Kaskus

News

ibradconAvatar border
TS
ibradcon
Mengapa Presiden Jokowi Tidak Berani Resafel Kabinet
Mengapa Presiden Jokowi Tidak Berani Resafel Kabinet

Sudah tiga kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan niatnya untuk mengganti para menteri Kabinet Indonesia Maju II namun hingga tulisan ini diturunkan, niat Jokowi itu masih sebatas rencana yang tak kunjung ditunaikan.
Jokowi mengumbar kekesalan atas kinerja para menteri KIM II di depan publik pada 28 Juni 2020. Kelambanan penyerapan anggaran penanggulangan Bencana Pandemi Covid-19 oleh kementerian dan lembaga pemerintah non departemen (LKND) menjadi pemicu kekesalan Jokowi. Para menteri terkait diancam akan segera diganti/diresafel.

Sebelumnya, persis tiga hari setelah dilantik sebagai presiden untuk kedua kali periode 2019-2024 Jokowi menyampaikan komitmen akan mengganti menteri yang tidak becus dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Niat Jokowi mengganti sejumlah menteri itu kembali dilontarkan ke publik pada tanggal 2 Juli 2020 lalu. Berbulan-bulan rakyat menanti resafel kabinet oleh Presiden Jokowi namun ancaman itu hanya kosong belaka. Mengapa?

Kabinet Jokowi Vs Kabinet Elit
Mayoritas pengamat dan analis politik menyimpulkan bahwa kabinet KIM II 2019-2020 sejatinya bukan kabinet Jokowi melainkan kabinet elit politik. Para menteri yang angkat bukan bukan sepenuhnya pilihan Presiden Jokowi tetapi kehendak para elit politik yang menjadi pengendali rezim Jokowi selama ini.
Presiden Jokowi bukan kader partai politik. Beliau bisa terpilih jadi presiden pada Pilpres 2014 dan 2019 karena dicalonkan dan didukung partai-partai dan elit politik tertentu.

Pada 2014 PDIP ‘terpaksa’ mengusung Jokowi sebagai capres dan melanggar kesepakatan Batutulis 2009 karena tekanan luar biasa dari pihak luar terutama KPK, Presiden SBY dan asing (China, Amerika Serikat dan sekutunya). Tekanan dan ancaman serupa terjadi menjelang pilpres 2019.

Sebut saja ancaman dari KPK yang kembali melambungkan kasus korupsi BLBI yang akan menyasar pada keterlibatan mantan Presiden Megawati yang juga Ketua Umum PDIP. PKB juga bernasib sama, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar keembali disandera KPK melalui kasus korupsi ‘Kardus Durian’. Bahkan Ketum Golkar Setya Novanto terpaksa harus merasakan dinginnya sel penjara untuk memberi pesan keras kepada elit Partai Golkar agar segera menyatakan dukungan kepada capres Jokowi.

PDIP memang tercatat sebagai partai pengusung utama capres Jokowi pada dua Pilpres 2014 dan 2019, namun fakta politik membuktikan bahwa kemenangan Jokowi pada kedua pilpres itu tidak mengantarkan PDIP menjadi partai penguasa. PDIP lebih merupakan partai oposisi ketimbang partai penguasa. Lalu, siapa penguasa sesungguhnya di balik rezim Jokowi?

Anatomi Kabinet Jokowi
Kabinet Jokowi 2014-2019 secara politis didominasi kader-kader mantan Presiden SBY. Sedikitnya 14 Kader SBY non kader Partai Demokrat menduduki jabatan menteri di KIM I. Dominasi SBY di KIM II lebih besar dengan menempatkan 12 kadernya sebagai menteri KIM II dan KH Maruf Amin sebagai wakil presiden 2019-2024. Dominasi SBY di rezim Jokowi Jilid II semakin kukuh dengan penempatan kader-kader SBY di pucuk pimpinan lembaga pemerintah dan lembaga negara.

Di Kabinet Jokowi Jilid II, SBY menempatkan Sri Mulyani (Menkeu), Bambang Brojonegoro (Menristek), Tito Karnavian (Mendagri), Sofyan Djalil (Menteri Agraria), Retno Marsudi (Menlu), Arifin Tasrif (Menteri ESDM), Terawan (Menkes) dan sejumlah menteri / wakil menteri lain di Kabinet KIM II.

Sudah jadi rahasia umum bahwa Ketua OJK dan Gubernur BI adalah kader SBY. Mereka berdua mantan pejabat BI pada era SBY dan di bawah Agus Martowardoyo mantan Menkeu dan Gubernur BI.

Hegemoni SBY di Kabinet Jokowi II disamarkan secara sangat baik sehingga tidak terlihat oleh publik. Presiden Jokowi tidak mungkin berani mengganti menteri kader SBY sebelum dapat memastikan bahwa ia mendapat dukungan mayoritas partai di DPR.

Sejak Jenderal Polisi Firli memimpin KPK, kendali SBY terhadap KPK melemah. Manuver KPK menangkap Komisioner KPU beberapa waktu lalu, menempatkan posisi PDIP berada di atas angin dan berhasil memaksa Jokowi untuk pindah haluan. Namun, pindah haluan Jokowi ini belum cukup untuk dapat mendorong terjadi resufel kabinet khususnya menggusur kader-kader SBY. Penyebabnya adalah Presiden Jokowi belum mendapat kepastian dukungan mayoritas di DPR yang masih dikuasai kubu SBY. Resufel kabinet oleh Jokowi yang tidak didukung mayoritas DPR akan berbalik menjadi bencana bagi Jokowi dalam bentuk pemakzulan dan sejenisnya.

Hingga hari ini koalisi PDIP-Gerindra-Golkar yang secara tersirat menjadi pendukung Jokowi memang mengantongi 291 kursi parlemen (DPR) atau sudah melebihi mayoritas 50% plus 1 (281). Namun, dilambungkankannya kasus Djoko Tjandra jelas menekan faksi Setya Novanto di Partai Golkar yang menyebabkan dukungan partai ini kepada Presiden Jokowi terpecah. Belum lagi terdapat banyak kader partai Gerindra di DPR yang sejatinya agen-agen penyusup. Mereka dengan mudah beralih dukungan jika voting sampai terjadi.

Hiruk pikuk pandemi covid, pembentukan opini oleh media secara intensif masif yang mengesankan covid benar sebagai pandemi (tanpa bukti), kegagalan Jokowi memastikan dukungan mayoritas di DPR dan seterusnya adalah jawaban mengapa Presiden Jokowi tidak berani melakukan resufel kabinet (baca: menggusur kader-kader SBY dari posisi menteri dan kepala badan).
0
335
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan