JEMBER, KOMPAS.com – Sebanyak delapan kepala organisasi perangkat daerah (OPD) di Jember akhirnya menghadiri undangan DPRD Jember untuk rapat dengar pendapat di ruang Komisi C, Senin (5/10/2020).

Semua kepala OPD yang diundang memenuhi panggilan DPRD untuk membahas persoalan Jember, terutama penanganan Covid-19.

Kondisi ini berbeda saat Bupati Jember Faida masih aktif, di mana tidak ada satu pejabat OPD yang datang memenuhi undangan DRPD Jember karena tidak mendapat izin dari bupati.


Kalau pun hadir, hanya diwakili staf yang tidak punya kewenangan untuk menjelaskan ke anggota dewan

Kehadiran para pejabat itu dinilai menunjukkan kemajuan di Kabupaten Jember.

“Sekarang mereka datang semua dalam pertemuan ini,” ujar Ketua Komisi C DPRD Jember David Handoko Seto di Kantor DPRD Jember, Senin.


Pejabat yang hadir berasal dari Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), PU BInar Marga, Kabag Umum, Kabag Pembangunan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perhubungan, dan BPKA.

Selesai kegiatan, anggota dewan Jember langsung mengikuti kegiatan silaturahmi dengan Plt Bupati Jember KH Abdul Muqiet Arif di pendopo wahyawibawagraha.

Tujuannya untuk terus membangun hubungan yang harmonis antara ekskutif dan legislatif.

“Kami berharap setelah komunikasi pada 28 September lalu, bisa terus kami tindak lanjuti,” ujar Muqit.

Komunikasi yang dibangun itu mulai dari kegiatan formal maupun non-formal.

Muqit berharap bisa bekerja dengan efektif selama 72 hari menjabat sebagai plt bupati. Terutama dalam membahas APBD Jember 2020.

Sebelumnya diberitakan, Abdul Muqit mendatangi pimpinan DPRD Jember pada 28 September 2020 lalu, atau setelah ditunjuk menjadi Plt Bupati Jember menggantikan Bupati Faida yang cuti kampanye.

Adapun Faida saat ini kembali mencalonkan diri sebagai calon bupati Jember di Pilkada Jember 2020.


Kedatangan Muqit mengubah dinamika politik antara DPRD Jember dan pemkab.

Diketahui selama Bupati Jember Faida aktif, terjadi ketidakharmonisan antara DPRD dan Pemkab Jember.

Bahkan DPRD melakukan pemakzulan terhadap Faida.

sumber air


jarang jarang gue buat thread, tapi gue ingin berbagi pengalaman nih

terlepas dari siapa faida ya, pro dan kontra abaikan aja.
gue mau bahas masalah kepemimpinan.

menurut gue, akan lebih baik memang kepala daerah yg menghadapi DPRD daripada anggotanya. ini akan menunjukkan kapasitas dia sebagai pimpinan dan memaksakan diri utk siap di bombardir atas masalah OPD yg di bawahinya. krn semua tanggung jawab harus di tangan kepala daerah.

namun sedikit nilai positif jika kepala OPD yg maju adalah memperjelas pekerjaan kepala daerah, apakah kegiatan itu memang sudah diinstruksikan kepala daerah atau diperlambat (biasanya kepala daerah suka save blocking anggaran a,b,c dan memprioritaskan anggaran yg dapat memuluskan kepentingannya). tapi ini beresiko kepala OPD menjadi bingung dapat tekanan dari kepala daerah dan DPRD sekaligus.

itu pandangan gue tentang thread.

nah gue mau curhat, mungkin banyak yg gak tau ya, gimana sih cara "wakil rakyat" dapat proyek?

anggap aja gue kerja di namec nih (biar gak ada yg tersinggung), jadi misal OPD A mau ngajuin anggaran, tapi gak kebagian lagi. nah nanti ada namanya dana aspirasi, dia akan bilang "lu mau kita golkan, tapi gue yg cari penyedia, lu yg kerjain". cuan tuh. kalo kepala OPD menurut, raport merahnya gak akan dipersulit, kalo menolak maka kesalahan bisa di cari

dibagian kebijakan, kasihan tuh biasanya kepala OPD, dimaki maki dan dinterogasi di rapat, padahal mereka cuma mengerjakan petunjuk dari kepala daerah. ibarat makan buah simalakama jika DPRD dan kepala daerah gak akur, kepala OPD harus pintar pintar main dua kaki.


intinya gue cuma mau bilang, selama ini kita selalu nyalahin kepala bagian eksekutif atas kegaduhan dipusat maupun daerah, padahal kita lupa setiap kegiatan itu ada keterlibatan legislatif.

balik lagi ya, terlepas masalah si faida. gue mau curhat aja.


yang pernah ngurusin anggaran di OPD pasti pernah nih urusan negosiasi ginian

sekian thread gak penting ini.