Welcome back to Pamali The Stories. Menemani Malam Jum'at kalian, Ane balik lagi dengan Thread seputar Pamali dan mitos-mitos khas Indonesia.
Oke, setelah cerita kemarin yang dibikin jadi beberapa bagian, kayanya Ane bakal mengulang cara yang sama. Cerita kali ini, mungkin dibagi jadi 2 atau 3 bagian. Buat lanjutannya bisa ditunggu aja tanggal mainnya. Nah, di postingan kali ini, Ane nggak bakalan membahas mitos umum di negara kita. Kali ini, ada 1 urban legend di kampung Ane yang agaknya menarik buat dibagikan dengan kalian. Urban legend itu adalah...
Quote:
PEMULUNG
Jujur, Ane waktu kecil bandel banget. Tiap hari selalu bikin marah orang tua. Nah, ada satu cara dari Nenek Ane buat bikin Ane nurut dan gak nakal lagi. Nenek Ane bilang...
Quote:
Awas kalo Kamu bandel! Nanti dibawa sama Pemulung!
Dewasa ini, kalo Ane pikir-pikir lagi...kayanya itu cara yang salah sih buat menasihati anak yang bandel. Apalagi dengan "menuduh" pekerjaan seseorang. Disini Ane gak menganggap pekerjaan seorang Pemulung adalah pekerjaan yang salah, oke? Justru dengan adanya Pemulung, secara tidak sadar mereka juga adalah pahlawan penjaga lingkungan.
Pada awalnya Ane gak ngerti maksud Nenek Ane waktu pertama kali dinasihati begitu. Pas Nenek Ane jelasin lebih lanjut, katanya Pemulung bakalan masukin anak nakal ke dalem karungnya dan menculik anak tersebut. Karena Ane masih bocah, ya...wajar dong Ane takut? Nah, seiring waktu Ane mulai merubah diri Ane jadi lebih baik lagi. Dan satu hal yang menarik soal Pemulung di kampung Ane.
Waktu itu, sempet jadi buah bibir diantara tetangga yang lain tentang sebuah kasus kemalingan. Nah, setelah diusut, katanya si pelaku adalah seorang kriminal berkedok pemulung. Pelaku biasa beroperasi di malam hari dengan berpakaian ala pemulung pada umumnya (baju compang-camping, badan lusuh dan bau, membawa pengait sampah dan karung besar). Dia berpakaian seperti itu untuk mengelabui petugas ronda malam. Jika situasinya aman, Ia bakalan langsung beraksi, tapi kalau tidak, Ia akan berpura-pura menjadi pemulung, dengan memunguti sampah yang ada di sekitarnya. Beruntung, kejadian itu berlangsung dalam waktu yang singkat dan tidak pernah terjadi lagi sampai saat ini.
Itu tadi sekilas tentang urban legend dan kasus nyata seputar Pemulung. Seperti biasa, Ane bakalan nge-post sebuah cerita yang cukup relevan dengan mitos atau urban legend yang Ane bahas. So langsung aja ke ceritanya...
Spoiler for Pemulung:
Sore hari...
Aku sedang berjalan menuju rumah, setelah seharian bekerja. Kulihat para warga yang masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka semua menyapaku, Aku pun membalas sapaannya. Sampai di sebuah lapangan, Aku lihat seorang Ibu sedang memarahi anaknya yang bandel. Si anak pun menangis karena diomeli Ibunya. Satu hal yang membuatku tertarik dengan pemandangan itu adalah perkataan si Ibu. Ia memarahi anaknya yang tidak mau pulang, si anak bersikeras untuk terus bermain sampai malam. Kemudian, si Ibu mengancam si anak dengan berkata,
“Biarin aja, anak bandel mah nanti diculik sama pemulung!”, si Ibu pun berjalan meninggalkan anaknya.
Untungnya, ancaman si Ibu berhasil. Anak dan Ibu itu pun pulang, walaupun di sepanjang jalan si Anak masih terus menangis kencang.
Hmm...Aku jadi teringat sesuatu...
Dan hal itu adalah sebuah pekerjaan yang sempat disinggung si Ibu tadi. Mendengar kata “Pemulung”, membuatku teringat dengan masa lalu keluargaku. Kalian semua tolong duduk yang manis dan dengarkan kisah ini baik-baik.
Satu-satunya hal yang kuingat adalah Aku berasal dari keluarga pemulung, lebih tepatnya sih Ayahku dulu. Aku tinggal di sebuah rumah reyot bersama dengan Ayahku. Sampai detik ini Aku tidak pernah mengenal siapa Ibuku. Ayah tidak pernah cerita soal Ibu dan Aku pun tidak ingin tahu soal Dia. Di pagi buta, Ayah selalu membawa gerobak sampahnya ke Tempat Pembuangan Sampah. Setelah itu, Ia akan pulang membawa uang untuk makan sehari-hari. Lalu, Ayah akan pergi lagi membawa alat pemungut sampah dan sebuah karung besar. Ia memunguti sampah dari pagi sampai malam. Urusan makan, terkadang Kami membelinya sendiri, terkadang Kami mendapat makanan hasil pemberian orang. Setiap hari, Ayah berkeliling dari kampung ke kota dengan berjalan kaki. Dan itu membutuhkan waktu perjalanan yang lama, karena jaraknya yang jauh. Aku belum pernah sama sekali mendengar keluhannya, tapi yang ada hanya Aku saja yang sering mengeluh. Ya...namanya juga anak kecil, wajar dong kalau banyak maunya? Aku sadar diriku yang masih kanak-kanak lebih banyak menuntut ini-itu sama Ayah. Dari minta jajan sampai minta mainan. Untungnya, Ayah mampu menyanggupinya. Dari uang penjualan sampah, Aku bisa mendapatkan uang jajan. Kalau soal mainan, Aku juga punya, walau...cuma mainan bekas sih.
Semakin bertambah usiaku, Ayah mulai sadar bahwa Aku harus bernasib jauh lebih baik daripada Dia. Maka dari itu, Ia pun menyekolahkan diriku. Aku memasuki Taman Pendidikan Anak Usia Dini di kampung. Aku bersekolah di sana hingga memasuki usia sekolah dasar. Setelah itu, barulah Aku masuk Sekolah Dasar. Ya...namanya juga anak pemulung, tentunya penampilanku tidaklah menarik untuk dilihat. Dari sinilah asal usul dari kehidupan sekolahku yang menyebalkan. Tak satupun orang yang mau berteman denganku hanya karena Aku adalah seorang anak pemulung. Ejekan, hinaan, hingga perundungan sudah jadi santapan harian bagiku. Di minggu pertama, Aku sempat menanyakannya kepada Ayah, mengapa mereka memperlakukan Aku seperti itu? Ayah hanya memberitahuku untuk bersabar. Dia juga bilang kalau Aku harus menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya. Aku paham kok apa maksudnya. Mirip di cerita-cerita picisan lainnya, Aku harus menunjukkan kehebatanku kepada orang-orang bodoh itu, meskipun diriku ini serba kekurangan. Tapi, Aku akan melakukannya dengan “caraku”.
Pada dasarnya, hanya rasa takut yang membuat manusia berubah dari kebiasaan buruknya. Setidaknya, mereka harus tahu konsekuensi dari perbuatannya. Dan hanya dengan cara itulah Aku bisa melewati masa sekolah yang menyebalkan itu. Setiap kali ada orang yang memperlakukanku dengan buruk, hal pertama yang Aku lakukan adalah dengan “menandainya”. Kutunggu hingga waktunya sudah siap. Setelah itu, Aku temui Dia dan Aku tanamkan “rasa takut” padanya. Keesokan harinya, masalah pun selesai. Orang itu akan ketakutan jika diriku berada di dekatnya. Baginya, Aku adalah definisi dari “Mimpi Buruk”. Terkadang, apa yang kulakukan pada salah seorang dari mereka bisa berdampak pada orang-orang yang berbuat buruk terhadapku. Alhasil, mereka pun ketakutan jika melihatku dan berusaha untuk menjauh. Aku tidak peduli walau akhirnya Aku dikenal sebagai anak yang penyendiri. Bagiku, sendiri itu lebih baik ketimbang harus berteman dengan mereka.
Semakin dewasa diriku, semakin besar tantangan hidup yang Aku hadapi semasa sekolah dulu. Semua perlakuan buruk orang lain terhadapku, jauh lebih parah daripada yang sebelumnya. Yang semula hanya dilakukan secara verbal, kini mereka menyerangku secara fisik. Sepertinya, inilah saatnya untuk menaikkan level “permainanku”. Aku masih melakukan caraku dengan menanamkan “rasa takut” kepada mereka, bedanya terletak pada bagaimana caraku untuk mengeksekusinya. Kalau mereka menyiksaku secara fisik, Aku akan melakukan cara yang sama pada mereka, namun dengan konsekuensi yang sangat mengerikan.
Tidak cuma itu, tantangan hidupku juga terletak pada kondisi keluargaku. Aku sadar Ayah semakin tua. Ia sudah tidak seaktif dulu. Dan itu mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga. Di saat ekonomi yang terpuruk, Aku justru sedang membutuhkan banyak pengeluaran hanya untuk urusan sekolah saja. Ayah juga sudah berusaha semaksimal mungkin, namun masih saja kurang. Aku coba memutar otak untuk membantu Ayah.
Satu waktu, Ayah pernah bercerita kepadaku tentang teman seprofesinya yang kini sudah menjadi orang sukses. Intinya, Ia ingin sekali seperti temannya. Aku bilang, mengapa Ayah tidak mengikuti jejaknya saja? Walaupun pertanyaanku sangat singkat, tapi itu sangat mempengaruhi Ayahku. Ayah bilang akan menemui lagi, Ia berjanji akan segera menyusul kesuksesan temannya itu. Setelah itu, Ayah bilang lagi kalau Dia akan bekerja dengan temannya itu. Semenjak itulah Ayah aktif bekerja lagi seperti dulu. Berbeda dengan sebelumnya, Ayah yang biasa bekerja seharian penuh dari pagi ketemu pagi lagi, kini Ia bekerja 2 kali sehari. Di pagi buta, seperti biasa Ayah pergi ke TPS untuk menjual sampah hasil pungutannya. Sepulang dari TPS, Ayah lanjut bekerja seperti biasa sampai tengah hari tiba. Ia kembali bekerja dari malam hingga pagi buta. Begitu terus setiap hari, setiap minggu dan setiap bulan.
Perlahan tapi pasti, kondisi ekonomi keluargaku mulai membaik. Semua biaya untuk sekolahku juga mulai terbayar. Aku juga bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Dan pada akhirnya, Aku bisa bekerja di sebuah perusahaan ternama di kota. Ayah yang tadinya ingin hidupnya sesukses temannya, kenyataannya Akulah yang merasakan kesuksesan dalam hidup itu. Setidaknya...Aku sudah bisa mengangkat derajat orang tuaku. Tapi faktanya...sangatlah berbeda.
Tak terasa lamunanku itu berjalan cukup lama. Kini hari sudah malam, waktunya bagiku untuk pulang ke rumah. Kalian pasti memandangiku sebagai seorang yang sukses, namun fakta di lapangan tidak demikian. Akan kuberitahu setelah Aku sampai di rumah. Setelah melamun di lapangan tadi, Aku berjalan menuju rumah. Rumah kecil yang berada di penghujung kampung. Rumah inilah yang menjadi hasil jerih payah Kami. Aku nikmati malam sendirian. Makan, mandi dan bersantai sembari menonton Televisi. Tiba-tiba, Aku teringat pada sesuatu...
Aku beranjak dari sofa dan pergi ke dapur. Aku ambil piring dan Aku isi dengan seporsi nasi beserta lauknya. Lalu, Aku berjalan ke belakang rumah. Menuju sebuah ruangan yang nampak seperti sebuah gudang. Kubuka kunci pintunya dan terlihat seseorang seperti sudah menanti kehadiranku cukup lama. Seorang lelaki tua berpakaian lusuh dengan tampilan yang acak-acakan. Rambutnya yang urakan, janggutnya yang panjang dan tubuhnya yang bau dan kotor. Kalau kalian melihatnya, pasti kalian mengira kalau itu adalah orang gila. Ditambah tangannya yang diborgol dan kaki yang dipasung menambah kesan bahwa itu adalah orang gila yang “berbahaya”. Aku berikan nasi itu dan Aku lepaskan borgol di tangannya. Dia menyantap makanan itu dengan lahap seperti orang yang baru makan untuk pertama kali sepanjang hidupnya. Padahal, Aku memberinya jatah seminggu sekali. Kupandangi Dia dengan tatapan yang sinis. Lalu...Aku pun berkata...