Kaskus

Story

re.dearAvatar border
TS
re.dear
Bengkel Patah Tulang
Bengkel Patah Tulang


Spoiler for WARNING:


Jauh sebelum pandemi ini bertamu & memporak-porandakan negeri ini, saya adalah seorang yang berkecukupan, mempunyai istri 1 & anak 2 (harapan semoga istri nambah, anak nggak).

Panggil saja saya Ujang, lelaki tampan asal desa, merantau di kota nyemplung jadi kuli.
Dari kuli bangunan, hingga kuli tinta. Rasanya sudah saya jajaki demi bertahan hidup, alih-alih di desa karena pertarungan merebut sebidang tanah warisan masih belum ada titik terang.

Di kota ini,
Ternyata ada saudara jauh dari pihak ibu saya yang berkarir sebagai seorang tata busana di sebuah gang mentok di pinggir kota. Panggil saja bi Mpok.

Suatu waktu, anak bungsu bi Mpok yang baru masuk SD dikabarkan khitan. Digelarlah acara hajatan lengkap dengan segudang makanan prasmanan tersaji, acara organ tunggal & penyanyi suara pas-pasan tapi seksi, juga sekelumit drama perihal perlu ngasih amplop atau ngga yang simpang siur tanpa ada titik pasti.

Bengkel Patah Tulang
ini

Istri & anak saya boyong ke rumahnya, untuk sekedar bantu-bantu demi bisa makan enak tanpa ngamplop sepuas perut.

Kabar ini juga berhembus ke desa, beberapa orang yang merasa dekat dengan bi Mpok langsung tarik gas menggunakan motor sejuta umat berangkat.
72 KM ditembus begitu saja, bermodal uang duaratus ribu untuk bensin juga ngopi, satu motor didempetnya 3 orang demi dapat berkunjung dengan dalih 'silaturahmi'.

Namun sayang,
Takdir berkehendak lain lalu meluncurkan rencananya sendiri. Motor tadi mengalami rem blong di turunan, hingga menyebabkan sang pengemudi banting kanan menabrak tebing demi menyelamatkan diri.

Luka disana-sini pun harus diterima, untungnya nyawa masih selamat. Meski mata kaki kanan terlihat tak normal. Lutut menghadap utara, jempol kaki memghadap timur.
Kakinya patah.

Di tengah riuhnya dangdut koplo, asap rokok, bau miras oplosan, handphone ilegal saya berdering lalu bergetar.

"Ujang, saya kecelakaan di sekitar jalan nganu. Motor hancur, kaki patah, sisanya luka-luka. Tolong saya." Rintih Maman, saudara jauh saya yang lain di ujung sana.

"Share lokasi, saya berangkat." Jawab saya sembari mematikan rokok yang baru dinyalakan 2 menit lalu dapat minta dari akang kendang.

Kabar tak sedap ini, saya teruskan ke pemangku hajat, istri & tak lupa tukang bengkel depan. Berangkatlah saya, menggunakan mobil bak terbuka. Setelah melihat kondisi motor yang mustahil dikendarai lagi.

Memang dasar,
Yang saya pikirkan dijalan bukanlah bagaimana kondisi mereka. Tapi bagaimana saya ganti uang bensin dari yang empunya mobil.

Saat tiba, ternyata semuanya sedang diobati oleh warga sekitar di rumahnya. Setelah melewati diskusi alot, akhirnya saya membawa mereka ke tempat hajatan.

Motor disimpan di bengkel, para korban dibawa ke ruangan khusus untuk istirahat. Acara selesai, masalah tiba. Bengkel patah tulang dicari hingga ujung kecamatan.

Bengkel Patah Tulang
dapet disini

"Rumah sakit mahal, kita cari bengkel patah tulang saja, lebih murah." Pinta maman di tengah rintihannya yang masih sempat memikirkan isi dompet.

Gayung bersambut, takdir mendukung, sebelum tengah malam lewat, plang 'bengkel tulang' terpampang berkarat di sebelah warung, di seberang kebun kosong.

"Permisi pak!"
Teriakku di depan pagar goyang berdecit seperti tikus tua yang terkena jebakan kawat.

Seorang kakek yang lewat setengah abad muncul di balik pintu mengenakan pakaian serba putih menuju pagar tempatku berdiri.

"Masuk saja nak, bawa pasiennya masuk."
Perintahnya dengan suara serak & bau tembakau kental dari mulutnya.

"Baik ki."
Sanggupku, sambil memapah Maman masuk ke ruangan dengan cat merah tua yang sudah berkelupas sana-sini. Tak ada kursi atau sofa, kami duduk di lantai beralaskan tikar yang sudah sobek di setiap bagian ujungnya.

Ruangan itu tercium aroma menyan yang menyerbak. Sempat berfikir.

'ini bengkel tulang, atau bengkel dukun?'

Tak disangka suara serak setengah berteriak di ruangan lain.

