- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sejuta Sapi, Sejuta Kejutan


TS
orangkreatif01
Sejuta Sapi, Sejuta Kejutan
Cerita Mini
Judul: Sejuta Sapi

Selain hamparan lautan berwarna biru, pasir putih dan cita rasa terasinya yang terkenal. Kota ini begitu amat menarik karena keramahan warganya.
Aku duduk di sebuah kedai di pinggir jalan. Hari itu, gerimis mulai turun membasahi bumi yang kotanya ini dijuluki sebagai kota sejuta sapi.
Warga setempat terlihat berbondong-bondong keluar rumah. Mereka berjalan-jalan santai sekali, tampaknya sangat menikmati hujan. Cukup aneh bagiku, sebab biasanya orang akan lari tunggang-lunggang saat hujan turun. Warga di sini justeru berbeda, bahagia sekali mereka saat hujan turun. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa, mereka berjalan-jalan santai di tengah guyuran gerimis yang mulai deras. Tanpa beban sedikitpun, apalagi takut sakit.
"Warga di sini sudah biasa seperti itu, Kak. Di kota ini jarang turun hujan. Sekalinya turun, maka warga di sini sangat bahagia dan ramai-ramai menikmatinya." Pelayan Kedai seperti bisa membaca pikiranku. ia bagai memahami kebingunganku yang sedari tadi menatap heran ke arah jalanan. Bahkan aku membiarkan kopi yang kupesan tadinya mengepul hangat sampai dingin. Juga aroma nikmat kopi khas Lombok yang tadinya menguar bahkan telah hilang terbawa angin.
Aku mengangguk dan tersenyum kepada Pelayan Kedai yang menjelaskan kepadaku barusan.
"Luar biasa sekali. Aku baru tahu ada aktivitas semenarik ini saat hujan tiba. Baru aku temukan di sini. Di kota yang entah sejak kapan menjadi istimewa di hatiku." kataku begitu saja. Si Pelayan Kedai tampak tersenyum menanggapi kalimatku barusan.
"Sepertinya Kakak datang ke sini bukan hanya sekadar berlibur menghilangkan penat. Seperti ada sesuatu yang dituju dan itu bukan sembarangan tujuan." Si Pelayan Kedai menerka. Ia masih sibuk membereskan gelas-gelas bekas pelanggan. Tapi masih tertarik juga menanggapi kalimatku barusan.
"Entahlah ...." jawabku pendek. Aku hendak menjawab yang sebenarnya. Tapi aku merasa buat apa juga, yang aku tuju pun belum jelas bagaimana akhirnya.
Sembari membereskan gelas-gelas ke tempat semula setelah dibersihkan. Pelayan Kedai itu masih sempat membuka percakapan denganku.
"Kalau sudah jauh-jauh dari Ibu Kota ke sini, pasti ada Ibu Mertua yang menanti. Begitu, Kakak?"
Aku tertawa menanggapi ucapan Pelayan Kedai barusan.
"Kamu ini bicara apasih ...." Aku masih tertawa.
Memilih mengakhiri percakapan dengan Pelayan Kedai, lantas memilih kembali memperhatikan orang-orang di jalanan, yang masih saja setia menikmati hujan. Sekarang mereka bahkan sedang tertawa-tawa. Sembari menyeruput kopi yang telah dingin, aku tersenyum memperhatikan susana yang begitu hangat di depan mata.
Tring!
Satu notifikasi masuk dari aplikasi Whatsapps. Pesan dari seseorang yang amat aku tunggu.
[Aku akan jemput. Kita ke rumah ketemu keluargaku.]
Tamat.
13, 03, 2020, Jakarta.
Cermin ini entah mengapa amat sangat saya sukai. Dengan sedikit editan, saya rubah agar lebih enak dibaca.
Judul: Sejuta Sapi

Selain hamparan lautan berwarna biru, pasir putih dan cita rasa terasinya yang terkenal. Kota ini begitu amat menarik karena keramahan warganya.
Aku duduk di sebuah kedai di pinggir jalan. Hari itu, gerimis mulai turun membasahi bumi yang kotanya ini dijuluki sebagai kota sejuta sapi.
Warga setempat terlihat berbondong-bondong keluar rumah. Mereka berjalan-jalan santai sekali, tampaknya sangat menikmati hujan. Cukup aneh bagiku, sebab biasanya orang akan lari tunggang-lunggang saat hujan turun. Warga di sini justeru berbeda, bahagia sekali mereka saat hujan turun. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa, mereka berjalan-jalan santai di tengah guyuran gerimis yang mulai deras. Tanpa beban sedikitpun, apalagi takut sakit.
"Warga di sini sudah biasa seperti itu, Kak. Di kota ini jarang turun hujan. Sekalinya turun, maka warga di sini sangat bahagia dan ramai-ramai menikmatinya." Pelayan Kedai seperti bisa membaca pikiranku. ia bagai memahami kebingunganku yang sedari tadi menatap heran ke arah jalanan. Bahkan aku membiarkan kopi yang kupesan tadinya mengepul hangat sampai dingin. Juga aroma nikmat kopi khas Lombok yang tadinya menguar bahkan telah hilang terbawa angin.
Aku mengangguk dan tersenyum kepada Pelayan Kedai yang menjelaskan kepadaku barusan.
"Luar biasa sekali. Aku baru tahu ada aktivitas semenarik ini saat hujan tiba. Baru aku temukan di sini. Di kota yang entah sejak kapan menjadi istimewa di hatiku." kataku begitu saja. Si Pelayan Kedai tampak tersenyum menanggapi kalimatku barusan.
"Sepertinya Kakak datang ke sini bukan hanya sekadar berlibur menghilangkan penat. Seperti ada sesuatu yang dituju dan itu bukan sembarangan tujuan." Si Pelayan Kedai menerka. Ia masih sibuk membereskan gelas-gelas bekas pelanggan. Tapi masih tertarik juga menanggapi kalimatku barusan.
"Entahlah ...." jawabku pendek. Aku hendak menjawab yang sebenarnya. Tapi aku merasa buat apa juga, yang aku tuju pun belum jelas bagaimana akhirnya.
Sembari membereskan gelas-gelas ke tempat semula setelah dibersihkan. Pelayan Kedai itu masih sempat membuka percakapan denganku.
"Kalau sudah jauh-jauh dari Ibu Kota ke sini, pasti ada Ibu Mertua yang menanti. Begitu, Kakak?"
Aku tertawa menanggapi ucapan Pelayan Kedai barusan.
"Kamu ini bicara apasih ...." Aku masih tertawa.
Memilih mengakhiri percakapan dengan Pelayan Kedai, lantas memilih kembali memperhatikan orang-orang di jalanan, yang masih saja setia menikmati hujan. Sekarang mereka bahkan sedang tertawa-tawa. Sembari menyeruput kopi yang telah dingin, aku tersenyum memperhatikan susana yang begitu hangat di depan mata.
Tring!
Satu notifikasi masuk dari aplikasi Whatsapps. Pesan dari seseorang yang amat aku tunggu.
[Aku akan jemput. Kita ke rumah ketemu keluargaku.]
Tamat.
13, 03, 2020, Jakarta.
Cermin ini entah mengapa amat sangat saya sukai. Dengan sedikit editan, saya rubah agar lebih enak dibaca.




venomkatsu dan bukhorigan memberi reputasi
2
460
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan