IND Politik - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada hari, Jumat (13/7) mengatakan, "Akan membebaskan al Aqsha setelah Hagia Sophia". Hal ini disampaikan pasca pengumuman mengubah Hagia Shopia dari museum menjadi masjid. Ada yang percaya dan tidak sedikit yang meragukan.

Jika di telisik, bukan satu dua kali Erdogan menyampaikan kalimat senada dalam pidato politiknya. Sudah sering bahkan kita sampai hapal narasi-narasinya. Kita bukan tidak percaya Turki punya kemampuan militer (pasukan dan senjata) dan saya yakin mereka mampu untuk itu, membebaskan al Aqsha. Tapi yang jadi soal, pidato ini jauh dari realitas politik. Hanya sebatas narasi, tidak benar-benar diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Ketergantungan politik luar negeri adalah salah satu alasan. Sampai saat ini Turki belum bisa lepas dari pengaruh politik AS baik dalam maupun luar negerinya, tersandera. Bagaimana mungkin orang yang dirinya tersandera bisa dan punya kemampuan membebaskan orang lain? Mustahil alias mimpi!

Disisi lain, solusi politik AS atas Palestina adalah jelas, "solusi dua negara", berdirinya negara Israel dan negara Palestina. Untuk mewujudkan itu diperlukan penguasa-penguasa komprador (kaki tangan) dan Turki termasuk di dalamnya.

Kalau pidato tadi (al Aqsha) dianggap serius dan dikaitkan dengan agenda AS di Palestina jelas saling bertabrakan. Umat Islam ingin 'al Aqsha atau Palestina bebas', sementara AS ingin mewujudkan solusi dua negara. Jika dua kepentingan ini saling bertemu maka dipastikan Turki memilih kepentingan AS. Waktu 6 tahun (pasca berkuasa) saya pikir cukup menilai itu semua.

Mengakhiri pendudukan Israel bukan dengan lontaran kata-kata karena Israel tidak paham bahasa diplomasi apalagi kata-kata. Tapi dengan mengerahkan segenap kemampuan militer (pasukan dan senjata) dan bila itu terjadi baru kita yakin, Erdogan serius dengan ucapannya. *Iyal Seprianto