"Saya bisa mengobati apa saja, tulang, hati, karir. Tolong jangan heran." Jawab Kakek itu yang belakangan kutahu namanya Ki Tirah.

"Kita gak salah alamat kan, jang?" Maman khawatir.

"Man, emang saya tahu? Kan nggak, dari sore kita muter-muter, ketemu yang ini, apa salahnya dicoba? Kan yang penting sembuh." Jawabku sambil sedikit kesal.

Bayangkan,
Makan belum kenyang, duit belum diganti, tapi harus ngurus 3 orang sakit. Jangan bilang kemanusiaan kalo urusan perut masih belum kekenyangan.

"Bisa langsung sembuh gak ya?"
Lanjutnya kemudian.

"Kita tunggu balasan aki."
Timpalku yang disusul dengan kehadirannya lengkap dengan sebilah pisau sepanjang 15 cm, tempat menyan dengan bara menyala serta kepulan asap harum, lalu terakhir bunga-bungaan sepiring.

Bengkel Patah Tulang
nyomot

"Abis ini juga bisa langsung sembuh, tenang saja."
Aki menjawab rasa penasaran kami tentang bagaimana hasilnya nanti.

Aku & Maman sama-sama mengerti, ini bukan pengobatan bengkel tulang biasa. Aku menatap mata Maman, mencoba memberi isyarat untuk membatalkan hal ini & kembali mencari di tempat lain.

Namun matanya seolah menjawab 'ini kota, bengkel tulang lebih sulit ditemukan daripada dinding bilik anyaman bambu.'

Akhirnya aku pasrah, membiarkan pengobatan tak masuk akal itu berlangsung.

Kaki yang patah ditarik lurus, setelah Ki Turah memperhatikan agak lama, ia mengambil pisaunya lalu mengasapi dengan kemenyan tak lupa mantra dibacakan dengan khusyu.
Jika boleh ku bilang, pemandangan itu seperti seorang jenderal yang baru saja menerima plakat kehormatan.

"Tutup mata kalo tidak kuat."
Perintahnya sambil mengelus bagian tulang yang patah.
Entah perintah itu untuk siapa, tapi baik Maman maupun aku, tak ada yang dari kami memejamkan mata.

Pisau diarahkan ke bagian belakang mata kaki kanan, mengiris tepat di bagian tulang yang menonjol, setelah terlihat tulang itu, aki menariknya dengan kasar & menempatkan kembali di tempat yg seharusnya.
Tekniknya itu persis seperti melepas & memasang puzzle. Bedanya ini kaki.

Pertunjukan itu berlangsung kurang dari 10 detik, tak ada jeritan, tak ada tanda-tanda rasa sakit yang Maman rasakan. Lalu secara ajaib, kaki itu sembuh, tanpa luka apapun, tak ada bekas sayatan, tak ada luka kecelakaan. Seolah kecelakaan yang tadi pagi ia alami hanya mimpi.

"Hahaha! Segini saja buat aki mudah. Apa aki bilang? Sembuh kan? Hahaha."
Tawanya membuatku bergidik ngeri, pasalnya gigi itu bukan kuning, tapi hitam.
Apa tak ada pasta gigi di rumah ini?

Aku tersenyum, sementara Maman mengungkapkan ekspresi puas. Jelas ini bukan pengobatan normal. Namun apa harga yang harus dibayar?

"Saya bayar aki berapa?"
Pertanyaan Maman seolah ingin mengakhiri tawa puasnya aki.

"Seratus ribu, juga aki minta rokokmu."
Jawabnya sambil menujukku.

Uang telah Maman serahkan di pinggir 'perlengkapan' pengobatan. Lalu aku merogoh bungkus rokok setengah isi.

"Sisanya segini, gapapa ki?"
Tanyaku ragu.

"Ngga apa-apa."
Jawabnya sambil meraih dari tanganku. Seolah tergesa, ia mengambil & menyalakan rokok kretek berlambang 234 itu.
Lalu menutup bungkusnya.

"Buat aki segini lebih dari cukup, tak usah khawatir."
Jelasnya seolah mengusir rasa seganku.

"Gak percaya?"
Ia lantas membuka bungkus rokoknya, ajaib. Rokok yang harusnya berkurang sebatang dari setengah isi, kini malah terisi penuh sebungkus 12 batang.

"Kok bisa? Harusnya kan ada 5 batang." Tanyaku heran.

"Hahaha, ini baru rokok, uang juga bisa aki beginikan. Makanya buat aki segini sudah cukup. Baiklah, kalian boleh pulang."
Ujarnya kemudian.

Mungkin perasaanku,
Kalimat terakhirnya terdapat nada mengusir.

Kamipun pamit, meninggalkan sebuah penasaran yang menggantung.
indrag057Avatar border
no_doubtAvatar border
joyanwotoAvatar border
joyanwoto dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.4K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan