Kaskus

Hobby

devarisma04Avatar border
TS
devarisma04
Gentayangan Arwah
Gentayangan Arwah

Mendung pekat telah memayungi rumahku. Bergegas aku menata ember di sepanjang emperan rumah. Untuk menampung air sebanyak-banyaknya. Karena sudah hampir dua hari gang rumahku putus air PDAM. Stok air di bak mandi mulai menipis. Seketika hujan turun lebat seperti yang kuprediksi.
“YES, I need you rain,” ucapku kegirangan.

Aku bergegas mehidupkan mesin cuci karena baju kotor sudah menggunung. Suara mesin cuci membuat suasana riuh. Apalagi hujan yang lebat seakan menembus genteng. Tiba-tiba suara mesin cuci seakan berbeda dari sebelumnya bagai tersendat-sendat. Namun kubiarkan iya terus memeras puluhan pakaian itu. Mungkin karena mesin cuci ini sudah tua, makanya bunyi sudah tidak lagi normal.
Adik kecilku menjerit dengan kencang. Sebelumnya tertidur pulas di kamar.

Dengan langkah yang lincah dan perasaan khawatir aku menemuinya. Kania seperti sangat ketakutan. Sampai wajahnya pucat. Tangannya menunjukkan pojok yang agak gelap. Namun mataku tak melihat apa-apa. Seketika bulu romanku terasa berdiri.
Segera kuangkat badan yang masih ringan itu. Kania memelukku erat. Aku juga sedikit khawatir apa yang sebenarnya di lihat oleh adikku ini. Atau dia sedang bermimpi. Segera membawanya kekamar mandi agar tidak berjauhan denganku.
Kutempatkan gadis berambut keriting itu diatas kursi di dekat pintu. Dengan memangku sebuah boneka kesayangannya. Dan lagi dia menjerit ketakutan. Bahkan hingga aku terperanjat dengan suaranya.
“Ada apa dik?” tanyaku dengan nada panik.
“Itu di belakang Kakak ada monster.” katanya terbata-bata.

Aku merinding, meskipun tak melihat siapa-siapa. Aku teringat pembicaraan dengan Nenek tempo hari. Kalau anak kecil bisa melihat arwah. Aduh arwah siapa di rumahku ini. Lagian di rumah ini belum ada orang meninggal.

Aku mencoba menenangkan adikku. Karena Mama dan Papa belum pulang kerja. Namun dia mengajakku pergi dari sini. Aku kepikiran cucianku yang belum selesai. Nanti Mama bisa marah kalau aku menunda seperti ini.
Adikku sudah menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Pun hujan yang deras, seakan aku mendengar isak tangis entah dimana. Aku mencoba mencari sumber suara itu. Namun suaranya semakin pelan hingga mehilang.

Adik kecilku masih dalam pelukanku, saat aku bergerak kesana kemari. Dia tak ingin jauh dariku walau seinci. Lalu aku kembali mengajaknya ke kamar mandi untuk menyelesaikan menyuci meskipun pikiran yang sedikit gundah. Tiba-tiba kamar mandi begitu berantaka. Cucianku berserakan di lantai padahal tadi masih dalam bak mesin cuci.
Aku dan Kania bingung saling bertatap. Kerjaan siapa ini, dan juga mesin cuci tiba-tiba hidup sendiri aku membopong Kania lari dengan ketakutan. Hingga menabrak Mama yang baru sampai dimuka pintu.

“Ada apa Vi lari-lari?” ujar Mama sambil mengangkat Kania yang terjatuh dalam pelukanku.
“Ada hantu Ma!” ucapku gelagapan.
“Hantu?” ucap Mama yang kutahu juga sangat penakut.
Belum sempat menjawab Papa langsung menyambar.
“Bukan hantu, kamunya yang parno. Ini efek Kakak sering nonton horor,” tukas Papa sambil membenarkan jaketnya.
“Engga Pa, coba tanya sama Kania. Kanianya melihatnya sendiri.” Aku menyanggah Papa.
Papa menatapku lekat. Lalu menatap Kania yang nampak pucat.

“Kalau Papa engga percaya coba lihat di kamar mandi yang berantakan oleh ulah mereka.” Aku menarik tangan Papa.
Kami berjalan menuju kamar mandi. Tiba-tiba kamar mandi sudah bersih hanya ada sebuah baskom di ruang tengah. Papa tertawa geli melihatku. Seakan aku mengada-ada.

“Nah kan iya Papa bilang Kakak lagi parno,” ujar Papa sambil terkekeh geli.
“Tapi Pa..” ujarku yang kebingungan kenapa sudah seperti semula kamar mandinya.

Papa dan Mama meninggalkanku sendirian di kamar mandi yang masih kebingungan. Engga mungkin tadi hanya salah. Memang semuanya kulihat jelas bagaimana kamar mandi berserakan dengan baju di mesin cuci. Tapi ini kenapa sudah seperti semula. Ah sudahlah mereka tidak akan percaya juga. Toh ini keadaannya sudah seperti semula.

Aku mengeluarkan pakaian dalam bak cuci yang sudah diperas. Untuk kugantung di ruang belakang. Tiba-tiba Papa datang dengan seember air ditangan. Ternyata Papa mengangkat air dari beberapa ember yang kutampung di emperan. Lumayan banyak air yang tertampung. Apalagi ember yang kuletakkan dibawah emperan itu besar-besar.

“Kakak kreatif deh,” ujar Papa memujiku karena sudah menampung air hujan.
“Anak siapa dulu dong,” ujarku terkekeh.
Tiba-tiba Mama datang sedang di pangkuan nampak Kania sudah tertidur.
“Vi kerumah Nenek bentar ya. Ambilkan sirup Kania di kulkas kemarin lupa Mama bawa pulang,” perintah Mama.
“Iya Ma,” sahutku tanpa membantah.
“Payung ada dibelakang pintu sebelah. Beranikan pergi sendiri?” ujar Mama lagi.
“Berani kok Ma. Inikan belum gelap,” ucapku.
“Yaudah pergi terus. Kania tiba-tiba badannya panas,” tukas Mama sambil menatap wajah adik kecilku dipangkuannya.
“Iya Ma, Vi berangkat terus.” Aku langsung bergegas mengambil payung dan berjalan di bawah derasnya hujan.

Rumah Nenek ada di ujung gang, aku harus berjalan sekitar 8 menit untuk sampai kesana. Apalagi ditengah hujan begini. Agak susah berjalan cepat takut terjiprat air yang sudah tergenang di jalan. Dibawah payung pelangi itu, aku kembali memikirkan kejadian tadi di kamar mandi.
Bagaimana bisa semuanya sudah rapi, padahal tadi memang sangat nyata berantakan. Dan lagi suara yang kudengar, makhluk yang dilihat Kania.

Aku mengernyitkan kedua alisku. Berfikir lebih serius jangan-jangan di rumahku memang ada hantunya. Dan aku yakin Kania demam karena kejadian tadi.
Tak terasa kakiku sudah melangkah di halaman rumah Nenek. Keadaan senyap, memang tidak ramai yang tinggal di rumah besar ini. Hanya ada Kak Sin dan Nenek. Kak Sin anak dari putri Nenek yang paling tua. Kak Sin bekerja di rumah sakit kota ini. Sedangkan kedua orang tuanya menetapkan di Balikpapan. Bagus juga kurasa setidaknya ada teman Nenek di rumah. Walau kadang dia sering sif malam di rumah sakit.

Sekilas kuperhatikan sebenarnya lebih seram penampakan rumah Nenek. Karena ukurannya luas. Dan berlantai dua. Di halaman rumah ada dua pohon besar. Yang sering menggugurkan daun keringnya. Tapi Nenek tidak mengizinkan untuk dipotong katanya untuk menyejukkan rumah.

Aku mendapati Nenek di dapur sedang memasak bubur ayam. Nenek tidak mengizinkan aku segera pulang. Untuk menyantap bubur tersebut bersama Kak Sin. Aku sedikit bercerita tentang kejadian tadi pada Nenek. Beliau mendengar dengan seksama.
“Vi takut?” tanya Nenek.
“I-iyalah Nek takut kan mereka berbeda wujud dengan kita.” Jawabku.
“Habiskan buburmu,” perintah Nenek.
Padahal aku ingin mendapatkan pembenaran dari ceritaku tadi. Tapi sepertinya Nenek tidak mau aku semakin ketakutan. Lalu Kak Sin datang untuk makan bubur bersama kami. Dan Kak Sin orang yang sangat ceria. Dia selalu ada saja cerita unik dan lucu.

Heran aku, ada saja bahan ceritanya.
Kak Sin seorang dokter umum. Meskipun usianya sudah melewati angka 25 namun iya belum juga menikah. Hobinya baca buku dan nonton horor. Semenjak ada dia disini aku seirng main di rumah Nenek untuk nonton horor bersama Kak Sin.

Hari sudah hampir gelap. Nenek menyuruhku segera pulang takut Kania bertambah demam. Nenek mengantarku hingga ke pintu. Aku berjalan sendirian dibawah derasnya hujan. Jalan sudah agak gelap hampir magrib. Karena hujan yang deras membuat jalan seperti berkabut.

Saat aku keluar dari rumah Nenek. Aku tidak bisa melihat jauh kedepan karena lebatnya hujan. Berjalan dengan hati-hati. Lalu tiba-tiba ada orang berjalan di depanku yang tak berpayung. Ketika langkah kupercepat, orang tersebut berjalan cepat. Dan sebaliknya ketika aku berjalan pelan, diapun pelan.
Aku jadi penasaran. Siapasih mandi hujan magrib-magrib gini. Aku memperhatikan setiap langkahnya seperti ada yang aneh. Kaki orang itu seperti tidak menyentuh jalan. Aku tidak bisa menebak itu laki-laki atau perempuan. Jalan sangat sepi bahkan tidak ada satupun kendaraan yang lewat.

Saat orang itu sudah sampai di depan rumahku. Aku sedikit terganggu dengan resleting jaket. Sekejap membenarkan resleting itu. Kemudian aku sudah tidak lagi melihat orang tersebut.
“Loh kemana orang itu? Apa masuk kerumahku,” aku berkata sendiri.

Dari pagar rumah aku melihat seperti ada bayangan orang menuju halaman belakang. Aku segera mengendap-endap kesana takut itu maling. Menutup payung, dan berjalan pelan aku melihat ada orang sedang berdiri membelakangi halaman. Tepat dibalkon belakang rumah. Tempat kami menjemur pakaian.

Dia seperti sangat basah. Dari bentuk tubuh, aku yakin itu bukan Papa atau Mama. Lantas siapa? Disini hanya kami tinggal berempat. Aku berdiri di belakang tembok rumah memperhatikan gerak gerik orang tersebut. Lalu lantunan azan terdengar dari musalla. Seketika aku sudah tidak lagi melihat orang itu.
Bergegas aku berlari kedalam rumah. Dan memberi tahu Mama dan Papa. Kudapati Papa sedang shalat. Dan Mama masih menidurkan Kania.

“Ma, tadi ada orang di balkon belakang. Entah siapa?” ujarku dengan nada capek.
“Hah siapa?” tanya Mama yang langsung ketakutan.
“Itulah Ma Vi melihatnya berdiri di balkon belakang. Lalu tiba Vi kehilangan jejak,” jelasku.
“Bagaimana ciri-cirinya laki-laki atau perempuan?” tanya Mama semakin serius.

“Engga tahu Ma, di jalan tadi melihat orang itu berjalan di depan Vi. Tiba-tiba Vi melihat bayangan ke belakang rumah kita. Ketika Vi intip, dia berdiri di balkon belakang.” Aku menjelaskan detail.
“Jangan-jangan maling?” ketus Mama.
“Itulah Ma, dia seperti mengenakan baju jaket besar menutup kepala dengan knopynya!” tambahku lagi.
Aku dan Mama terdiam, suara hujan di luar rumah bertambah deras. Sesekali petir menyambar. Mama menatap Kania yang tertidur pulas.
“Vi! Belum shalat?” tanya Papa yang tiba-tiba datang.
“I-iya Pa.” Aku segera menuju kamar mandi membersihkan diri dan berwudhu.

Dan Mama bercerita tentang ceritaku pada Papa. Papa segera keluar rumah memeriksa setiap sudut. Namun tidak menemukan apa-apa. Lalu Papa mengunci pintu pagar. Dari dalam rumah aku mengintip Papa yang sedang di pagar dengan payungnya.

Mataku langsung terbelalak ketakutan bahkan tak bisa berkata apa-apa. Orang yang kulihat tadi di jalan sedang berada tepat di belakang Papa. Namun Papa seperti tidak menyadari makhluk itu. Lalu makhluk itu melihatku di balik jendela. Mukanya seperti monster yang kulihat di TV. Aku yang sudah mematung dengan level ketakutan yang sudah diambang batas. Bahkan hampir sendi-sendiku sudah tak bergerak.

“Vi ngapain disitu?” tanya Papa.
“Pa ada hantu di-diluarrr...” ujarku terbata-bata.
“Apaan sih Vi, sana masuk ke kamar.” Papa menuntunku masuk ke kamar.
“Jangan aneh-aneh ya Vi. Mama itu penakutan, bahaya nanti kalau level takutnya naik.” Papa memberi pengertian padaku.

“Iya Pa,” jawabku gagap.
Papa langsung pergi menutup pintu kamarku. Mungkin Papa akan kembali mengangkat air dari emperan rumah. Atau menemani Mama dan Kania di kamar. Aku masih mematung diatas tempat tidur. Membayangkan wajah makhluk tadi.

“Itu benar-benar hantu. Tidak mungkin aku salah lihat!” aku mengoceh sendiri.
Derasnya hujan, membuatku menggigil kedinginan. Meskipun kaki berat untuk beranjak dari tempat tidur. Segera mendekati lemari bercorak itu. Seraya mengambil switter kesayanganku. Berwarna gelap dan sangat lembut di kulit. Ketika sedang mencoba memasukkan tubuh ke dalam switter itu.

Tup, sebuah benda mengenai kepalaku. Sedikit pusing, walau bendanya tidak begitu besar. Seketika kamarku menjadi gelap.
“Loh ini kenapa, Papaaaaaa....” teriakku.

Hujan di luar terlalu lebat. Papa yang berada di pintu samping tengah mengangkat air dari emperan tidak mendengar panggilanku. Dari remang-remang lampu luar yang masuk lewat pentilasi. Aku melihat seperti ada orang meja belajar. Duduk membelakangiku, aku seketika hilang napas rasanya. Badan gemetar tak sanggup mengangkat badan untuk berlari.

Tanganku meraba-raba benda apa saja uang ada di sampingku. Ada sebuah buku yang dapat kujamah. Segera melempari buku yang ketebelannya hampir seratus halaman kearah meja belajar.

Kringgg, bukunya seperti terbentur lalu mengenai cermin dan pecah. Aku menatap makhluk itu masih di sana. Tak bergerak sedikitpun, bibirku komat-kamit menyeut Papa. Sebenarnya aku ingin berteriak tapi entah mulut seakan kaku untuk mengeluarkan suara.
Drakk Mama mendorong pintu yang tak terkunci. Mama terperanjat melihat kamar yang gelap. Dan seketika itu pula bayangan itu hilang di meja belajar.
“Vi, dimana kamu sayang?” panggil Mama.

Aju mendengar panggilan Mama. Tapi aku masih dikelabui rada takut yang teramat kurasa. Aku bagai terjebak di rumah hantu seperti yang kulihat di film-film yang kutonton.

Mama meraba saklar lampu kamar yang tak jauh dari pintu. Tapi lampunya tidak mau hidup. Mama sangat penakut orangnya. Bahkan mati lampu saja bisa menjerit. Mama bukannya masuk, malah berlari menemui Papa. Hanya beberapa detik Papa dan Mama kembali. Dan mendapatimu di lantai yang memeluk diri. Wajah pucat basi, dan lebih membuat kebingungan kamar berserakan. Cermin hias pecah.

serpihan kaca berhamburan di lantai.
Mama segera merangkulku, dan Papa sibuk memperbaiki lampu. Tanpa bertanya apapun Papa mengambil tangga segera memperbaiki lampu. Ternyata tadi bola lampu yang jatuh mengenai kepalaku.

“Sayang apa yang terjadi?” ujar Mama kebingungan.
“Mama, di kamarku ada syaitan!” rengekku ketakutan.

Mama langsung bergetar, dan kembali memelukku erat. Papa segera menelepon Kak Sin dan Nenek untuk kerumah kami.

Papa terus memberes kamarku hingga rapi kembali. Kemudian Papa bergegas kedapur membuatkan aku teh hangat. Papa tidka berbicara sepatahpun. Aku penasaran apakah Papa memang tahu. Kalau tadi memang hantu. Pikiran kacauku berkecamuk tak menentu.

Seketika Nenek dan Kak Sin datang menggunakan payung di bawah guyuran hujan itu. Dan beberapa saat datang Imam Masjid di kelurahan kami. Dan Papa menyuruhku dan Mama berwudhu. Setelah itu, kami membaca Yasin bersama di ruang tamu. Gema surah Yasin yang kami lantunkan membuat hatiku damai. Yang dari tadi serasa bagai bergemuruh. Perasaan takut yang telah mengendap hingga level yang tinggi.

Jam sudah menunjukkan pukul 23:00. Kami baru saja menyiapkan baca Yasin. Pak ustadz memberikan nasihat agar selalu membaca Alquran setiap habis shalat. Dan setiap malam Jum’at membacakan Yasin. Sebelum tidur membaca ayat kursi agar tidak di ganggu oleh makhluk dari dunia lain.
Akhirnya Kak sin menemaniku tidur malam ini. Dan Nenek tidur di kamar Kania dengan Mama. Setelah semuanya kupikir sudah terlelap. Tenggorokanku terasa kering, aku hendak berjalan menuju dapur. Ternyata Papa dan Nenek masih sedang mengobrol. Aku sedikit menguping obrolan mereka.
Mereka menyebut-nyebut arwah. Iya arwah di rumahku ini. Pemilik tanah Sebelum Ayah membelinya. Nenek menyebutkan bahwa pemilik tanah ini meninggal karena bunuh diri. Dan tidak meninggalkan anak seorangpun.
“Makanya kalian harus sering membaca Al-Qur’an di rumah. Serta membuat acara tahlilan agar rumah kalian damai dijauhi dari gentayangan arwah Cut Da Maneh itu.” Nenek memberikan nasihat kepada menantunya itu.
Menurutku yang Nenek katakan benar. Orang yang sudah mati dibisa mengganggu kita lagi. Tapi itu hanya jin yang lahir berbarengan dengan kita.
0
678
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan