- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Revisi UU BI & "Burden Sharing" Bikin Rupiah Terburuk di Asia


TS
db84x3
Revisi UU BI & "Burden Sharing" Bikin Rupiah Terburuk di Asia
MARKET - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia 02 September 2020 16:42
GIF Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (2/9/2020). Dolar AS bangkit dari tekanan, tetapi pukulan paling telak justru datang dari dalam negeri.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,24% di Rp 14.600/US$. Tidak lama, depresiasi rupiah membengkak hingga 1,61% ke Rp 14.800/US$, terlemah sejak 18 Agustus lalu.
Posisi rupiah membaik, di penutupan perdagangan berada di level Rp 14.740/US$, melemah 1,2% di pasar spot.
Dengan pelemahan tersebut, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia hari ini.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.

Indeks dolar AS yang bangkit dari keterpurukan membuat rupiah tertekan. Kenaikan indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut dipicu rilis data manufaktur AS yang melesat tinggi di bulan Agustus. Institute for Supply Management (ISM) kemarin melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur melesat menjadi 56 dari bulan Juli 54,2.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di di atasnya berarti ekspansi.
PMI manufaktur bulan Agustus tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari 2019. Ekspansi sektor manufaktur yang meningkat memunculkan harapan perekonomian AS bisa segera bangkit dari kemerosotan tajam, indeks dolar yang sebelumnya merosot 0,65% ke level terendah lebih dari 2 tahun terakhir, berbalik menguat 0,21% kemarin, dan berlanjut 0,01% hari ini. Rupiah pun tertekan.
Sementara itu dari dalam negeri, rupiah tertekan akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.
Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.
Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.
"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International hari ini.
Selain itu kemungkinan program "burden sharing" pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022 juga memukul rupiah.
Hal itu diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis media asing kemarin di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.
Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.
"Burden sharing" merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.
Ada kecemasan di pasar "burden sharing" akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Sumber Berita
Siapa ya kambing itemnya bangsa cebong kalau gagal meroket di bulan September
GIF Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (2/9/2020). Dolar AS bangkit dari tekanan, tetapi pukulan paling telak justru datang dari dalam negeri.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,24% di Rp 14.600/US$. Tidak lama, depresiasi rupiah membengkak hingga 1,61% ke Rp 14.800/US$, terlemah sejak 18 Agustus lalu.
Posisi rupiah membaik, di penutupan perdagangan berada di level Rp 14.740/US$, melemah 1,2% di pasar spot.
Dengan pelemahan tersebut, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia hari ini.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.

Indeks dolar AS yang bangkit dari keterpurukan membuat rupiah tertekan. Kenaikan indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut dipicu rilis data manufaktur AS yang melesat tinggi di bulan Agustus. Institute for Supply Management (ISM) kemarin melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur melesat menjadi 56 dari bulan Juli 54,2.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di di atasnya berarti ekspansi.
PMI manufaktur bulan Agustus tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari 2019. Ekspansi sektor manufaktur yang meningkat memunculkan harapan perekonomian AS bisa segera bangkit dari kemerosotan tajam, indeks dolar yang sebelumnya merosot 0,65% ke level terendah lebih dari 2 tahun terakhir, berbalik menguat 0,21% kemarin, dan berlanjut 0,01% hari ini. Rupiah pun tertekan.
Sementara itu dari dalam negeri, rupiah tertekan akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.
Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.
Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.
"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International hari ini.
Selain itu kemungkinan program "burden sharing" pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022 juga memukul rupiah.
Hal itu diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis media asing kemarin di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.
Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.
"Burden sharing" merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.
Ada kecemasan di pasar "burden sharing" akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Sumber Berita
Siapa ya kambing itemnya bangsa cebong kalau gagal meroket di bulan September

Diubah oleh db84x3 02-09-2020 21:32




ambarjulaeha dan nomorelies memberi reputasi
0
804
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan