Kaskus

Story

Astri.zeeAvatar border
TS
Astri.zee
Dia Cinta Pertamaku
Harusnya dari awal aku tidak perlu melakukan ini. Harusnya aku tidak perlu ikut terlibat dalam permainan mereka. Karena saat ujung botol itu tepat mengarah padaku, aku tahu masalah sedang menghampiri.

“Truth or dare?” tanya Saras antusias, seolah momen ini sudah dinantikannya. Dari ekspresinya yang tersenyum itu, aku tahu jika apa pun yang akan aku pilih, sudah disiasati olehnya. Saras pasti telah menyiapkan perangkap untuk menjebakku.

“Truth aja, Bun!” Fika yang juga berada di lingkaran ini mengompori. Dia baru saja menjadi korban permainan ini, dituntut menjawab jujur tentang siapa yang lebih disukai, pacarnya atau kapten basket sekolah. Dan jawaban yang diberikan cukup mengejutkan, dia memilih si kapten basket. Entah akan bagaimana nasibnya jika pacarnya tahu hal itu. Kenapa dia tidak memilih berbohong saja? Apa harus benar-benar jujur?

“Dare ajalah biar seru,” timpal Ana yang duduk di sebelah Fika.

Aku melirik Saras yang masih memamerkan senyum itu. Jika dare yang kupilih ... aku takut teman satu ini akan memberi tantangan yang aneh-aneh.

“Lama, deh,” ucap Saras yang mungkin sudah tidak sabar ingin segera melihatku sengsara.

Aku mencondongkan tubuh, mencengkeram pundak Saras yang duduk di depanku. “Awas aja lo kalau ngasih pertanyaan aneh-aneh,” bisikku.

Saras terkikik. “Tenang aja, Bun, masa lo gak caya ama temen sendiri.” Dia menaik-naikkan alis. “Udah buruan pilih apa?”

Aku berdecak, lantas setengah hati menjawab, “Dare.” Mengernyit, perasaan tak enak mulai menggelayuti hati. Aku hanya bisa berharap semoga tantangan Saras bukan seperti apa yang aku pikirkan.

“Dare-nya adalah ....” Saras menjeda kalimat, seperti sengaja mempermainkan emosiku. “Nyatain perasaan sama first love lo!”

“Asem!” umpatku. “Tantangan apaan itu? Ogah gue!” Aku melengos sembari melipat tangan di dada.

“Gak bisa dong, Bun,” ucap Fika. Disusul protes Ana yang bernada sama.

“Sportif dong!” timpal Saras.

Lagi aku berdecak, kali ini lebih keras. “Kalian pasti sekongkol, kan?” Telunjukku mengarah pada wajah-wajah itu. Tawa mereka pecah membuatku semakin yakin akan hal itu.

Lantas teringat kejadian kemarin, saat ketiga temanku itu tak sengaja menemukan origami bentuk hati dari dalam tasku. Origami yang berisi curhatan hati, tentang dia yang aku sukai.

“Ah, kalian gak asyik, ah!” Bibirku mengerucut sebal.

“Oke, kalau gitu cukup kasih tau kita siapa orangnya,” ujar Saras. Fika dan Ana mengangguk-angguk.

Netraku memicing, memandang curiga. “Kalau gue kasih tau, trus apa? Kalian pasti mau macem-macem lagi, kan?”

“Etdah, Embun su’udzon mulu.” Fika menepuk dahi.

“Tau nih, gak caya banget sama temen sendiri,” sambung Ana.

Aku menghela napas, bosan juga mendengar mereka yang terus mengungkit itu. “Fine,” ucapku akhirnya. “Gue kasih tau, tapi besok.”

Lantas aku berdiri, melangkah pergi. Mengabaikan panggilan dari ketiga temanku itu.

***

Katanya cinta pertama itu selalu punya ruang tersendiri di hati. Tempat khusus yang hanya didiami oleh sebuah nama. Mungkin karena itu pengalaman pertama jatuh cinta sehingga sensasinya berbeda. Pun tidak gampang melupakannya.

Aku tidak tahu apa ini bisa disebut cinta pertama. Tapi kalau ditanya apakah dadaku berdebar saat melihatnya, jawabannya iya. Apakah tubuhku mendadak panas dingin saat berada dalam radius dekat dengannya, jawaban iya.

Aku tidak ingat sejak kapan perasaan itu tumbuh. Apakah saat pertama kali melihatnya di lapangan? Ataukah saat mendengarnya menyebut namaku meski sekadar mengabsen? Atau justru ketika melihatnya menolong siswa lain yang keberatan membawa buku?

Aku tidak tahu.

Yang jelas hingga saat ini, detak di dada akan berubah kecepatannya tiap ada dia. Yang jelas, aku selalu ingin tahu apa pun yang dilakukannya. Aku selalu mencari keberadaannya.

Lalu ... jika ada yang bertanya akankah aku mengatakan perasaanku?

Tidak. Aku tidak seberani itu. Aku akan lebih memilih memendamnya dalam hati. Menikmatinya sendiri.

Bagiku sekadar menjadi pengagumnya dari jauh sudah cukup. Tak apa menjadi pemuja dalam diam, asal tetap bisa melihat wajahnya. Tak apa dia tidak tahu, asal kami tak terpisah terlalu jauh.

Aku takut jika dia tahu perasaan ini, dia justru akan menjauh. Menjaga jarak, bahkan mungkin membenci. Dan aku tidak mau itu terjadi.

“Yang mana, Bun?” tanya Fika, terdengar tak sabar sekaligus antusias.

Kami tengah berada di pinggir lapangan, menonton pertandingan basket.

“Dhias?” tebak Ana menunjuk pemain bernomor punggung tiga.

Aku diam.

“Arjuna?” Fika menunjuk lelaki jangkung lain bernomor lima.

Aku masih diam.

Sementara Saras dari tadi awas memandangi para pemain itu, seperti tengah memindai satu per satu. “Jangan-jangan si ketua,” gumamnya.

Aku menggigit bibir bawah.

“Atau ...,” lanjut Saras, “Andy?” Dia menunjuk pemain lain lagi.

Aku terkekeh, membuat mereka semua menoleh. “Penasaran banget, ya? Sampe serius gitu?” ledekku.

“Ya udah sih, kasih tau!” jawab Saras. “Napa jadi kayak tebak-tebakkan gini, sih?”

“Baiklah ....”

Saat ini, para pemain tepat berkumpul di satu titik. Sepertinya tengah mendengar arahan. Lantas telunjuk mengarah ke sana, pemain bernomor punggung delapan. “Itu,” ujarku.

“Siapa?”

“Mana?”

Tentu saja tidak mudah menangkap siapa yang aku tunjuk, karena para pemain itu tengah bergerombol.

Aku mengedikkan bahu untuk pertanyaan mereka. “Serah kalian mau yang mana, yang penting gue udah kasih tau.” Aku menjulurkan lidah, lantas beranjak pergi.

Sudut-sudut bibirku tertarik membentuk lengkungan, saat mendengar mereka mengumpatiku berkali-kali.


Tamat.

Sumber gambar: canva

Dia Cinta Pertamaku


bukhoriganAvatar border
husnamutiaAvatar border
husnamutia dan bukhorigan memberi reputasi
2
459
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan