Kaskus

Hobby

unievejvongsaAvatar border
TS
unievejvongsa
Surat untuk Ayah dari Anak Perempuannya
Surat untuk Ayah dari Anak Perempuannya




Hari ini, aku menyerah. Kerinduan menyayat ini meruntuhkan sifat egois dan keras kepala yang kau turunkan padaku. 


Pak, masih ingatkah kau pada gadis kecil semata wayangmu yang ceroboh? Bagaimana setiap Ramadhan kau belikan ia sebuah radio kecil. "Buat ngabuburit," katamu. Kau terlihat tak acuh, tetapi benar-benar tahu hobiku mendengarkan musik. 


Lalu, radio itu akan rusak hanya dalam dua minggu. Kau marah. "Anak perempuan, kok gak bisa jagain barang!" katamu. Namun, kau tidak pernah kapok membelikannya lagi Ramadhan berikutnya. Lagi dan lagi, setiap bulan suci kau belikan aku barang itu dua kali.


Tahukah? Aku masih seceroboh itu, Pak. Hanya saja, karena tahu bagaimana lelahnya mencari rezeki, hingga, sekuat mungkin berusaha hati-hati dalam menjaga barang-barangku. Maafkan aku yang dulu tak bisa menghargai hasil jerih payahmu.


Kau juga sering memarahiku karena kamar yang teramat berantakan, serta dinding dipenuhi banyak poster grup band kesayanganku. "Kamu ini anak perempuan, kamar kok macam ditempati berandalan. Gimana nanti kalau sudah menikah dan tinggal di rumah mertuamu? Bisa habis kau dianiaya!!" hardikmu sembari merobek poster-poster itu. Lagi dan lagi tetap berulang, dan kau tidak pernah bosan mengulang petuahmu. Dulu, aku bosan, kesal dan merasa terkekang.


Tahukah? Sampai sekarang aku belum pandai beberes, Pak. Aku juga masih mengoleksi foto-foto selebritis idolaku. Hanya saja, Allah memberikanku pasangan hidup dan mertua yang baik hati. Mereka tak pernah menganiayaku karena itu. Namun, aku tetap berusaha belajar banyak, meski sangat jauh untuk bisa menjadi sesempurna wanita baik hati yang selalu kau banggakan. Ibu.


Kau memang bukan seorang ayah yang pandai menunjukan kasih sayang. Saat itu, hanya cacian, makian dan omelan-omelan yang selalu kuingat. Pikirku, kau hanya bisanya marah saja. Apa pun yang kuperbuat selalu salah. Namun, kini aku sadar, semua itu karena kau ingin aku menjadi lebih baik. Itulah wujud kasih sayangmu.


Aku juga ingat, siapa yang selalu begadang semalaman sampai pagi menjelang saat aku demam karena hujan-hujanan. Bagaimana cemasnya wajah lelahmu saat itu. Lalu, aku juga ingat, siapa yang rela terbangun malam-malam untuk membopongku ke kamar kecil. Dulu kakiku cedera parah hingga urat pergelangan kakiku hampir putus teriris pagar bambu ketika asyik mengejar layangan. Ah, aku memang senakal itu.


Maaf, Pak ... bahkan aku tak pernah mengucapkan terimakasih sama sekali.


Pak, sejak dulu, kita memang bukan ayah dan anak perempuan yang teramat dekat. Hingga aku iri melihat kawan-kawan bermanja-manja pada ayahnya. Terlebih setelah kepergian ibu. Jarak pemisah di antara kita terasa semakin jauh. Berbagai kesalahpahaman dan pertengkaran acapkali terjadi.


Namun saat Ibu pergi, untuk pertama kalinya kau memelukku dan berkata, "Semua akan baik-baik saja selama tetap bersama. Kita lalui duka ini bersama." Kupikir semuanya akan bertahan lama, tetapi, tak lama kita kembali sering berselisih.


Sadarkah, kau? Itu karena kita sama. Semua sifatmu menurun banyak padaku. Hingga, seperti magnet, kita selalu saling bertolakan. Seperti saat beberapa kali aku menghajar kawan sekelas atau berkelahi. 


Dulu, satu-satunya yang kukagumi darimu adalah keberanianmu. Bisa sekuat dan seberani dirimu adalah sesuatu yang kupikir sangat keren. Hingga katamu, "Jangan pernah mencontoh keberanian bapak, menjadi pemberani dan ringan tangan memang disegani orang, tetapi juga banyak dibenci dan ditusuk dari belakang." Iya, kau benar, Pak. Kusadari semuanya sekarang.


Pak, aku lelah bersandiwara. Pura-pura tak acuh dan bahagia mengasingkan diri darimu. Usia dan fisikku mungkin sudah matang sekarang, Bukan lagi gadis tomboy pembangkang yang selalu membuatmu geram. Namun, aku masih seperti dulu. Masih anak yang butuh perhatianmu.


Pak, aku lega, bersyukur karena mereka tak selalu mengecewakanmu sepertiku, meski mereka tak bersikap baik padaku dan anak-anak kandungmu yang lain. Iya, adik-adikku. Terkadang, aku iri melihat kebersamaanmu dengan mereka. Keluarga baru yang selalu menerbitkan senyum di wajahmu. Aku iri dengan perhatianmu pada keluarga kecil anak dan menantu barumu. 


Sebegitu tak pentingkah aku di matamu? Hingga tak menanyai pendapatku sebelum kau memilih seseorang yang akan kau peristri. Bahkan tak mengabariku sama sekali perihal pernikahanmu.


Kau selalu berpikir aku tak peduli lagi, 'kan? Itu salah. Aku di sini, selalu mengawasimu dari jauh. Menatap dengan perih hati yang selalu saja menyeruak karena cemburu. Cemburu karena kebersamaan kita tak pernah menerbitkan bahagiamu seperti kebersamaanmu dengan mereka.


Pak, jika suatu saat aku kembali, beri aku pelukan itu untuk yang kedua kali. Ijinkan aku berusaha menunjukan padamu, bahwa aku bisa menjadi seperti apa yang kau mau. Belum terlambat, bukan?


Sehat selalu, aku di sini selalu berjuang. Tunggu aku datang dan membuatmu berkata, kau bangga memiliki anak perempuan sepertiku.


Indramayu, 02 Mei 2020.
Diubah oleh unievejvongsa 16-07-2020 09:47
0
817
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan