Seperti yang agan sista pernah rasakan, setiap tanggal 17 Agustus sekolah mewajibkan para siswanya untuk melaksanakan upacara bendera di sekolahnya masing-masing. Meski di kalender tanggal 17 Agustus berwarna merah, namun para siswa wajib hadir, ya walaupun hanya untuk melaksanakan upacara bendera dan untuk menghormati jasa para pahlawan.

Menjadi petugas upacara merupakan salah satu hal yang sangat tidak ingin ane lakukan sebenarnya. Berdiri didepan ratusan orang-orang dan menjadi pusat perhatian mereka. Apalagi saat giliran kita beraksi, maka otomatis pandangan orang-orang akan fokus pada kita. Dan ane sebagai orang yang mudah gugup ini akan menjadi semakin sulit untuk fokus dan berkonsentrasi dengan tugas yang harus ane jalani.

Jadi ceritanya dulu saat ane masih kelas 6 SD, ane dijadikan petugas upacara oleh wali kelas ane sebagai pembaca doa. Tugasnya memang tidak terlalu berat, cukup langkahkan kaki kedepan, buka map, beri salam, baca tulisannya dengan khitmat, tutup dengan salam dan kembali ke tempat semula. Semuanya terdengar mudah untuk ane yang kini sudah terbiasa berbicara dihadapan banyak orang. Tapi dulu, saat ane bertugas sebagai pembaca doa, semua terasa sangat sangat berat.

Sebenarnya sebelum upacara dimulai, ane sudah berlatih dengan orang tua ane yang kebetulan seorang abdi negara. Ane diajarkan oleh ortu ane apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana cara menutup doanya nanti. Semua sudah tersusun secara sistematis di otak ane. Tapi entah kenapa semua yang sudah ane ingat itu perlahan-lahan buyar seiring berjalannya upacara dan seiring mendekati pembacaan doa.

Hingga akhirnya tibalah pembacaan doa, baju ane udah basah oleh keringat yang terus mengucur dari pundak dan leher. Saat ane mendengar "pembacaan doa", otak ane langsung ngeblank dan bener-bener gugup. Yang ane ingat bahwa ane harus maju satu langkah ke depan dengan kaki kiri dan membacakan doa yang ada di dalam map. 

Dan ketika microfon diarahkan ke mulut ane, jantung menjadi berdebar lebih cepat. Kata-kata yang keluar dari mulut ane menjadi sangat terbata-bata. Bahkan membaca doa dengan khitmat berubah menjadi mebaca doa dengan cepat. Pikiran ane benar-benar blank pada saat itu. Dan itu adalah momen pertama kali ane merasakan demam panggung.

Ketika pembacaan doa selesai, ane lihat seluruh peserta upacara dari kalangan siswa melihat ke arah ane. Mungkin mereka penasaran siapa yang membaca doa seperti orang kumur-kumur itu.

Cobaan itu tidak berhenti sampai disitu, setelah upacara selesai, wali kelas ane menghampiri ane. Dengan muka kecewa dia berbicara "kamu kenapa? Tadi dikira kepala sekolah kamu lagi nangis loh". Mendengar komentar wali kelas ane, perasaan ane menjadi kembali tak karuan. "ibu kira kamu udah bisa makanya kemaren cuma latihan baris-berbarisnya aja". 

Memang beberapa hari sebelumnya kita udah latihan upacara. Cuman lebih berfokus pada pemimpin upacara, pemimpin pleton dan pengibar bendera. Sedangkan pembaca doa seperti ane hanya kebagian "prememory", jadi ya begitulah. 

Nah momen pembacaan doa ini menjadi sangat berkesan buat ane dan terus ane ingat sampe sekarang. Bahkan ini menjadi cambukkan buat ane untuk bisa menjadi petugas upacara yang lebih baik. Tapi kalo diingat-ingat, pingin ketawa rasanya. Tapi setidaknya ane bangga, karena di usia sekecil itu sudah dipercaya sebagai petugas upacara 17an diantara teman-teman ane lainnya. Ya walaupun mengecewakan.