- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pembakaran Kejagung, Siapa Diuntungkan?


TS
NegaraTerbaru
Pembakaran Kejagung, Siapa Diuntungkan?
Spoiler for Kejagung yang terbakar:
Spoiler for Video:
Misteri kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) yang terjadi pada malam hari 22 Agustus silam mulai terungkap. Hasil penyelidikan pihak Kepolisian membeberkan bahwa ternyata Kejagung tak terbakar, melainkan dibakar.
Api diduga berasal dari lantai 6 ruang rapat Biro Kepegawaian, lalu menjalar ke bagian lainnya. Kobaran api dengan cepat menjalar karena terdapat bahan-bahan yang mudah terbakar di gedung tersebut. Hasil olah TKP Puslabfor turut menyimpulkan sumber api diduga karena nyala api terbuka, bukan karena hubungan arus pendek yang selama ini menjadi dugaan pihak Kejagung.
Sumber : CNN Indonesia[Ada Unsur Pidana, Kasus Kebakaran Kejagung Naik ke Penyidikan]
Sebagai informasi, pada 25 Agustus 2020, Tenaga ahli Jaksa Agung, Andi Hamzah pernah mengatakan bahwa kebakaran di gedung utama Kejaksaan Agung besar kemungkinan akibat korsleting listrik. Apalagi bangunan itu termasuk bangunan tua yang telah berdiri sejak 1967.
Namun publik tak bisa serta merta menerima dugaan kebakaran Kejagung yang terbakar karena korsleting listrik. Apalagi Early Warning System (EWS) Kejagung di malam naas itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sumber : IDN Times [Kebakaran di Kejagung karena Korsleting Listrik?]
Sikap dari pihak Jaksa Agung yang terlalu terburu-buru mengatakan kemungkinan besar Kejagung terbakar karena ketidaksengajaan justru menimbulkan kecurigaan. Padahal penyelidikan kasus kebakaran Kejagung saat itu tengah berjalan. Apalagi kebakaran Kejagung terjadi di tengah pemeriksaan oknum Jaksa Pinangki Sirna Malasari terkait kasus Djoko Tjandra.
Sikap buru-buru Kejagung dalam menyimpulkan sesuatu pun kembali terulang saat mereka melimpahkan perkara Jaksa Pinangki ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Dengan kata lain Jaksa Pinangki sebentar lagi akan disidang. Sementara masih banyak pihak lain yang diduga turut terlibat dalam kasus ini.
Pada 17 September 2020, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mempertanyakan sikap Kejagung yang melimpahkan perkara Jaksa Pinangki ke Kejari Jakpus. Padahal proses penyidikan belum menunjukkan perkembangan yang berarti.
Kurnia menilai ada dua hal yang belum terungkap dalam penyidikan. Pertama, tentang kemungkinan adanya ‘orang besar’ di balik Jaksa Pinangki yang mampu menjembatani antara Djoko Tjandra dengan Pinangki. Kurnia menyangsikan jika Djoko Tjandra bisa percaya begitu saja pada jaksa sekelas Pinangki untuk mengurus fatwa MA.
Kedua, dalam mengurus fatwa MA, Pinangki tentunya membutuhkan orang di Mahkamah Agung (MA). Oleh karena itu, peneliiti ICW itu mendesak agar Kejagung mendalami dugaan orang dalam di MA yang membantu Pinangki.
Sumber : Tirto [ICW Kritik Proses Pelimpahan Perkara Jaksa Pinangki oleh Kejagung]
Setali tiga uang, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman memandang ada kejanggalan dalam pelimpahan berkas perkara Pinangki ke Pengadilan Tipikor.
"Aku melihatnya ada kejanggalan, karena ini tampak dikebut untuk dugaannya melindungi pihak-pihak lain terkait dengan Pinangki, bisa orang lain, bisa atasannya. Dan tampak juga memburu waktu, karena akan disupervisi KPK," kata Boyamin. pada 18 September 2020.
Oleh karena itu, Boyamin meminta agar KPK tetap mensupervisi perkara Pinangki. Bahkan jika perlu, KPK mengambil alih kasus ini dengan penyidikan baru untuk pihak-pihak yang belum terkait namun diduga terlibat atau meminta pelimpahan perkara Pinangki ke pengadilan dicabut kembali untuk diproses ulang.
Sumber : Merdeka [Cepatnya Pemberkasan Jaksa Pinangki, MAKI Duga Ada Upaya Melindungi Seseorang]
Tuntutan dari kedua LSM pemerhati korupsi tersebut mengindikasikan ada sesuatu yang sengaja disembunyikan oleh Kejagung. Maka tak tertutup pula kemungkinan, sikap Kejagung yang beranggapan kebakaran terjadi karena korsleting listrik, adalah untuk menutup-nutupi suatu perkara.
Cepatnya pelimpahan berkas Pinangki seakan mengindikasikan bahwa Kejagung mengarahkan kasus yang menjerat Jaksa Pinangki hanya melibatkan Jaksa Pinangki, Anita Kolopaking, dan Andi Irfan Jaya. Dalam abstraksi surat dakwaan yang telah disusun JPU, disebutkan Jaksa Pinangki bersama Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya bertemu dengan Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia, pada bulan November 2019.
Dalam pertemuan itu, Djoko Tjandra setuju meminta Pinangki dan Anita Kolopaking membantu pengurusan fatwa MA ke Kejagung supaya pidana terhadap Djoko Tjandra tidak dapat dieksekusi. Djoko lantas menyediakan imbalan 1 juta USD dan diserahkan melalui Andi Irfan Jaya sebagai rekan dari Pinangki. Andi Irfan dan Djoko Tjandra juga sepakat untuk memberikan uang 10 juta USD kepada pejabat di Kejagung dan MA sebagai keperluan mengurus permohonan fatwa MA melalui Kejagung.
Uang 1 juta USD hanya diberikan sebanyak 500 ribu USD sebagai DP 50 persen dari uang yang dijanjikan. Namun ternyata terjadi pecah kongsi karena tidak ada satupun rencana yang tertuang dalam “Action Plan” terlaksana. Oleh karena itu, pada Desember 2019, Djoko Tjandra membatalkan rencana tersebut.
Sumber : Okezone [Berkas Perkara Lengkap, Jaksa Pinangki Segera Duduk di Kursi Pesakitan]
Bukankah masih banyak pihak yang diduga terlibat? Seperti siapa orang di Kejagung yang menjadi koneksi Pinangki? Mengapa Andi Irfan Jaya dipercaya oleh Djoko Tjandra memberikan uang ke Pinangki? Jika pecah kongsi, mengapa Djoko Tjandra pergi ke Indonesia bulan Maret lalu dan menjadi pengacara Anita?
Berbagai misteri yang belum terungkap itu pula agaknya yang menyebabkan MAKI menyerahkan sejumlah dokumen kepada KPK pada 16 September 2020. Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, dokumen itu berisi dugaan percakapan WhatsApp (WA) antara Jaksa Pinangki dengan Anita Kolopaking tentang kode ‘Bapakmu-Bapakku’ serta istilah ‘King Maker’. Namun, hal yang menarik bukan hanya itu, sebab inisial ‘JA’ mucul pula di percakapan.
Percakapan WA yang tertulis di dokumen tertanggal 2 Maret 2020 itu diduga ditulis Jaksa Pinangki yang tengah membuat janji pertemuan dengan Anita Kolopaking. Di percakapan, Jaksa Pinangki meminta pertemuan dengan Anita dilakukan hari Rabu siang. “Krn raby (rabu) paginya sy (Pinangki) antar rahmat menghadap JA,” begitu isi WA-nya.
Apabila anda mengikuti perkembangan kasus Djoko Tjandra, tentunya tak asing lagi dengan nama Rahmat. Ia adalah orang yang memperkenalkan Jaksa Pinangki dengan Djoko Tjandra. Namun yang justru menjadi perhatian adalah inisial JA.
Siapakah orang bernama JA yang dimaksud Pinangki? Mengapa Jaksa Pinangki dapat mengantar Rahmat menghadap JA padahal itu dilakukan di jam kerja? Oleh karena itu besar kemungkinan, sosok berinisial JA sekantor dengan Jaksa Pinangki, yakni di Kejaksaan Agung. Maka dapat kita ambil kesimpulan, yang dimaksud JA bukanlah inisal nama, melainkan singkatan dari Jaksa Agung.
Sumber : Kumparan [KPK Pelajari Laporan MAKI soal Kasus Jaksa Pinangki, Termasuk Inisial 'JA']
Lalu pertanyaan mengenai Andi Irfan Jaya. Seorang politikus NasDem asal Sulawesi Selatan yang bukan politikus ternama namun dipercaya Djoko Tjandra untuk menyerahkan uang 500 ribu USD ke Jaksa Pinangki. Andi Irfan bahkan tak memiliki jabatan terkait dengan penegakan hukum seperti Komisi III DPR RI, tapi dia bisa mengenal Jaksa Pinangki. Tentunya jika sekelas Andi Irfan dipercaya Djoko Tjandra bahkan dapat kenal dengan Jaksa Pinangki, mustahil tak ada politisi kuat di belakangnya.
Mantan Sekjen Partai NasDem, Patrice Rio Capella menyerukan bahwa Andi Irfan bukan pemain tunggal. Patrice Rio mengatakan ada tiga klaster di kasus Djoko Tjandra, yakni polisi, jaksa, dan politisi. Ia meyakini yang menjadi otaknya adalah klaster politisi. Patrice Rio Capella menduga politisi ini juga menjabat di Komisi III DPR RI.
“Andi Irfan Jaya itu dulu adalah peneliti, atau surveyor di Makassar lalu kenal dengan politisi Nasdem, ditarik jadi Wakil Ketua di Sulsel. Jadi atasan Andi Irfan ini lah yang menjual pengaruhnya ke Djoko Tjandra,” tutur Rio.
Sumber : Indopos [Desak Usut Klaster Politisi di Kasus Djoko Tjandra]
Pernyataan Patrice Rio Capella sangat menarik dan perlu ditelisik lebih lanjut. Sebab, ia mengatakan atasan Andi Irfan di Sulsel sebagai pihak yang menjual pengaruh ke Djoko Tjandra. Hal ini berarti, Ketua DPW NasDem Sulsel yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPP NasDem serta bagian dari Anggota Komisi III DPR RI (Dapil Sulawesi Selatan III) Rusdi Masse Mappasessu adalah politikus di balik Andi Irfan Jaya.
Sumber : Jawa Pos [Teman Dekat Pinangki, Elite Nasdem Diduga Terseret Kasus Djoko Tjandra]
Namun jika hanya Rusdi Masse tentu tak akan mampu meyakinkan Djoko Tjandra. Oleh karena itu, harus ada sosok yang lebih kuat dari pada Rusdi Masse. Ia harus memiliki pengaruh yang kuat dengan Komisi III atau menduduki Komisi III DPR RI. Orang itu pun harus memiliki jabatan lebih tinggi di organisasi kepartaian NasDem. Terakhir, jika kita melihat pola Andi Irfan dan Rusdi Masse yang berasal dari Sulawesi, maka kuat dugaan orang itu pun berasal dari Sulawesi.
Wajarkah penulis menduga anggota Wakil Ketua Umum DPP Partai NasDem Ahmad M Ali, yang juga anggota Komisi III DPR, serta berasal dari Sulawesi, sebagai otak di balik kasus Djoko Tjandra klaster politisi?
Sumber : Tirto [Daftar Anggota Komisi III DPR RI 2019-2024: Herman Hery Jadi Ketua]
Namun, semua itu hanya dugaan. Sejumlah nama telah bertebaran, mulai dari pihak Kejaksaan hingga Politisi. Sekarang tinggal Kejagung yang seharusnya tidak terburu-buru mengungkap suatu perkara. Jangan sampai anggapan Kejagung kebakaran karena korsleting atau tertutup dalam mengusut oknum Kejaksaan terus berulang.
Jika memang Korps Adhyaksa serius dan menjunjung tinggi penegakan hukum, maka nama-nama selain Jaksa Pinangki, Anita Kolopaking, dan Andi Irfan Jaya harus diselidiki terlebih dahulu sebelum persidangan Jaksa Pinangki, bukan?
Diubah oleh NegaraTerbaru 21-09-2020 17:12
0
966
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan