Kaskus

Story

MienHesselAvatar border
TS
MienHessel
Hitam Putih

Pusparani namanya, seorang gadis dengan rambut panjang berkilau. Ia telah lulus dua tahun lalu dari perguruan tinggi swasta yang tidak terlalu jauh dari desa. Sejak saat itu, Pusparani menjadi pengajar privat anak usia dini. Profesi yang sesuai dengan pembawaannya, halus dan keibuan.

Sore itu Pusparani berangkat mengajar menaiki sepeda warna putih dengan keranjang hitam. Bukan tanpa alasan, jalanan berbatu karena pembangunan yang belum merata membuatnya lebih nyaman bersepeda. Tujuannya sebuah rumah megah yang terletak di ujung jalan. Di belakang rumah tampak hamparan sawah sejauh mata memandang. Angin yang berembus kasar membuat padi-padi serentak doyong ke utara.

"Dimas ke rumah neneknya, Dik." Seorang pria bermata sipit menyambut begitu melihat Pusparani memarkir sepeda di halaman.

"Oh gitu, ya, Mas. Tumben tidak kirim pesan dulu atau mungkin saya tidak tahu, ya." Pusparani mengambil ponselnya di dalam tas. Menggeser layar beberapa kali.

"Tidak lama kok. Paling pulang sebentar lagi. Ditunggu di sini saja dulu, Dik."

Pusparani pun mengiyakan tawaran pemuda itu. Tidak mungkin ia kembali setelah menempuh perjalanan cukup jauh. Lagipula tidak ada kesepakatan antara dia dan ibunya Dimas--anak didiknya--bahwa hari itu libur. Pusparani duduk di kursi rotan sebelah selatan, sedang si Pemuda di sebelah utara. Kursi mereka dipisahkan oleh meja yang juga terbuat dari rotan.

"Aku omnya Dimas. Aku sering melihatmu ke sini, cuma baru sekarang sempat menemani ngobrol. Oh ya, namaku Faiz." Pemuda itu mengulurkan tangan. Pusparani menjabatnya dengan canggung. Mereka lalu berbincang. Menceritakan kegiatan masing-masing.

Tetiba Faiz melontarkan pertanyaan yang tidak biasa, "Dik Puspa, jika ada seseorang yang mengaku bahwa selama ini diam-diam memperhatikanmu, apa kau akan menghindar dan membencinya?"

Wajah gadis itu merona. Ia tersenyum malu-malu.

"Ah, saya tidak tahu. Belum memikirkan sejauh itu."

"Kau harus lekas memikirkannya, Dik. Barangkali seseorang itu saat ini ada di dekatmu."

Pusparani tercengang. Lalu menunduk. Mata bulatnya bergerak-gerak.

"Kalau ada yang suka ya bersyukur, Mas. Daripada dibenci."

"Jadi saya diterima ini?"

Puspa mengangguk pelan. Sesekali mencuri pandang pada pria itu. Tipe yang membuat imajinasi wanita terbang setiap kali melihatnya. Itu memang pertama kali seorang pria mengungkap perasaan padanya karena Pusparani gadis yang tertutup.

Begitu Dimas pulang, gadis itu segera menjalankan rutinitasnya, mengajari membaca dan menulis. Faiz yang duduk di beranda sesekali melongok ke dalam rumah demi memandang gadis itu. Keduanya berserobok pandang. Pusparani semakin salah tingkah.

***

Satu purnama telah berlalu. Pusparani menunggu Faiz di ruang tamu. Beberapa hari lalu Faiz bilang akan berkunjung bersama keluarga untuk membicarakan kelanjutan hubungan mereka.

Bakwan, kue bolu, wajik, buah jeruk, dan lainnya yang telah ditata di meja mulai dihinggapi lalat. Rambut Pusparani mulai kusut. Riasan wajahnya berantakan oleh keringat. Sang ibu terus bertanya mengapa calon suami Pusparani belum tiba juga.

Pukul sepuluh malam ponsel Puspa bergetar. Wajah gadis itu cerah ketika tahu Faiz berkirim pesan. Seseorang yang dinanti-nanti dan telah membuat jantungnya berdetak tak beraturan sejak tadi.

[Dik Puspa, kita tetap menjalin silaturahmi seperti biasa. Hanya sebatas itu. Ibu tidak mengizinkanku menikah selain dengan gadis pilihannya. Kamu tahu ibu sakit jantung. Aku tidak mau sesuatu terjadi padanya jika aku tetap ngeyel.]

Membaca pesan itu, Pusparani mematung. Ia tersenyum dan memeluk ibunya. Dia berusaha tidak menyalahkan Faiz. Pilihan pria itu benar. Ibunya harus diutamakan. Puspa sadar ia belum memilki hak apapun atas Faiz.

***

Setelah peristiwa malam itu, Pusparani tidak lagi mengajar privat. Seorang kawan mengajaknya menjadi guru TK. Sekolah tempatnya bekerja berhadapan dengan gedung SMP. Setiap hari, seorang pemuda bermata sendu menunggu Pusparani di gerbang SMP itu. Tidak jarang jika Pusparani kesulitan mengambil motornya di parkiran, si Pemuda dengan cekatan membantunya.

"Namaku Hadi. Jika lain kali butuh bantuan, Mbak bisa menghubungi di nomor ini," katanya suatu siang setelah kesekian kali membantu Pusparani mengeluarkan kendaraannya.

Hadi menyodorkan sobekan kertas berisi nomor ponselnya. Pusparani pun menerima. Sekedar supaya Hadi tidak kecewa. Dimasukkannya kertas itu ke dalam tas. Tidak dilihat sampai seminggu kemudian. Sepertinya ia masih takut untuk menjalin hubungan lagi dengan seorang pria.

Namun, ketika Hadi mengambilkan buku di rak paling atas yang tidak bisa ia jangkau, Pusparani mulai luluh. Itu terjadi ketika keduanya sama-sama berada di perpustakaan, di samping SMP. Pulangnya ia menerima tawaran Hadi untuk makan siang di warung lesehan dekat jembatan.

"Mbak, kamu kok muanis dan cantik."

Pusparani seketika tersedak.

"Panggil Puspa saja, Mas. Saya kan lebih muda."

"Aduh, kayak kesetrum aku dipanggil 'Mas'." Hadi tertawa. Pusparani hanya tersenyum.

Ternyata Hadi seorang pria yang menyenangkan. Ia senang melucu, membuat Pusparani terpingkal beberapa kali. Namun, gadis itu masih sangat menjaga jarak terbukti ia menolak saat Hadi hendak mengantarnya pulang sebab ban motor Puspa bocor. Gadis itu berencana menunggu ojek online saja.

"Puspa, kamu emang nggak tahu kalau di jembatan depan itu suka ada pria berlumuran darah membawa kepalanya? Kalau nggak gitu nenek-nenek yang rambutnya terurai suka manggil-manggil orang lewat. Kemarin temenku ketemu si Nenek. Begitu didekati, wus ... ilang."

Tengkuk gadis itu meruap, ia pun akhirnya menerima tawaran Hadi karena matahari tenggelam sebentar lagi.

Tiba di rumah Pusparani, Hadi tidak langsung pulang. Ia berbincang dengan ayah Puspa sampai bedug Maghrib bertalu-talu. Setelah hari itu hampir setiap hari Hadi menyambangi rumah Puspa. Tidak jarang mengajak gadis itu jalan-jalan.

Dua bulan berikutnya, orang tua Hadi datang untuk melamar. Puspa menerima karena kedatangan mereka telah membuktikan kesungguhan Hadi. Puspa yakin kali ini pernikahannya akan benar-benar terjadi.

Pesta pertunangan dua sejoli itu diadakan cukup meriah. Semua sanak yang hadir mengatakan keduanya pasangan serasi, seperti ditakdirkan untuk berjodoh. Pusparani pun semakin berbunga-bunga.

***

Kira-kira sepuluh hari setelah pertunangan berlangsung, sikap Hadi berubah. Pemuda itu lebih sering murung. Bahkan hanya sekali berkunjung ke rumah Puspa. Merasa ada yang aneh, Puspa mendatangi rumah Hadi.

"Apa sebaiknya rencana pernikahan kita tidak dilanjutkan, ya? Aku khawatir tidak mampu memberimu kehidupan yang layak, Puspa. Upahku sebagai tenaga honorer hanya cukup untuk beli bensin. Biarpun sisa, ya, dikit. Dikit sekali. Ah, kamu pasti sudah tahu." Hadi menjelaskan setelah Puspa bertanya dengan sabar akan perubahan sikapnya.

"Mengapa kamu berpikir begitu, Mas? Saya kan juga kerja. Asal sama-sama mau hidup sederhana ya pasti cukuplah, Mas. Kalau memang tidak cukup, saya mau kok ngajar privat lagi untuk menambah pemasukan."

"Itu masalahnya. Mencukupi kebutuhanmu sepenuhnya tanggung jawabku." Hadi menghela napas. Ia berkata lagi, "Tidakkah kau sadar, solusimu itu merendahkan harga diriku."

Puspa terdiam. Seolah ia melihat kematiannya sendiri. Tak lama kemudian, Pusparani meninggalkan rumah itu.

Malam harinya, orang tua Hadi mengunjungi rumah Puspa dan mengatakan Hadi tidak sanggup melanjutkan rencana pernikahan itu. Mereka sudah membujuk tapi pemuda itu bersikeras. Jika Puspa mau menunggu lima tahun lagi, Hadi akan memikirkannya.

Orang tua Puspa murka. Lima tahun lagi Puspa sudah mendekati kepala tiga. Para tetangga akan menyebutnya perawan tua, julukan yang memalukan.

"Lebih baik diakhiri saja," ujar Pusparani di tengah ketegangan yang terjadi.

Mendengarnya, raut wajah orang tua Hadi seperti penjahat digiring ke tiang gantungan. Mereka meminta maaf pada gadis tegar itu. Pusparani hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang lebih mirip seringai.

***

Untuk melupakan dua kali pernikahannya yang gagal, Puspa mencari-cari kesibukan. Ia berencana membuka toko mainan, mengisi waktu sepulang mengajar. Seorang teman memberi tahu di mana membeli dagangan dengan harga miring. Lalu, Pusparani mencarinya di internet sampai akhirnya berkenalan dengan sang pemilik. Mereka pun membuat janji untuk membahas kerja sama di sebuah kafe.

Setelah Puspa menunggu sampai habis satu gelas jus, seorang pria kira-kira berada di awal kepala tiga berdiri di pintu masuk. Pria itu mengitarkan pandangan, berusaha mengenali wajah Puspa. Selama ini mereka berkomunikasi melalui email dan ia baru sekali melihat foto gadis itu. Namanya Tio, pemilik toko mainan di beberapa kota besar.

Pusparani melambaikan tangan kepada pria itu. Ia langsung mengenali dari jambang tipis yang dipelihara. Tio melangkah mendekat dengan ekspresi datar, tidak seperti orang pada umumnya yang beramah tamah saat bertemu orang asing. Melihat itu Puspa jadi agak canggung.

Tidak ada basa-basi, Tio menggunakan waktu sebaik mungkin untuk menjelaskan harga, besar keuntungan yang Puspa dapat, give away, dan lain-lain. Gadis itu mencuri pandang beberapa kali. Ia terheran-heran ada pria yang tidak tertarik menggoda. Bagaimanapun Puspa sadar dirinya seorang perempuan menawan.

Keesokan hari Pusparani sengaja bolos kerja untuk mengambil dagangan di toko Tio. Toko itu buka sampai malam, seharusnya Puspa tidak perlu meninggalkan anak didiknya. Namun, rasa penasarannya pada Tio membuatnya mulai berpikir tidak wajar.

Seperti candu, Pusparani terus mendatangi toko itu, padahal dagangannya di rumah masih banyak. Keinginannya hanya satu, melihat Tio sekilas saja. Jika Puspa belum melihat Tio, dia membuat bermacam alasan agar bisa berlama-lama tanpa membuat para pegawai curiga. Puspa tidak tahu kalau Tio pun diam-diam memperhatikannya melalui cctv yang dipasang di tiap sudut toko.

Tak dinyana, suatu sore yang cerah Tio mendatangi rumah Puspa, mencari ayah gadis itu untuk menyampaikan pinangannya. Puspa terperanjat, seolah tornado menyapu kesadarannya. Gadis itu bergeming, lama. Tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan Tio dan ayahnya di ruang tamu.

Berhari-hari Puspa tercenung. Jiwanya melanglang buana. Orang tuanya tidak berani mengusik. Mereka cukup memahami betapa sulit memulai hubungan baru setelah kegagalan demi kegagalan dialami gadis itu.

Air mata Puspa sering mengalir. Ketakutan, harapan, dan rindu berpendar di matanya. Gadis itu mulai menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Tio. Hanya saja masa lalu membuatnya ragu. Setelah pergulatan yang melelahkan dan tidak sanggup jika tidak melihat Tio lebih lama lagi, Puspa memutuskan menerima Tio. Ia meminta pernikahan dilaksanakan secepatnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Tio menyetujui. Tanpa pertunangan, sebulan setelah Puspa menyatakan setuju, pesta pernikahan digelar. Dekorasi mewah dari luar kota mereka datangkan. Para tetangga berbahagia sebab akan menyaksikan pernikahan yang sangat meriah, begitu pula orang tua Puspa. Kemalangan berulang kali yang menimpa putrinya berubah menjadi berkah tak terkira ketika telah tiba waktunya.

Namun, malam sebelum akad nikah dilangsungkan, Pusparani tidak memejamkan mata barang sejenak. Sesekali air matanya menganak sungai. Ia mondar-mandir di dalam kamar. Beberapa kali mengetik pesan lalu dihapus. Mengetik lagi, dihapus lagi. Gadis itu gelisah seperti ayam mau bertelur. Ketika kidung subuh terdengar, Pusparani tambah tak karuan.

***

"Puspa, Puspa ... kau di mana, Nak?" Ibu Puspa panik ketika putrinya tidak ada di peraduan padahal pengantin pria sudah tiba dan penghulu akan datang sebentar lagi.

Tio yang terkejut mengetahui itu langsung menuju ke kamar Puspa, mencari tahu barangkali ada petunjuk. Benar saja, ia temukan sepucuk surat di meja rias gadis itu.

[Buk, Tio tidak akan datang. Seperti Faiz dan Hadi yang mencampakkanku begitu saja. Aku tidak mau menyaksikan lagi pengkhianatan. Aku tidak mau menyongsong rasa sakit. Aku tidak sanggup, Buk. Tidak sanggup.]

Tio mengempaskan surat itu ke lantai. Lalu memerintah seluruh anak buah untuk mencari Pusparani. Tio sendiri bergegas mencarinya ke terminal. Entah, firasatnya mengatakan gadis itu akan pergi jauh. Namun, di terminal Tio tidak menemukan Pusparani. Ia pun langsung ke stasiun. Seluruh sudut Tio jelajahi, tak lupa bertanya pada penjaga loket. Hasilnya nihil.

Pria itu pun memutuskan pulang meski dengan tangan hampa. Dalam perjalanan itulah di bawah tugu perbatasan kota, Tio melihat Puspa duduk di bangku trotoar. Wajahnya kuyu.

Puspa terpaku mendapati Tio turun dari mobil. Matanya yang merah sebab semalam tidak tidur mulai berkaca-kaca. Enggan percaya pria itu mencarinya.

"Keluargaku, keluargamu, penghulu, dan saksi-saksi menunggu kita di rumah, Puspa," kata Tio lembut. Ia membelai rambut Puspa yang kusut.

"Mari kita pulang. Aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan apapun."

Mendengarnya air mata Pusparani meleleh. Tio merengkuh tubuh gadis itu, memberikan tempat untuk menumpahkan segalanya. Dengan sabar ia menunggu Puspa luluh.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, setelah Puspa lelah menangis ia mengajak Tio pulang. Puspa berkata, "Nanti masuk rumah lewat pintu belakang, ya? Saya kan belum dirias."

Tio mengangguk. Dikecupnya kening gadis itu sebelum masuk ke mobil.

"Jika aku tidak menemukanmu entah apa yang akan terjadi," gumamnya.

Tamat
Diubah oleh MienHessel 02-08-2020 13:36
0
233
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan