- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ibu, Aku Ingin Berqurban


TS
orangkreatif01
Ibu, Aku Ingin Berqurban
#Cermin
Berqurban
***
Hari telah sore, Ayas bergegas pulang ke rumah membawa rumput dan sebuah permintaan ke rumah. Ia ingin segera menemui Ibunya. Tadi saat bersama kawan-kawannya, kawannya bercerita soal orang tuanya yang berqurban. Masing-masing mereka ada yang bercerita; ada yang mengurbankan kambing, ada yang mengurbankan sapi. Siapakah dia? Si Dekan, anak Pak Lurah yang kebetulan sedang ikut anak-anak macam Ayas ke ladang.
Ayas jadi antusias. Ingin cepat sampai ke rumah meminta agar ia juga hendak berqurban tahun ini.
***
"Ayas ingin berqurban, Mak ...." begitu katanya kepada Ibunya yang sedang membereskan buncis yang baru dipanen.
"Mamak hanya bisa mengaminkan, Yas. Besok semoga Allah kabulkan keinginan kau." jawab Ibunya.
Ayas tampak kecewa.
"Mengapa Ayas tak berqurban sekarang saja, Mak?" tanya anak itu lagi.
Ibunya mendesah. Lalu menoleh ke arah Ayas yang masih berusia delapan tahun. Ia adalah seorang yatim, bapaknya meninggal lima tahun lalu menjadi salah satu korban kecelakaan muatan kayu.
"Kita shalat saja dulu, Ayas. Nanti Mamak jelaskan. Ambil wudhu kau." perintah Ibunya tegas. Ibunya lantas beranjak ke arah kamar mandi, juga hendak menyucikan diri.
Ayas mengangguk. Ia adalah anak yang baik dan penurut. Sering kali ia selalu mengerti, tetapi ia selalu butuh alasan atas segala pertanyaan yang ia ajukan kepada Ibunya.
***
Setelah salam. Ayas menarik-narik mukena ibunya pelan. Menagih janji.
Ibunya menoleh lantas tersenyum.
"Kau ingin tahu mengapa, Ayas?"
Ayas mengangguk antusias. Ia meringsut ke arah pangkuan Ibunya bersiap menelaah semua penjelasan sebagaimana biasanya.
"Allah wajibkan yang mampu, Ayas ... dan kita belum mampu," ucap Ibunya pelan sembari mengelus puncak kepala Ayas. "Itulah sebab nya kita belum diwajibkan untuk berqurban.
Besok kalo sudah mampu, baru Allah wajibkan."
Ayas menatap wajah Ibunya.
"Jadi, Mak ... Kita belum mampu?"
Ibunya mengangguk.
"Kita hanya belum. Bukan tidak."
Ibunya memeluk Ayas dengan erat.
Di surau, kumandang takbir telah digemakan. Anak muda, orang tua, semua bersemangat mengikuti dari rumah mereka masing-masing.
Begitu juga dengan Ayas dan Ibunya.
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
Tamat.
Berqurban

***
Hari telah sore, Ayas bergegas pulang ke rumah membawa rumput dan sebuah permintaan ke rumah. Ia ingin segera menemui Ibunya. Tadi saat bersama kawan-kawannya, kawannya bercerita soal orang tuanya yang berqurban. Masing-masing mereka ada yang bercerita; ada yang mengurbankan kambing, ada yang mengurbankan sapi. Siapakah dia? Si Dekan, anak Pak Lurah yang kebetulan sedang ikut anak-anak macam Ayas ke ladang.
Ayas jadi antusias. Ingin cepat sampai ke rumah meminta agar ia juga hendak berqurban tahun ini.
***
"Ayas ingin berqurban, Mak ...." begitu katanya kepada Ibunya yang sedang membereskan buncis yang baru dipanen.
"Mamak hanya bisa mengaminkan, Yas. Besok semoga Allah kabulkan keinginan kau." jawab Ibunya.
Ayas tampak kecewa.
"Mengapa Ayas tak berqurban sekarang saja, Mak?" tanya anak itu lagi.
Ibunya mendesah. Lalu menoleh ke arah Ayas yang masih berusia delapan tahun. Ia adalah seorang yatim, bapaknya meninggal lima tahun lalu menjadi salah satu korban kecelakaan muatan kayu.
"Kita shalat saja dulu, Ayas. Nanti Mamak jelaskan. Ambil wudhu kau." perintah Ibunya tegas. Ibunya lantas beranjak ke arah kamar mandi, juga hendak menyucikan diri.
Ayas mengangguk. Ia adalah anak yang baik dan penurut. Sering kali ia selalu mengerti, tetapi ia selalu butuh alasan atas segala pertanyaan yang ia ajukan kepada Ibunya.
***
Setelah salam. Ayas menarik-narik mukena ibunya pelan. Menagih janji.
Ibunya menoleh lantas tersenyum.
"Kau ingin tahu mengapa, Ayas?"
Ayas mengangguk antusias. Ia meringsut ke arah pangkuan Ibunya bersiap menelaah semua penjelasan sebagaimana biasanya.
"Allah wajibkan yang mampu, Ayas ... dan kita belum mampu," ucap Ibunya pelan sembari mengelus puncak kepala Ayas. "Itulah sebab nya kita belum diwajibkan untuk berqurban.
Besok kalo sudah mampu, baru Allah wajibkan."
Ayas menatap wajah Ibunya.
"Jadi, Mak ... Kita belum mampu?"
Ibunya mengangguk.
"Kita hanya belum. Bukan tidak."
Ibunya memeluk Ayas dengan erat.
Di surau, kumandang takbir telah digemakan. Anak muda, orang tua, semua bersemangat mengikuti dari rumah mereka masing-masing.
Begitu juga dengan Ayas dan Ibunya.
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
Tamat.






Yunie87 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
697
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan