcom [Kapolri Keluarkan Telegram Larangan Demonstrasi saat Pandemi]

Namun timbul pertanyaan. Jika telegram Kapolri melarang buruh berdemonstrasi karena pandemi, mengapa mereka dibiarkan berkumpul di perbatasan Jakarta? Mengapa demo menolak Omnibus Law tetap terjadi di daerah lainnya?

Sejak Selasa 6 Oktober 2020, ribuan orang dari kalangan buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil secara serentak melakukan aksi demo menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka melakukan aksi di kota-kota besar seperti Bandung, Serang, Tangerang, Bogor, Bekasi, Solo, hingga Surabaya.

Tengok saja Bandung, di Kota Kembang mahasiswa menggelar aksi di depan gedung DPRD Jawa Barat. Tak hanya mahasiswa, ribuan buruh pun menggelar aksi serupa di Balai Kota Bandung. Kedua kelompok yang menolak Omnibus Law Ciptaker ini menyatakan akan terus menggelar aksi hingga UU itu dibatalkan.

Di Serang, Banten, ratusan buruh melakukan aksi di depan kantor PT Parkland World Indonesia. Mahasiswa pun melakukan aksi serupa di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanuddin (SMH).

Begitu juga aksi serupa terjadi di Bekasi dan Surabaya. Buruh melakukan aksi di beberapa tempat di Bekasi, sedangkan di Surabaya, buruh menggelar aksi di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Timur.

Kondisi ini bertolak belakang dengan DKI Jakarta. Aksi demonstrasi massal belum terjadi. Bahkan 9.236 aparat gabungan TNI-Polri disiagakan untuk menjaga sejumlah lokasi, terutama wilayah perbatasan Jakarta sehingga menyebabkan buruh tak dapat masuk ke ibu kota.

Sumber : CNN Indonesia [Demo Tolak Omnibus Law: Panas di Daerah, Adem di Jakarta]

Hal yang menarik juga untuk diperhatikan adalah, bukan hanya demonstrasi buruh penolak Omnibus Law yang dilarang terjadi di DKI. Pada tanggal 5 Oktober 2020, massa yang merupakan para pekerja hiburan malam dan mengatasnamakan diri Srikandi Pekat (Pembela Kesatuan Tanah Air) IB melakukan demo di depang Gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka menuntut agar PSBB dicabut dan Pemda DKI mau memberi solusi bagi pekejra hiburan malam.

Akan tetapi setelah mediasi di DPRD, demo pekerja hiburan malam itu ternyata dibubarkan pihak Kepolisian. Aparat membubarkan massa karena selain demo itu tidak berizin, mereka juga dianggap tidak mematuhi protokol kesehatan Corona.

Sumber : Detik [Demo Annisa Bahar Dkk Berujung Bubar Gegara Protokol Dilanggar]

Maka kita dapat simpulkan, apapun alasan dari demo yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta, ia tak akan diperbolehkan oleh aparat.

Perbedaan perlakuan ini terjadi karena selama PSBB berlangsung, Gubernur DKI Jakarta menerbitkan aturan pelarangan membuat kerumunan. Pada 13 September lalu Gubernur Anies mengatakan kerumunan tidak boleh lebih dari lima orang. Sebab kontak langsung saat kerumunan adalah kegiatan yang paling rentan menularkan virus corona.

Sumber : Suara [Aturan Baru PSBB, Anies Larang Berkumpul Lebih Dari Lima Orang]

Sehingga kita dapat ambil kesimpulan, bahwa larangan berdemo yang dikeluarkan Kapolri lewat telegram berlaku khusus bagi DKI Jakarta. Sebab, beda dengan daerah lain di luar Jakarta yang melakukan demo besar-besaran, hanya di DKI yang demo benar-benar dilarang. Pertanyaannya, mengapa Polri lebih membela Anies Baswedan dan PSBB DKI hingga harus mencegah massa aksi Omnibus Law menyampaikan aspirasi di ibu kota?
Diubah oleh NegaraTerbaru 09-10-2020 01:02
0
480
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan