Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
RUU Super Power Kejagung : Modus Baru Pelemahan KPK
Spoiler for KPK:


Spoiler for Video:


Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dewasa ini. Sedikit demi sedikit senjatanya dalam memerangi korupsi dilucuti. Pertama lewat RUU KPK yang disahkan pada Otober tahun lalu. Kedua, lewat rencana DPR untuk mengesahkan RUU Kejaksaan.

Tentu pembaca agak bingung, apa hubungannya RUU Kejaksaan dengan melemahkan KPK? Berikut penjelasannya.

Pada 2 Oktober 2020 lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berbicara perihal mundurnya dua orang pegawai KPK dengan alasan kondisi politik dan hukum yang terjadi di tubuh lembaga anti rasuah itu. Alex tak menjawab lugas ketika ditanya apakah benar terjadi perubahan kondisi politik dan hukum di KPK. Menurutnya perubahan kondisi tersebut berdasarkan penilaian pribadi pegawai yang mengundurkan diri. Namun ia tak bisa membantah jika ada perubahan.

Fenomena mundurnya pegawai KPK menjadi sorotan semenjak Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyatakan mundur dari KPK. Dalam surat pengunduran dirinya, Febri mengatakan, keputusannya dilatarbelakangi kondisi KPK yang telah berubah semenjak RUU KPK disahkan.

Sumber : Kompas[Pimpinan KPK Sebut Dua Pegawai Mundur karena Kondisi Politik dan Hukum]

Mundurnya tokoh sekaliber Febri dari KPK tentu dapat diikuti dengan mundurnya pegawai KPK lain. Itulah mengapa sepeninggal Febri, ada dua orang lagi yang memilih untuk mundur seperti yang diutarakan Alexander Marwata. Mereka merasa kondisi politik dan hukum di KPK sudah tak kondusif. Upaya Febri untuk mencoba bertahan di KPK yang telah mengalami perubahan Undang-Undang hanya dapat dilakukannya selama setahun.

Ibarat kata, dengan adanya UU KPK, lembaga anti rasuah itu dipaksa untuk membasmi korupsi hanya dengan sepucuk pistol. Padahal mungkin pada awalnya mereka dapat menggunakan senapan serbu. Tetapi pistol itu pun rencananya akan diambil dan para pejuang anti korupsi dipaksa berperang hanya dengan sebilah pisau, jika RUU Kejaksaan disahkan DPR.

RUU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada jaksa dalam mengusut kasus hukum. RUU ini pun dikritik oleh Mantan Wakil Ketua KPK Zulkarnain. Menurutnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan pernah diberikan kepada jaksa pada era kolonial. Namun wewenang penyidikan itu tidak dijalankan secara baik dan maksimal.

Dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Zulkarnain yang juga berasal dari unsur Kejaksaan menilai kewenangan besar Jaksa tanpa diiringi profesionalitas dan integrasi tinggi tidak akan ada artinya. Justru kewenangan besar itu berpeluang menimbulkan risiko yang tinggi. Pimpinan KPK periode 2010 – 2015 itu menyarankan apabila tidak ada kepentingan mendesak sebaiknya wewenang jaksa cukup mengikuti aturan yang telah ada.

Sumber : Tempo [RUU Kejaksaan, Bekas Pimpinan KPK: Kewenangan Penyidikan Jaksa Beresiko Tinggi]

Berdasarkan paparan Zulkarnain, kita dapat simpulkan bahwa berubahnya wewenang Jaksa yang pada mulanya dapat melakukan penyidikan menjadi fokus pada penuntutan disebabkan rendahnya profesionalitas dan integrasi jaksa dalam menyidik. Jika RUU Kejaksaan ingin kembali mendapatkan wewenang seperti era kolonial, bisakah Kejaksaan menjamin para Jaksa dapat melakukan peran penyidikan dengan sebaik-baiknya?

Pakar hukum bidang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih mengatakan, pemisahan antara penyidik dan penuntut umum (kejaksaan) bertujuan untuk melakukan pengawasan. Yenti mempertanyakan prosedur pengawasan ketika penyidik dan penuntut jaksa berada dalam satu atap.

Yenti menilai adanya wacana RUU Kejaksaan seolah-olah karena jaksa seperti menyimpan dendam dengan KPK yang diberi fungsi penyidik dan penuntut. Padahal harus diingat, tupoksi KPK yang bersifat independen hanya berada di ranah Tipikor. Independesi KPK ini lah yang menjadi kekuatan KPK dalam memegang fungsi penyidikan dan penuntutan.

Jika Kejaksaan pada akhirnya menjadi superpower karena RUU Kejaksaan, Yenti khawatir tidak ada kontrol dari Jaksa. Kontrol itu penting agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang yang diperiksa. Penyalahgunaan bukan hanya dalam memperberat, tapi juga memperingan.

Oleh karena itu, Yenti menyarankan wewenang itu dikembalikan lagi ke fungsi masing-masing sebagaimana diatur KUHAP.

Ingat, Kejaksaan tak seperti KPK. Kejaksaan belum tentu dapat independen dan berpotensi menyalahgunakan wewenang. Lagi pula ketika Jaksa diberi wewenang yang sangat besar berdasarkan RUU Kejaksaan, tentu dapat berebut dengan KPK dalam menangani kasus korupsi. Pada akhirnya hanya akan melemahkan upaya memerangi korupsi.

Sumber : Jawa Pos [RUU Kejaksaan, Yenti Garnasih: Jaksa Ingin Seperti KPK]

Lantas apakah Kejaksaan tak seharusnya diberi kesempatan? Mungkin saja Jaksa kini telah berubah dan dapat menjalankan fungsi penyelidikan serta penyidikan secara profesional.

Bisa saja, tapi harus dipertanyakan juga, apakah dalam menjalankan fungsi penuntutan dan eksekusi, kejaksaan telah menjalankannya dengan baik?

Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menilai sebaiknya jaksa fokus memperkuat fungsi penuntutan dan eksekusi ketimbang memecahkan fokusnya dengan fungsi penyidikan. Sebab selama ini yang menjadi permasalahan pelaksanaan tugas jaksa ada pada dua persoalan, yaitu penuntutan dan eksekusi. Terlebih lagi, jaksa telah diberikan wewenang penyidikan terhadap suatu perkara tindak pidana tertentu.

Sedangkan jika kita melihat kasus korupsi yang melibatkan Jaksa Pinangki, seorang jaksa yang seharusnya melakukan eksekusi pada Djoko Tjandra ternyata berupaya membantu meloloskan sang taipan yang berstatus buronan.

Oleh karena itu, Huda menyarankan sebaiknya jaksa menguatkan kewenangan yang sudah ada agar masyarakat puas terhadap kinerja Korps Adhyaksa.

Sumber : Republika [Soal RUU Kejaksaan, Pakar: Belajar dari Kasus Pinangki]

Bagaimana bisa masyarakat mempercayakan sebuah perkara diserahkan penyidikannya kepada Kejaksaan jika dalam kasus Pinangki saja tupoksi Kejaksaan sebagai eksekutor tidak dijalankan sebagai mana mestinya.

Hal itu pula yang mungkin menjadi dasar mengapa Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman lebih memilih menyerahkan uang 100 ribu Dollar Singapura ke KPK ketimbang ke Kejaksaan. Boyamin menduga pemberian uang tersebut terkait perkara Djoko Tjandra.

"Saya berkehendak menyerahkan kepada KPK untuk diperlakukan sebagai gratifikasi yang kemudian uang tersebut diserahkan kepada negara," ujar Boyamin pada 4 Oktober 2020.

Menurut Boyamin, pada 21 September 2020 lalu, beberapa orang memberikannya 200 ribu Dollar Singapura terkait kasus Djoko Tjandra. Ia mengaku telah menolak uang itu. Namun, sejumlah orang justru menaruh uang tersebut ke dalam tas miliknya. Koordinato MAKI itu tak dapat mengembalikan uang tersebut kepada pemberi awal, sehingga ia pun akan melaporkan penerimaannya ini ke KPK. Boyamin berharap KPK bisa menerima uang tersebut dan mempergunakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sumber : Tempo [Dapat Uang 100 Ribu Dolar Singapura, Boyamin Saiman akan Serahkan ke KPK]

Dari upaya Boyamin untuk mengembalikan gratifikasi Djoko Tjandra ke KPK saja kita sudah dapat menduga bahwa MAKI tak mempercayai Kejaksaan. Ia lebih mempercayai KPK dalam menangani suatu perkara korupsi. Ia masih percaya kepada KPK meski lembaga anti rasuah itu telah dilemahkan dengan UU KPK. Boyamin percaya di balik hengkangnya pegawai-pegawai KPK, masih ada yang berjuang memberantas korupsi walau dengan keterbatasan yang ada.

Seperti penyidik senior KPK Novel Baswedan yang masih bertahan di KPK. Novel pernah mengingatkan bahwa pegawai KPK yang keluar agar tetap berjuang. Dia menyebut seorang pejuang akan terus berjuang sampai akhir.

Sumber : [url=https://akuraS E N S O Rnews/id-1218504-read-novel-baswedan-pejuang-itu-akan-terus-berjuang-sampai-akhir]Akurat[/url] [Novel Baswedan: Pejuang Itu Akan Terus Berjuang Sampai Akhir]

Ucapan Novel menandakan bahwa ia akan terus berjuang di KPK melawan korupsi. Tentunya jika Boyamin lebih mempercayai KPK dan Novbel Baswedan ingin terus berada di KPK untuk memberantas korupsi maka mereka pun tak akan mau wewenang KPK dilemahkan dengan RUU Kejaksaan, bukan?
Diubah oleh NegaraTerbaru 07-10-2020 00:57
auliabernadethaAvatar border
auliabernadetha memberi reputasi
1
689
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan