

TS
unifardila
Aku Dan Bully
Segala Kenang
Aku pernah ingin berteriak, mengumpat pada dunia. Mempertanyakan kenapa hanya aku yang berbeda. Mempertanyakan kenapa hanya namaku yang selalu terselip di balik celah gigi bau manusia. Mempertanyakan kenapa mereka menjauhiku.
Dulu, saat aku masih bodoh. Mereka bilang tidak mau dekat-dekat dengan anak bodoh, karena tidak berguna. Perkataan mereka membuatku giat belajar, mempelajari apapun agar bisa menjadi anak pintar uang disenangi banyak orang. Namun, ketika aku sudah berprestasi, aku juga dijauhi. Katanya, orang pintar sepertiku tidak bisa berteman dengan mereka anak-anak Badung. Lalu, saat aku mendekati anak pintar lainnya, mereka memusuhiku dan menganggap aku kurang punya penampilan.
"Harus kemana aku? Harus bagaimanakah aku?" keluhku.
Sekuat apapun aku, aku tetap butuh bahu untuk bersandar. Untung ada keluarga meski tanpa teman-teman. Bagiku teman-teman adalah cacing pembunuh yang mematikan. Hanya sebatas teman saat mereka butuh, lalu tak peduli begitu mereka selesai dengan urusannya.
Aku sering duduk sendiri, merenung, siapa sebenarnya yang salah, aku atau mereka, atau ... kau, Dunia. Kenapa aku tidak masuk dalam salah satu kategori?
Hidupku terus berjalan hingga bertahun-tahun, tapi semuanya masih sama. Aku masih saja menjadi orang yang dibayangin oleh standar dunia dan penilaian manusia. Aku tidak boleh terlihat kurang. Aku harus se-sempurna mungkin. Aku harus bisa membuat orang mempunyai ekspektasi lebih terhadapku.
Namun, ada saja yang kurang. Ada saja mulut-mulut yang setia mengomentari setiap kekuranganku, seolah mereka expert yang sangat sempurna. Lalu, pada titik ini aku akan mengalami gejala sedih, minder dan merasa aku adalah korban. Aku merasa mereka adalah manusia-manusia jahat yang selalu menargetkan orang-orang sepertiku.
Sampai pada suatu ketika, aku sadar. Aku gak boleh terus-terusan begini. Aku gak boleh terus-terus nge-push diri sendiri hanya untuk menyenangkan orang lain. Pada akhirnya aku berhenti. Aku berhenti memuaskan keinginan orang lain. Aku berhenti menganggap diri sendiri sebagai korban, karena aku tidak selemah itu, aku punya mulut untuk berteriak sesuka dan aku tidak boleh lemah hingga empuk menjadi bahan tindasan.
Aku berhenti dari segala standar dunia, lalu membuat standarku sendiri. 'Asal aku nyaman, asal tidak menganggu orang lain. Itu sudah cukup.' Dengan begitu, aku menjadi orang yang lebih menerima apa adanya diriku.
Pada akhirnya, aku sadar. Daripada berlomba-lomba dengan standar dunia dan ekspektasi orang lain terhadapku, akan lebih baik jika aku berlomba dengan diriku di hari kemarin. Agar aku bisa mengukur sejauh mana aku telah berkembang. Karena pada akhirnya, aku sadar, tidak ada gunanya membabi buta menjadi seperti orang lain.
Mereka hebat dengan cara mereka.
Aku juga bisa hebat dengan caraku.
Karena hebat itu relatif. Aku lebih suka bilang, karena hebat, sukses, bahagia, cantik, baik, jahat, pelit dan segala sifat lainnya itu relatif.
Sekian saja hari ini. Dari Aku di masa depan yang mengenang Aku di masa lalu.

Aku pernah ingin berteriak, mengumpat pada dunia. Mempertanyakan kenapa hanya aku yang berbeda. Mempertanyakan kenapa hanya namaku yang selalu terselip di balik celah gigi bau manusia. Mempertanyakan kenapa mereka menjauhiku.
Dulu, saat aku masih bodoh. Mereka bilang tidak mau dekat-dekat dengan anak bodoh, karena tidak berguna. Perkataan mereka membuatku giat belajar, mempelajari apapun agar bisa menjadi anak pintar uang disenangi banyak orang. Namun, ketika aku sudah berprestasi, aku juga dijauhi. Katanya, orang pintar sepertiku tidak bisa berteman dengan mereka anak-anak Badung. Lalu, saat aku mendekati anak pintar lainnya, mereka memusuhiku dan menganggap aku kurang punya penampilan.
"Harus kemana aku? Harus bagaimanakah aku?" keluhku.
Sekuat apapun aku, aku tetap butuh bahu untuk bersandar. Untung ada keluarga meski tanpa teman-teman. Bagiku teman-teman adalah cacing pembunuh yang mematikan. Hanya sebatas teman saat mereka butuh, lalu tak peduli begitu mereka selesai dengan urusannya.
Aku sering duduk sendiri, merenung, siapa sebenarnya yang salah, aku atau mereka, atau ... kau, Dunia. Kenapa aku tidak masuk dalam salah satu kategori?
Hidupku terus berjalan hingga bertahun-tahun, tapi semuanya masih sama. Aku masih saja menjadi orang yang dibayangin oleh standar dunia dan penilaian manusia. Aku tidak boleh terlihat kurang. Aku harus se-sempurna mungkin. Aku harus bisa membuat orang mempunyai ekspektasi lebih terhadapku.
Namun, ada saja yang kurang. Ada saja mulut-mulut yang setia mengomentari setiap kekuranganku, seolah mereka expert yang sangat sempurna. Lalu, pada titik ini aku akan mengalami gejala sedih, minder dan merasa aku adalah korban. Aku merasa mereka adalah manusia-manusia jahat yang selalu menargetkan orang-orang sepertiku.
Sampai pada suatu ketika, aku sadar. Aku gak boleh terus-terusan begini. Aku gak boleh terus-terus nge-push diri sendiri hanya untuk menyenangkan orang lain. Pada akhirnya aku berhenti. Aku berhenti memuaskan keinginan orang lain. Aku berhenti menganggap diri sendiri sebagai korban, karena aku tidak selemah itu, aku punya mulut untuk berteriak sesuka dan aku tidak boleh lemah hingga empuk menjadi bahan tindasan.
Aku berhenti dari segala standar dunia, lalu membuat standarku sendiri. 'Asal aku nyaman, asal tidak menganggu orang lain. Itu sudah cukup.' Dengan begitu, aku menjadi orang yang lebih menerima apa adanya diriku.
Pada akhirnya, aku sadar. Daripada berlomba-lomba dengan standar dunia dan ekspektasi orang lain terhadapku, akan lebih baik jika aku berlomba dengan diriku di hari kemarin. Agar aku bisa mengukur sejauh mana aku telah berkembang. Karena pada akhirnya, aku sadar, tidak ada gunanya membabi buta menjadi seperti orang lain.
Mereka hebat dengan cara mereka.
Aku juga bisa hebat dengan caraku.
Karena hebat itu relatif. Aku lebih suka bilang, karena hebat, sukses, bahagia, cantik, baik, jahat, pelit dan segala sifat lainnya itu relatif.
Sekian saja hari ini. Dari Aku di masa depan yang mengenang Aku di masa lalu.

0
152
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan