- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kontribusi Lamat-lamat Kelompok Penghayat PEBM


TS
dewaagni
Kontribusi Lamat-lamat Kelompok Penghayat PEBM

Sasmito Gati (berdiri, keempat dari kiri) berfoto bersama sejumlah seniman usai pentas (Foto Dok. PEBM)
Kontribusi Lamat-lamat Kelompok Penghayat PEBM
Nasional Virus Korona penghayat kepercayaan
Ahmad Mustaqim • 29 September 2020 12:02
Kulon Progo: Hidup sebagai bagian kelompok minoritas memang sulit. Ruang gerak untuk menunjukkan identitas sangat terbatas, termasuk bagi penghayat Paguyuban Eklasing Budi Murka (PEBM) di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Akibat dari ruang gerak yang terbatas itu, anggota kelompok penghayat yang lahir 1926 ini perlahan menyusut. Anggota PEBM yang berada di lingkungan masyarakat mayoritas penganut agama tertentu perlahan meninggalkan aktivitas penghayat. Pilihannya mengikuti kebiasaan lingkungannya dengan menjalankan peribadatan sesuai ajaran agama tersebut. Di sisi lain PEBM tak memaksakan siapa pun, bahkan keluarganya, untuk menjadi penghayat.
“Kami tak mau memaksakan siapa saja yang ingin ikut atau bergabung. Anak dan keturunan kami juga dipersilakan memilih. Mau ikut orang tuanya atau tidak, tidak ada paksaan. Memerdekaan jiwa,” kata sesepuh PEBM DIY, Manguwiharjo, ditemui di Dusun Kidulan, RT 22/RW 11, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Jumat, 25 September 2020.

Sasmito Gati (kiri) dan Mangunwiharjo (Foto Ahmad Mustaqim Medcom.id
Selain faktor sosial, berkurangnya anggota itu juga karena meninggal, pindah ke luar daerah, serta sebagian tak aktif. Anggota PEBM mayoritas masih menunjukkan identitas sesuai agama yang tercantum di KTP elektronik. Meski pemerintah telah membebaskan warga untuk isian kolom ‘agama’ di KTP elektronik, tak semua melakukan proses pengubahan isian kolom itu.
Mangun mengakui, kolom ‘agama’ di KTP elektronik yang dipegang masih berisi salah satu agama di Indonesia. Meskipun, dalam keseharian menjalankan ajaran penghayat PEBM.
“Kebanyakan masih mengindung agama yang diakui negara. Kalau langsung mengurus serempak akan membuat resah masyarakat. Kalau sedikit demi sedikit, lama kelamaan bisa ber-KTP penghayat dengan tidak membuat gaduh di desa kita masing-masing,” ujar lelaki 70 tahun ini.
Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Kulon Progo menunjukkan penganut aliran kepercayaan tercatat sebanyak 18 orang. Rinciannya, sebanyak 11 laki-laki dan 7 perempuan. Data itu sudah mencakup di 12 kecamatan di Kulon Progo.
Pantang ciut
Mangun emoh pusing memikirkan legalitas data kependudukan itu. Bagi Mangun, kepungan masyarakat pemeluk agama yang diakui negara tak membuat PEBM ciut. Kelompok minoritas yang hidup di tengah mayoritas kelompok lain ini tetap berusaha bisa berkontribusi terhadap lingkungan, masyarakat, bahkan negara.
Mangunwiharjo menuturkan ajaran kepercayaan yang dianut menjadi acuan untuk bisa bertahan di tengah masyarakat. Ia mengatakan ajaran kepercayaan PEBM, yakni tak membedakan manusia berdasar ras, suku, hingga agama.
“Dulu belum ada Pancasila, tapi ada penghidupan rasa semangat ketuhanan dan gotong-royong. Maka dari itu, keberadaan Pancasila mendukung 100 persen. Pancasila harga mati bagi penghayat,” ujarnya.
Ia mencontohkan kegiatan membersihkan sumber air yang rutin dilakukan terjadwal sebagai upaya menghormati pemberian Tuhan. Mangun menilai, pemberian Tuhan, yakni berbagai yang ada di alam, harus dijaga. Selain sumber mata air, juga beragam pepohonan.
“Kalau menebang pohon, kita juga harus menanam. Ini untuk menjaga agar kelestarian alam tetap stabil. Jika ikut menjaga alam, kita juga turut menjalankan program pemerintah,” ungkapnya.
Diakui di Kulon Progo
PEBM menjadi salah satu kelompok minoritas yang sudah diakui pemerintah setempat. Sejumlah kegiatan penting di pemerintahan desa sudah dilibatkan. Misalnya di Desa Salamrejo.
“Kelompok penghayat ikut menjadi salah satu pencetus Kulon Progo menjadi daerah inklusi. Dari pertemuan tokoh masyarakat, penghayat, dan sejumlah tokoh agama, PEBM diundang di Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa) sebagai organisasi, bukan perorangan atau individu. Ini untuk membangun agar bisa hidup harmonis. Hidup tidak terkotak-kotak seperti daerah lain,” kata Lasio, anggota PEBM sekaligus warga Dusun Kidulan, Desa Salamrejo.

Sejumlah penghayat PEBM saat berfoto di sela acara konferensi tentang kebebasan beragama (Foto Dok. PEBM)
Kepala Disdukcapil Kabupaten Kulon Progo, Aspiyah, mengatakan anggota penghayat kepercayaan memang masih sedikit yang mengurus pengubahan isian kolom ‘agama’ di KTP elektronik. Sejak menjabat kepala dinas pada 17 September 2019, baru lima penghayat kepercayaan yang mengubah isian kolom ‘agama’. Lima penghayat itu yakni dari Kecamatan Sentolo (1 orang), Kecamatan Girimulyo (2 orang), Kecamatan Samigaluh (1 orang), dan Kecamatan Kalibawang (1 orang).
“Aturan Kementerian Dalam Negeri sudah membolehkan isian agama menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di KK dan KTP,” kata Aspiyah.
Menurut Aspiyah, kelompok penghayat yang hendak mengubah isian kolom ‘agama’ tidak perlu khawatir. Ia mengatakan, hal itu sudah dilindungi negara dan akan diakomodasi.
“Masyarakat (kelompok penghayat) punya hak-hak yang dilindungi. Tak usah khawatir. Kalau datang ke kami, akan kami layani. Tak akan kami tolak,” ungkapnya.
Selain itu, Aspiyah mengatakan, masyarakat penghayat juga bisa menikahkan anaknya sesuai dengan ketentuan yang dipercayai. Menurut dia, pihak pemerintah tetap akan mencatat dokumen pernikahan itu secara resmi.
Bertahan di tengah pandemi
Pandemi virus korona (covid-19) membuat seluruh sendiri kehidupan masyarakat terdampak, termasuk kesehatan dan ekonomi. Ketua Cabang PEBM Kabupaten Kulon Progo, Sasmito Gati, mengatakan kelompoknya memiliki unit usaha agar bisa tetap bertahan. Unit usaha bernama Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Maju Bersama itu memproduksi minuman herbal.
Gati mengungkapkan minuman herbal berupa wedang secang diproduksi mandiri PEBM. Bahan-bahan dasar wedang secang itu didapat dari belanja di Pasar Beringharjo. Sejumlah bahan produksi wedang secang di antaranya; jahe, kepulaga, serai, secang, kayu manis, dan gula batu.
Beragam bahan itu lantas diracik mandiri. Anggota PEBM yang punya waktu segang bisa ikut meramu. Selesai meramu, setiap ramuan untuk satu porsi wedang secang dibungkus.
“Kami beri nama wedang secang ‘Jogo Rogo’,” kata warga Desa Triharjo, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo ini.

Produk minuman herbal wedang secang produksi kelompok penghayat PEBM (Foto Ahmad Mustaqim Medcom.id
Setiap satu bungkus wedang secang itu berisi enam kemasan wedang secang. Setiap bungkus wedang secang dijual Rp15 ribu. Produk wedang secang itu dijual di toko-toko warga sekitar di Kulon Progo.
“Setiap dua minggu sekali dicek. Habis atau kurang, bisa ditambah. Kami memasok ke toko-toko,” ujar lelaki 46 tahun ini.
Selain wedang secang, Gati mengatakan, KUBE juga memiliki produk teh dari bahan tanaman lidah buaya. Teh itu berbahan kulit lidah buaya. Menurut dia, anggota PEBM telah diminta menanam tanaman lidah buaya. Meskipun, ada sejumlah kebun lidah buaya di beberapa titik lahan milik anggota.
“Daging lidah buaya ini bisa dibuat cendol dan agar-agar. Kulitnya bisa untuk dibuat the,” ungkapnya.
KUBE Maju Bersama PEBM juga memiliki produk minuman air kemasan. Menurut Gati, hasil pengelolaan KUBE itu akan dilaporkan setiap tahun. 50 persen keuntunggan dari pengelolaan akan dipakai untuk perputaran usaha. Sementara, sejumlah keuntungan masuk untuk kelangsungan organisasi PEBM.
Melestarikan budaya
Selain sektor perekonomian, PEBM juga memiliki kontribusi terhadap pelestarian budaya. Sejumlah anggota penghayat tersebut menjadi pelaku kesenian dan biasa manggung di sejumlah daerah.
Gati misalnya, memiliki keterampilan macapatan. Ia beberapa kali diundang dalam pentas kesenian. Selain itu, beberapa anggota PEBM memiliki keterampilan menjadi sinden, memainkan gamelan, hingga menjadi seniman ketoprak.
“Di paguyuban tak ada kelompok kesenian, tapi anggota PEBM ada yang ikut karawitan dan sinden. Mereka pentas kalau ada undangan,” kata dia.
Pentas macapatan terakhir yang dilakukan Gati adalah di Kampung Mataraman pada Sabtu, 26 September 2020. Ia manggung berkolaborasi dengan Sanggar Seni Omah Cangkem dari Karangjati, Kabupaten Bantul.
Ia menambahkan beberapa anggota PEBM yang mahir dalam kesenian yakni Mangunwiharjo, Slamet Adi Suprapto (menabuh gamelan), dan Lasio (seniman ketoprak).
“Ada anggota PEBM yang punya perangkat gamelan, tapi kalau manggung harus kolaborasi dengan yang lain,” kata dia.
https://www.medcom.id/nasional/daera...penghayat-pebm
Semoga aja bisa ditiru di kota lainnya






roninthirst dan 2 lainnya memberi reputasi
3
335
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan