- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kami Akhirnya Diakui Negara…


TS
dewaagni
Kami Akhirnya Diakui Negara…
Kami Akhirnya Diakui Negara…
Oleh Rini Kustiasih
Rosa Mulya Aji (44), penganut Kejawen Maneges, asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, semringah menyambut rekannya, Dewi Kanti (42), penganut Sunda Wiwitan, asal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, di sebuah kedai makan di sekitaran Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11) siang.
Kedua penghayat kepercayaan itu lega setelah beberapa jam sebelumnya mendengarkan putusan MK yang mengabulkan uji materi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
”Kami akhirnya diakui oleh negara. Sekarang saya punya alasan kuat untuk berhadapan dengan sekolah anak saya yang selama ini mewajibkan salah satu agama agar dianut oleh anak saya,” kata Rosa Mulya Aji gembira.
Bapak tiga anak itu punya pengalaman pahit harus berhadapan dengan negara melalui aturan sekolah di wilayahnya yang mengharuskan setiap siswa menganut satu dari enam agama yang diakui di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu). Sebagai penghayat kepercayaan Kejawen Maneges, Rosa harus rela anak-anaknya mengikuti mata pelajaran agama yang sesuai dengan enam agama yang diakui oleh negara.
Bukan hanya itu, kolom agama anaknya juga harus diisi dengan salah satu agama. Tak terkecuali milik Rosa Mulya Aji yang harus dikosongkan karena dirinya menolak untuk mengisi kolom agamanya dengan agama tertentu.
”Anak saya yang terkecil sekarang sudah kelas I SD. Sejak keluar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27/2016 tentang Pelayanan Pendidikan Penghayat Kepercayaan, anak saya tidak harus menganut satu agama tertentu. Itu menguntungkan bagi kami karena anak saya tidak harus menganut agama tertentu yang bertentangan dengan kepercayaan keluarga kami,” ujar bapak tiga anak itu terkekeh.
”Sayangnya, karena tidak ada guru agama Kejawen, saya sendiri yang harus jadi guru agama bagi anak saya. Saat UTS, saya juga yang membuat soalnya, lalu jawaban saya berikan ke gurunya supaya bisa dinilai,” lanjutnya.
Putusan MK pada Selasa pagi menorehkan sejarah dan membuat gembira warga bangsa yang selama ini merasa tersingkirkan dan terdiskriminasi oleh negara. Dalam putusan uji materi atas UU Administrasi Kependudukan, MK menyatakan Pasal 61 Ayat (1), Pasal 61 Ayat (2), Pasal 64 Ayat (1), dan Pasal 64 Ayat (5) bertentangan dengan konstitusi. Pasal-pasal itu mengharuskan agar kolom agama bagi penganut kepercayaan dikosongkan karena mereka tidak termasuk dalam enam agama yang diakui negara. Selain itu, ada kewajiban untuk setiap kartu keluarga (KK) agar mencantumkan agama tertentu.
Bertentangan dengan konstitusi
Dengan keluarnya putusan MK itu, praktis pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan bertentangan dengan konstitusi. Di sisi lain, frasa ”agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai agama termasuk juga ”kepercayaan”. Dengan demikian, penghayat kepercayaan diakui di dalam pencantuman KK dan KTP karena kolom agama haruslah juga dimaknai sebagai kolom yang mencantumkan kepercayaan.
MK dalam putusannya menegaskan kembali pentingnya pelayanan publik bagi setiap warga negara. Setiap warga negara, apa pun agama dan kepercayaannya, wajib memperoleh pelayanan publik dan dijauhkan dari perlakuan diskriminatif oleh negara.
”Pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakuan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif. Oleh karena itu, dalil para pemohon bahwa ketentuan Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 sepanjang kata ’agama’ dalam pasal a quo tidak dimaknai termasuk kepercayaan adalah beralasan menurut hukum,” tutur MK dalam pertimbangan hukumnya. Sidang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
MK juga menegaskan kembali bahwa agama dan kepercayaan adalah hak melekat yang tidak dapat dikurangi sedikit pun. Hak itu diakui secara universal sebagai bagian dari hak asasi manusia. Perbedaan keyakinan dan kepercayaan tidak seharusnya mengurangi hak-hak dan pelayanan dasar yang mestinya diperoleh oleh warga negara.
Negara melalui konstitusi mengakomodasi hak dasar warga untuk beragama dan beribadah menurut kepercayaan dan keyakinan masing-masing, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945. Setiap upaya membedakan perlakuan terhadap warga negara berdasarkan perbedaan agama dan kepercayaan merupakan sikap diskriminatif yang secara langsung bertentangan dengan semangat konstitusi.
Perempuan korban
Putusan itu pun secara langsung seolah mengembalikan hak-hak dasar warga negara penghayat kepercayaan yang sebelumnya tidak diakui oleh negara. ”Dulu, penghayat kepercayaan harus mengikuti salah satu agama untuk bisa menikah dan memiliki anak. Hak-hak anak menerima warisan dan pendidikan pun sangat bergantung pada agama yang dianut orangtuanya. Kini, dengan adanya putusan MK itu, kami berharap hak-hak dasar warga penghayat bisa dikembalikan,” kata Dewi Kanti.
Dewi yang merupakan pegiat dari kelompok penghayat Sunda Wiwitan mencatat tingginya diskriminasi yang harus dialami kelompok perempuan. Selain kehilangan hak-hak dasar, mereka juga harus menerima cap buruk dari masyarakat, terutama dengan adanya tudingan kimpoi liar lantaran mereka tidak menikah di KUA ataupun catatan sipil, tetapi mengikuti tata cara kepercayaan Sunda Wiwitan.
Data tentang diskriminasi kepada perempuan penghayat itu pun dirilis oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam penelitiannya tahun 2016.
Komnas Perempuan mengadakan penelitian terhadap 57 perempuan penghayat di 9 provinsi. Dari penelitian itu, terungkap adanya 115 kasus diskriminasi terhadap perempuan dari 87 peristiwa yang terekam. Pelaku diskriminasi meliputi pejabat desa, pejabat kecamatan, guru, warga desa, hingga penegak hukum dan pemuka agama. Dari 87 peristiwa yang terekam, 28 peristiwa disertai dengan kekerasan.
”Kami berharap, putusan MK itu diikuti dengan penerapan di lapangan. Misalnya, dengan langsung mengakomodasi kolom agama atau kepercayaan untuk para penghayat. Dengan demikian, putusan MK ini tidak hanya putusan di atas kertas, tetapi betul-betul ditaati dan diaplikasikan di lapangan,” ujar Dewi.
Nur Azhar, kuasa hukum pemohon, mengapresiasi putusan MK No 97/PUU-XIV/2016 tersebut. MK telah mengembalikan semangat konstitusi yang memberikan perlindungan tanpa tebang pilih kepada setiap warga negara.
”Sekarang, kami menanti sikap pemerintah atas keluarnya putusan MK ini. MK menyatakan, negara telah abai pada hak-hak warga negaranya dengan tidak mencantumkan kolom agama bagi penghayat kepercayaan, sebab itu menjadi basis bagi tindakan diskriminasi dalam pelayanan publik. Secara fisik, hal itu ditunjukkan dengan pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan,” tutur Nur.
”Keluarnya putusan MK ini seharusnya menjadi jalan masuk bagi pemerintah untuk mengakui hak dasar kependudukan warga penghayat kepercayaan,” lanjut Nur.
Pemohon uji materi pun akan terus mengawal putusan MK itu agar benar-benar bisa diterapkan di lapangan.
Patuhi MK
Menanggapi putusan MK tersebut, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pihaknya akan mengikuti putusan tersebut. ”Hal ini berimplikasi bagi warga negara yang menganut aliran kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom agama di KTP elektronik,” ucap Tjahjo melalui sikap resmi yang disampaikan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Arief M Adhie, Selasa, di Jakarta.
Tjahjo mengatakan, Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendapatkan data tentang jenis-jenis kepercayaan yang ada di Indonesia. Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) akan memasukkan kepercayaan tersebut ke dalam Sistem Administasi Kependudukan (SIAK).
”Setelah data kepercayaan kami peroleh, Kemendagri akan memperbaiki aplikasi SIAK dan aplikasi database serta melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Selain itu, Kemendagri juga akan mengajukan usulan perubahan kedua UU Adminduk untuk mengakomodasi putusan MK,” ujar Tjahjo.
Arief menambahkan, mengenai KTP yang telanjur saat ini, pemerintah belum akan menariknya dari warga. Sebab, perbaikan dan perubahan data kependudukan mengikuti putusan MK itu masih dalam proses.
”Putusan MK itu tentu akan membawa dampak bagi perubahan data kependudukan secara nasional dan akan membawa dampak ikutan berupa penambahan blangko dan kepingan KTP-el karena akan banyak perubahan data penduduk mengikuti putusan MK. Namun, itu adalah tanggung jawab negara. Demi pelayanan publik, hal itu harus kami lakukan. Putusan MK ini final dan mengikat sehingga harus dipatuhi,” tuturnya.
Apresiasi juga disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi terhadap putusan MK. ”Kendati amar putusan MK belum menyentuh persoalan esensial terkait klausula agama yang bermasalah atau belum diakui, namun pengabulan permohonan secara keseluruhan para pemohon itu patut diapresiasi, dan semestinya negara tidak lagi mendiskriminasi warga negara,” ujarnya.
Oleh Rini Kustiasih
Rosa Mulya Aji (44), penganut Kejawen Maneges, asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, semringah menyambut rekannya, Dewi Kanti (42), penganut Sunda Wiwitan, asal Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, di sebuah kedai makan di sekitaran Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11) siang.
Kedua penghayat kepercayaan itu lega setelah beberapa jam sebelumnya mendengarkan putusan MK yang mengabulkan uji materi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
”Kami akhirnya diakui oleh negara. Sekarang saya punya alasan kuat untuk berhadapan dengan sekolah anak saya yang selama ini mewajibkan salah satu agama agar dianut oleh anak saya,” kata Rosa Mulya Aji gembira.
Bapak tiga anak itu punya pengalaman pahit harus berhadapan dengan negara melalui aturan sekolah di wilayahnya yang mengharuskan setiap siswa menganut satu dari enam agama yang diakui di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu). Sebagai penghayat kepercayaan Kejawen Maneges, Rosa harus rela anak-anaknya mengikuti mata pelajaran agama yang sesuai dengan enam agama yang diakui oleh negara.
Bukan hanya itu, kolom agama anaknya juga harus diisi dengan salah satu agama. Tak terkecuali milik Rosa Mulya Aji yang harus dikosongkan karena dirinya menolak untuk mengisi kolom agamanya dengan agama tertentu.
”Anak saya yang terkecil sekarang sudah kelas I SD. Sejak keluar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27/2016 tentang Pelayanan Pendidikan Penghayat Kepercayaan, anak saya tidak harus menganut satu agama tertentu. Itu menguntungkan bagi kami karena anak saya tidak harus menganut agama tertentu yang bertentangan dengan kepercayaan keluarga kami,” ujar bapak tiga anak itu terkekeh.
”Sayangnya, karena tidak ada guru agama Kejawen, saya sendiri yang harus jadi guru agama bagi anak saya. Saat UTS, saya juga yang membuat soalnya, lalu jawaban saya berikan ke gurunya supaya bisa dinilai,” lanjutnya.
Putusan MK pada Selasa pagi menorehkan sejarah dan membuat gembira warga bangsa yang selama ini merasa tersingkirkan dan terdiskriminasi oleh negara. Dalam putusan uji materi atas UU Administrasi Kependudukan, MK menyatakan Pasal 61 Ayat (1), Pasal 61 Ayat (2), Pasal 64 Ayat (1), dan Pasal 64 Ayat (5) bertentangan dengan konstitusi. Pasal-pasal itu mengharuskan agar kolom agama bagi penganut kepercayaan dikosongkan karena mereka tidak termasuk dalam enam agama yang diakui negara. Selain itu, ada kewajiban untuk setiap kartu keluarga (KK) agar mencantumkan agama tertentu.
Bertentangan dengan konstitusi
Dengan keluarnya putusan MK itu, praktis pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan bertentangan dengan konstitusi. Di sisi lain, frasa ”agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai agama termasuk juga ”kepercayaan”. Dengan demikian, penghayat kepercayaan diakui di dalam pencantuman KK dan KTP karena kolom agama haruslah juga dimaknai sebagai kolom yang mencantumkan kepercayaan.
MK dalam putusannya menegaskan kembali pentingnya pelayanan publik bagi setiap warga negara. Setiap warga negara, apa pun agama dan kepercayaannya, wajib memperoleh pelayanan publik dan dijauhkan dari perlakuan diskriminatif oleh negara.
”Pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakuan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif. Oleh karena itu, dalil para pemohon bahwa ketentuan Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 sepanjang kata ’agama’ dalam pasal a quo tidak dimaknai termasuk kepercayaan adalah beralasan menurut hukum,” tutur MK dalam pertimbangan hukumnya. Sidang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
MK juga menegaskan kembali bahwa agama dan kepercayaan adalah hak melekat yang tidak dapat dikurangi sedikit pun. Hak itu diakui secara universal sebagai bagian dari hak asasi manusia. Perbedaan keyakinan dan kepercayaan tidak seharusnya mengurangi hak-hak dan pelayanan dasar yang mestinya diperoleh oleh warga negara.
Negara melalui konstitusi mengakomodasi hak dasar warga untuk beragama dan beribadah menurut kepercayaan dan keyakinan masing-masing, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945. Setiap upaya membedakan perlakuan terhadap warga negara berdasarkan perbedaan agama dan kepercayaan merupakan sikap diskriminatif yang secara langsung bertentangan dengan semangat konstitusi.
Perempuan korban
Putusan itu pun secara langsung seolah mengembalikan hak-hak dasar warga negara penghayat kepercayaan yang sebelumnya tidak diakui oleh negara. ”Dulu, penghayat kepercayaan harus mengikuti salah satu agama untuk bisa menikah dan memiliki anak. Hak-hak anak menerima warisan dan pendidikan pun sangat bergantung pada agama yang dianut orangtuanya. Kini, dengan adanya putusan MK itu, kami berharap hak-hak dasar warga penghayat bisa dikembalikan,” kata Dewi Kanti.
Dewi yang merupakan pegiat dari kelompok penghayat Sunda Wiwitan mencatat tingginya diskriminasi yang harus dialami kelompok perempuan. Selain kehilangan hak-hak dasar, mereka juga harus menerima cap buruk dari masyarakat, terutama dengan adanya tudingan kimpoi liar lantaran mereka tidak menikah di KUA ataupun catatan sipil, tetapi mengikuti tata cara kepercayaan Sunda Wiwitan.
Data tentang diskriminasi kepada perempuan penghayat itu pun dirilis oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam penelitiannya tahun 2016.
Komnas Perempuan mengadakan penelitian terhadap 57 perempuan penghayat di 9 provinsi. Dari penelitian itu, terungkap adanya 115 kasus diskriminasi terhadap perempuan dari 87 peristiwa yang terekam. Pelaku diskriminasi meliputi pejabat desa, pejabat kecamatan, guru, warga desa, hingga penegak hukum dan pemuka agama. Dari 87 peristiwa yang terekam, 28 peristiwa disertai dengan kekerasan.
”Kami berharap, putusan MK itu diikuti dengan penerapan di lapangan. Misalnya, dengan langsung mengakomodasi kolom agama atau kepercayaan untuk para penghayat. Dengan demikian, putusan MK ini tidak hanya putusan di atas kertas, tetapi betul-betul ditaati dan diaplikasikan di lapangan,” ujar Dewi.
Nur Azhar, kuasa hukum pemohon, mengapresiasi putusan MK No 97/PUU-XIV/2016 tersebut. MK telah mengembalikan semangat konstitusi yang memberikan perlindungan tanpa tebang pilih kepada setiap warga negara.
”Sekarang, kami menanti sikap pemerintah atas keluarnya putusan MK ini. MK menyatakan, negara telah abai pada hak-hak warga negaranya dengan tidak mencantumkan kolom agama bagi penghayat kepercayaan, sebab itu menjadi basis bagi tindakan diskriminasi dalam pelayanan publik. Secara fisik, hal itu ditunjukkan dengan pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan,” tutur Nur.
”Keluarnya putusan MK ini seharusnya menjadi jalan masuk bagi pemerintah untuk mengakui hak dasar kependudukan warga penghayat kepercayaan,” lanjut Nur.
Pemohon uji materi pun akan terus mengawal putusan MK itu agar benar-benar bisa diterapkan di lapangan.
Patuhi MK
Menanggapi putusan MK tersebut, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pihaknya akan mengikuti putusan tersebut. ”Hal ini berimplikasi bagi warga negara yang menganut aliran kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom agama di KTP elektronik,” ucap Tjahjo melalui sikap resmi yang disampaikan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Arief M Adhie, Selasa, di Jakarta.
Tjahjo mengatakan, Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendapatkan data tentang jenis-jenis kepercayaan yang ada di Indonesia. Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) akan memasukkan kepercayaan tersebut ke dalam Sistem Administasi Kependudukan (SIAK).
”Setelah data kepercayaan kami peroleh, Kemendagri akan memperbaiki aplikasi SIAK dan aplikasi database serta melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Selain itu, Kemendagri juga akan mengajukan usulan perubahan kedua UU Adminduk untuk mengakomodasi putusan MK,” ujar Tjahjo.
Arief menambahkan, mengenai KTP yang telanjur saat ini, pemerintah belum akan menariknya dari warga. Sebab, perbaikan dan perubahan data kependudukan mengikuti putusan MK itu masih dalam proses.
”Putusan MK itu tentu akan membawa dampak bagi perubahan data kependudukan secara nasional dan akan membawa dampak ikutan berupa penambahan blangko dan kepingan KTP-el karena akan banyak perubahan data penduduk mengikuti putusan MK. Namun, itu adalah tanggung jawab negara. Demi pelayanan publik, hal itu harus kami lakukan. Putusan MK ini final dan mengikat sehingga harus dipatuhi,” tuturnya.
Apresiasi juga disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi terhadap putusan MK. ”Kendati amar putusan MK belum menyentuh persoalan esensial terkait klausula agama yang bermasalah atau belum diakui, namun pengabulan permohonan secara keseluruhan para pemohon itu patut diapresiasi, dan semestinya negara tidak lagi mendiskriminasi warga negara,” ujarnya.
0
198
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan