- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pandangan Pihak Paseban Bertentangan Dengan Pancasila


TS
dewaagni
Pandangan Pihak Paseban Bertentangan Dengan Pancasila
Pandangan Pihak Paseban Bertentangan Dengan Pancasila

Bingkaiwarta, KUNINGAN - Agama adalah bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan. Dalam konteks sejarah berdirinya Indonesia, agama menjadi inspirator utama lahirnya Pancasila. Lima sila, terutama sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai intisari Pancasila diinspirasi oleh prinsip-prinsip dasar agama, khususnya Islam.
Demikian ditegaskan Pengajar Filsafat Ilmu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan, Fahrus Zaman Fadhly menanggapi pernyataan Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan dalam wawancaranya dengan Koran Tempo (8/8/2020) lalu.
Fahrus menegaskan, pernyataan Dewi Kunti itu jelas menyesatkan dan ahistoris tidak saja dari perspektif sejarah lahirnya Pancasila sebagai filosofi, common platform dan konsensus nasional yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang berketuhanan, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai agama, terutama agama-agama abrahamik (wahyu) baik Islam, Kristen maupun Yahudi.
"Bagaimana bisa kemanusiaan yang fondasi utamanya moralitas bisa dibangun dengan menanggalkan agama yang secara historis telah menjadi sumber paling utama dari nilai-nilai moral dan etika Pancasila? Mengapa dia dengan mudah melecehkan sila pertama Pancasila dengan mengajak orang menanggalkan agama untuk kemanusiaan?" Ungkap Fahrus kepada bingkaiwarta.com, Selasa (11/8/2020).
Ia menjelaskan, dengan menanggalkan agama, kemanusiaan akan niscaya menjadi banal, dan anarkis secara moral. Pandangan Dewi Kanti dinilai berbahaya dan bertentangan dengan Pancasila, agama dan demokrasi. Pemaksaan kehendak yang dilakukan pihak Paseban menunjukkan sikap budaya yang melanggar nilai-nilai kesundaan yang senantiasa menjaga harmoni sosial dan menghormati proses penegakan hukum.
"Ucapan bahwa Akur selama ini menggunakan pendekatan budaya dalam melaksanakan karsanya, kontradiktif dengan fakta di lapangan. Khususnya dengan perkembangan terakhir Batu Satangtung. Kenyataannya mereka justru menggunakan pendekatan politik kekuasaan yang tidak simpatik dengan menarik institusi-institusi politik praktis untuk turut memihak dan memaksakan kehendak mereka, bukannya menggunakan pendekatan hukum dan sosiologis yang menunjukan ciri utama keberbudayaan dan keberadaban yang benar," tuturnya.
Fahrus mengungkapkan, orang ini (Dewi Kanti) memperlihatkan karakter hipokrit, karena apa yang diucapkan tidak selaras dengan apa yang dilakukan. Ciri utama manusia yang berbudaya dan berperadaban ketika berhadapan dengan masalah hukum maka senantiasa menggunakan pendekatan hukum dan sosio-budaya, bukan pendekatan politik dan kekuasaan.
"Demokrasi dan kemanusiaan yang berbudaya itu yang selaras dengan norma-norma hukum. Yang menghormati proses penegakan hukum. Bila mereka menarik-narik institusi politik untuk melakukan intervensi pada proses penegakan hukum, mereka berarti tidak berbudaya dan berperadaban. Mereka tidak taat pada proses hukum yang telah berjalan dimana pendirian Batu Satangtung ditetapkan telah melanggar hukum, khususnya Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan tentang Izin Pendirian Pembangunan," terang mantan aktifis mahasiswa 98 ini.
Fahrus mengingatkan semua pihak agar menjaga dan memelihara harmoni sosial dan menghormati keputusan hukum sebagai ciri utama kemanusiaan yang berbudaya dan berkeadaban. Harmoni sosial akan tercipta jika saling menghargai dan tidak memaksakan kehendak.
"Pihak Paseban jangan angkuh. Stabilitas nasional itu kerapkali terganggu dan terguncang karena minoritas yang tidak tahu diri, dan tidak mampu menempatkan dirinya dengan benar. Selalu ingin memaksakan kehendak kendati bertentangan dan mengganggu ketenteraman masyarakat," pungkasnya. (Abel Kiranti)
https://www.bingkaiwarta.com/amp/pan...mpression=true
Masa sih , bukankah paseban mempertahankan budaya leluhur

Bingkaiwarta, KUNINGAN - Agama adalah bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan. Dalam konteks sejarah berdirinya Indonesia, agama menjadi inspirator utama lahirnya Pancasila. Lima sila, terutama sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai intisari Pancasila diinspirasi oleh prinsip-prinsip dasar agama, khususnya Islam.
Demikian ditegaskan Pengajar Filsafat Ilmu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan, Fahrus Zaman Fadhly menanggapi pernyataan Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan dalam wawancaranya dengan Koran Tempo (8/8/2020) lalu.
Fahrus menegaskan, pernyataan Dewi Kunti itu jelas menyesatkan dan ahistoris tidak saja dari perspektif sejarah lahirnya Pancasila sebagai filosofi, common platform dan konsensus nasional yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang berketuhanan, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai agama, terutama agama-agama abrahamik (wahyu) baik Islam, Kristen maupun Yahudi.
"Bagaimana bisa kemanusiaan yang fondasi utamanya moralitas bisa dibangun dengan menanggalkan agama yang secara historis telah menjadi sumber paling utama dari nilai-nilai moral dan etika Pancasila? Mengapa dia dengan mudah melecehkan sila pertama Pancasila dengan mengajak orang menanggalkan agama untuk kemanusiaan?" Ungkap Fahrus kepada bingkaiwarta.com, Selasa (11/8/2020).
Ia menjelaskan, dengan menanggalkan agama, kemanusiaan akan niscaya menjadi banal, dan anarkis secara moral. Pandangan Dewi Kanti dinilai berbahaya dan bertentangan dengan Pancasila, agama dan demokrasi. Pemaksaan kehendak yang dilakukan pihak Paseban menunjukkan sikap budaya yang melanggar nilai-nilai kesundaan yang senantiasa menjaga harmoni sosial dan menghormati proses penegakan hukum.
"Ucapan bahwa Akur selama ini menggunakan pendekatan budaya dalam melaksanakan karsanya, kontradiktif dengan fakta di lapangan. Khususnya dengan perkembangan terakhir Batu Satangtung. Kenyataannya mereka justru menggunakan pendekatan politik kekuasaan yang tidak simpatik dengan menarik institusi-institusi politik praktis untuk turut memihak dan memaksakan kehendak mereka, bukannya menggunakan pendekatan hukum dan sosiologis yang menunjukan ciri utama keberbudayaan dan keberadaban yang benar," tuturnya.
Fahrus mengungkapkan, orang ini (Dewi Kanti) memperlihatkan karakter hipokrit, karena apa yang diucapkan tidak selaras dengan apa yang dilakukan. Ciri utama manusia yang berbudaya dan berperadaban ketika berhadapan dengan masalah hukum maka senantiasa menggunakan pendekatan hukum dan sosio-budaya, bukan pendekatan politik dan kekuasaan.
"Demokrasi dan kemanusiaan yang berbudaya itu yang selaras dengan norma-norma hukum. Yang menghormati proses penegakan hukum. Bila mereka menarik-narik institusi politik untuk melakukan intervensi pada proses penegakan hukum, mereka berarti tidak berbudaya dan berperadaban. Mereka tidak taat pada proses hukum yang telah berjalan dimana pendirian Batu Satangtung ditetapkan telah melanggar hukum, khususnya Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan tentang Izin Pendirian Pembangunan," terang mantan aktifis mahasiswa 98 ini.
Fahrus mengingatkan semua pihak agar menjaga dan memelihara harmoni sosial dan menghormati keputusan hukum sebagai ciri utama kemanusiaan yang berbudaya dan berkeadaban. Harmoni sosial akan tercipta jika saling menghargai dan tidak memaksakan kehendak.
"Pihak Paseban jangan angkuh. Stabilitas nasional itu kerapkali terganggu dan terguncang karena minoritas yang tidak tahu diri, dan tidak mampu menempatkan dirinya dengan benar. Selalu ingin memaksakan kehendak kendati bertentangan dan mengganggu ketenteraman masyarakat," pungkasnya. (Abel Kiranti)
https://www.bingkaiwarta.com/amp/pan...mpression=true
Masa sih , bukankah paseban mempertahankan budaya leluhur






nomorelies dan 3 lainnya memberi reputasi
4
726
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan