- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
WISUDA ONLINE


TS
mfitrahilhami
WISUDA ONLINE
[Ustadz Fitrah, saya boleh minta tolong?] tulis wakil kepala sekolah beberapa waktu lalu.
Aku balas, [Silakan, Ustadz.]
[Sabtu ini kan kita mengadakan wisuda online. Nah, Ustadz Fitrah nanti jadi pembawa acara. Mau, ya?]
Dimintai tolong oleh atasan, tidak ada alasan buat menolak. Akhirnya aku terima tawaran tersebut.
Dan di sinilah aku sekarang. Berada di sebuah mushollah sekolah yang disulap sebagai ruang wisuda. Sebuah banner bertuliskan, “Wisuda Purnawidya SMP IT Al-Uswah Surabaya, tahun ajaran 2019-2020” terpampang di dinding. Sebuah podium lengkap dengan mic sudah siap. Ketika aku disuruh cek sound, aku baru sadar bahwa podium itu sebenarnya meja makan yang dibalik dan diberi kain batik sebagai penutup.
“Ustadz,” aku berkata ke rekan guru yang di acara ini jadi panitia pelaksana, “Ini meja makan, bukan?”
Yang aku tanyai segera menyentuhkan telunjuk ke bibirnya, “Jangan keras-keras, Tadz. Darurat.”
Kami pun tertawa.
Wisuda tahun ini memang berbeda. Bila tahun-tahun lalu kami menyewa gedung untuk pelepasan siswa, pandemi ini mengharuskan kami melakukan wisuda hanya lewat aplikasi Zoom di rumah masing-masing. Hanya para guru yang diharuskan ke sekolah untuk merangkai acara dari awal sampai selesai. Meski begitu, tampak anak-anak begitu bersemangat mengikuti jalannya acara. Mereka memakai jas almamater, sangat rapi. Bagi yang perempuan memakai kerudung putih, wajahnya bersih, cantik dan berseri. Begitu pula yang laki-laki, ganteng sekali, meski tak ada yang menjamin mereka sudah mandi.
“Nanti Ustadz Fitrah bacakan nama wisudawan. Setelah itu wisudawan akan berdiri bersama orang tua, lantas orang tua memberi ijazah ke ananda, terakhir ananda mencium tangan orang tua.” Begitu jawab panitia pelaksana ketika aku bertanya bagaimana pelaksanaan prosesi wisuda online? Sebab, wisuda macam ini pertama kali dilakukan.
Tepat pukul 9 pagi, acara pun dimulai …
Aku begitu terharu tatkala memasuki agenda kesan dan pesan dari perwakilan siswa kelas 9. Penyampaian kesan dan pesan itu diwakili oleh ananda Safira. Dia memang terkenal sebagai murid yang sangat cerdas. Di ujian sekolah kemarin dia bisa mendapat nilai sempurna 100, untuk tiga mata pelajaran; Matematika, IPA, Bahasa Inggris.
Dari rumahnya, Safira menyampaikan pesan kurang lebih seperti ini,
“Sahabat-sahabatku, angkatan kita adalah angkatan pertama yang lulus tanpa Ujian Nasional. Bertemu dengan senyuman, namun berpisah tanpa pelukan. Angkatan kita adalah angkatan yang penuh dengan cerita. Ketika persiapan menuju UN direncanakan dengan rapi dan penuh keseriusan, namun akhirnya tidak terlaksana. Sekolah kita harus selesai sebelum waktunya. Istirahat bukan pada jamnya. Bahkan untuk sekedar melakukan wisuda pun hanya bisa lewat layar kaca.
“Namun, seperti yang sering disampaikan Ustadz dan Ustadzah kita, bahwa yakinlah, semua yang terjadi ini pasti ada hikmahnya. Allah sedang mempersiapkan kita agar menjadi generasi terbaik dan lebih tegar. Cobaan ini datang pada kita karena Allah tahu, lulusan tahun 2020 adalah generasi terkuat. InsyaAllah semua akan berakhir indah. Semangat, ya.
“Bila ada yang bertanya apa episode terbaik dalam hidupku, aku tidak akan ragu mengungkapkan bahwa bersekolah, bertemu dengan kalian dan para asatidz di sinilah jawabannya. Terasa baru kemarin saja aku diantar orang tua mendaftar di sekolah ini, dan sekarang aku harus pergi meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini. Berat. Rasanya berat sekali.
“Untuk Ustadz-Ustadzah, terimakasih ya sudah mengajari kami yang rewel ini. Maafkan atas segala kesalahan. Semoga Allah berkahi hidup Ustadz-Ustadzah, sederas kesabaran yang ustadz-Ustadzah berikan pada kami. Di ujung pertemuan ini, aku berdoa, semoga kelak kami bisa dipertemukan kembali di keadaan yang lebih baik. Aamiin.”
Terasa sekali kejujuran yang disampaikannya. Entah bagaimana rasanya melakukan wisuda yang harusnya gembira bersama teman-teman, kini hanya sendirian di rumah saja.
Sambutan dari kepala sekolah pun dan wali murid pun tak kalah menyentuh. Menyampaikan salam perpisahan yang begitu berat terucap. Berharap kelak anak-anak menjadi orang yang sukses.
Hingga tibalah pada acara inti yakni prosesi wisuda.
Tapi sebelum itu aku sampaikan pada murid-murid cowok, “Tolong bagi yang cowok pastikan bawahannya pakai celana panjang. Jangan sampai atasan sudah rapi pakai jas, tapi bawahan masih pakai celana pendek.”
Rekan guru pada tertawa. Karena mungkin karena pengalaman selama pembelajaran daring, mentang-mentang belajar lewat zoom, atasan pakai kemeja berdasi, bawahan cuma pakai celana futsal. Termasuk yang nulis ini. Keh keh keh.
“Siap, Tadz!” jawab anak-anak. “Aman.”
Prosesi wisuda pun dimulai. Tugasku sebagai pembawa acara kali ini ‘hanya’ membacakan nama wisudawan. Mengapa kata hanya aku beri tanda petik? Karena tugas itu sepertinya mudah, tapi tak semudah yang dibayangkan. Ada 99 anak yang harus aku sebut nama lengkapnya + nama bapaknya. Untuk 10 siswa pertama aku masih benar mengucapkan nama-namanya, namun setelah siswa ke 30, konsentrasiku mulai ambyar. Mungkin gejala sudah siang, atau bisa jadi karena lupa sarapan.
Yang seharusnya terucap, “Ahmad Rif’ad putra Bapak Abu Bakar.” Malah terucap, “Ahmad Rif’ad PUTRI Bapak Abu Bakar.”
Untungnya, si Ahmad Rif’ad anaknya sabar, dia cuma tersenyum di depan laptop ketika aku meminta maaf.
Kesalahan yang paling fatal adalah ketika aku menyebutkan nama salah satu murid laki-laki. Panggilannya Bintang. Karena nama anak zaman now biasanya panjang, aku hampir tidak pernah menghafal nama lengkap murid. Cukup nama panggilannya saja. Jadi, setelah sejenak membaca nama lengkap Bintang di kertas yang ada di tangan, aku segera memanggilnya dengan penuh semangat,
“Bintang Ramadhan Putra Choiii!” kataku dengan heboh biar gak ngantuk gitu niatnya.
Wali kelas si Bintang langsung datang padaku, “Choirudin, Tadz. Kurang lengkap manggilnya.”
“Loh, iya tah, Tadz?” aku melongo. Melas.
Tampak, guru-guru lain menatapku dengan tatapan, “Mulai sekarang jangan ngaku kenal aku, Tadz.” Operator audio tak kuasa menahan tawa. Dia ngikik tak henti-henti. Kulihat pula kepala sekolah geleng-geleng kepala sambil menepuk dahi. Mungkin di hati beliau berkata, “Siapa yang dulu ngusulin Fitrah jadi MC di acara sepenting ini?”
“Tapi di daftar namanya Bintang Ramadhan Putra Choi, Tadz.” Aku menunjukkan nama lengkapnya di daftar panggil ke wali kelas. Mencoba cari pembenaran.
“Itu kepotong, Tadz.” Ia menunjuk power point di laptop, “bukan Choi, tapi Choirudin. Ustadz Fitrah baca daftar nama yang di power point saja.”
Aku memejamkan mata. Duh, malu banget. Akhirnya aku meminta maaf lagi secara terbuka, saat itu aku bilang pakai mic, “Maaf Mas Bintang. Tadi ustadz salah sebut. Harusnya Choirudin, tapi malah dipotong jadi Choi saja. Maaf ya, Mas.”
Di depan layar, si Bintang tersenyum, mengangguk dan menyodorkan jempolnya padaku. Ah, anak sholeh.
Oke, kita baikan lagi ya, Coy!
****
Surabaya, 05 Juli 2020
Fitrah Ilhami
Penulis 10 buku keluarga
Yang mau pesan, inboks aja fanspage facebooknya
www.facebook.com/fitrahilhamii
Aku balas, [Silakan, Ustadz.]
[Sabtu ini kan kita mengadakan wisuda online. Nah, Ustadz Fitrah nanti jadi pembawa acara. Mau, ya?]
Dimintai tolong oleh atasan, tidak ada alasan buat menolak. Akhirnya aku terima tawaran tersebut.
Dan di sinilah aku sekarang. Berada di sebuah mushollah sekolah yang disulap sebagai ruang wisuda. Sebuah banner bertuliskan, “Wisuda Purnawidya SMP IT Al-Uswah Surabaya, tahun ajaran 2019-2020” terpampang di dinding. Sebuah podium lengkap dengan mic sudah siap. Ketika aku disuruh cek sound, aku baru sadar bahwa podium itu sebenarnya meja makan yang dibalik dan diberi kain batik sebagai penutup.
“Ustadz,” aku berkata ke rekan guru yang di acara ini jadi panitia pelaksana, “Ini meja makan, bukan?”
Yang aku tanyai segera menyentuhkan telunjuk ke bibirnya, “Jangan keras-keras, Tadz. Darurat.”
Kami pun tertawa.
Wisuda tahun ini memang berbeda. Bila tahun-tahun lalu kami menyewa gedung untuk pelepasan siswa, pandemi ini mengharuskan kami melakukan wisuda hanya lewat aplikasi Zoom di rumah masing-masing. Hanya para guru yang diharuskan ke sekolah untuk merangkai acara dari awal sampai selesai. Meski begitu, tampak anak-anak begitu bersemangat mengikuti jalannya acara. Mereka memakai jas almamater, sangat rapi. Bagi yang perempuan memakai kerudung putih, wajahnya bersih, cantik dan berseri. Begitu pula yang laki-laki, ganteng sekali, meski tak ada yang menjamin mereka sudah mandi.
“Nanti Ustadz Fitrah bacakan nama wisudawan. Setelah itu wisudawan akan berdiri bersama orang tua, lantas orang tua memberi ijazah ke ananda, terakhir ananda mencium tangan orang tua.” Begitu jawab panitia pelaksana ketika aku bertanya bagaimana pelaksanaan prosesi wisuda online? Sebab, wisuda macam ini pertama kali dilakukan.
Tepat pukul 9 pagi, acara pun dimulai …
Aku begitu terharu tatkala memasuki agenda kesan dan pesan dari perwakilan siswa kelas 9. Penyampaian kesan dan pesan itu diwakili oleh ananda Safira. Dia memang terkenal sebagai murid yang sangat cerdas. Di ujian sekolah kemarin dia bisa mendapat nilai sempurna 100, untuk tiga mata pelajaran; Matematika, IPA, Bahasa Inggris.
Dari rumahnya, Safira menyampaikan pesan kurang lebih seperti ini,
“Sahabat-sahabatku, angkatan kita adalah angkatan pertama yang lulus tanpa Ujian Nasional. Bertemu dengan senyuman, namun berpisah tanpa pelukan. Angkatan kita adalah angkatan yang penuh dengan cerita. Ketika persiapan menuju UN direncanakan dengan rapi dan penuh keseriusan, namun akhirnya tidak terlaksana. Sekolah kita harus selesai sebelum waktunya. Istirahat bukan pada jamnya. Bahkan untuk sekedar melakukan wisuda pun hanya bisa lewat layar kaca.
“Namun, seperti yang sering disampaikan Ustadz dan Ustadzah kita, bahwa yakinlah, semua yang terjadi ini pasti ada hikmahnya. Allah sedang mempersiapkan kita agar menjadi generasi terbaik dan lebih tegar. Cobaan ini datang pada kita karena Allah tahu, lulusan tahun 2020 adalah generasi terkuat. InsyaAllah semua akan berakhir indah. Semangat, ya.
“Bila ada yang bertanya apa episode terbaik dalam hidupku, aku tidak akan ragu mengungkapkan bahwa bersekolah, bertemu dengan kalian dan para asatidz di sinilah jawabannya. Terasa baru kemarin saja aku diantar orang tua mendaftar di sekolah ini, dan sekarang aku harus pergi meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini. Berat. Rasanya berat sekali.
“Untuk Ustadz-Ustadzah, terimakasih ya sudah mengajari kami yang rewel ini. Maafkan atas segala kesalahan. Semoga Allah berkahi hidup Ustadz-Ustadzah, sederas kesabaran yang ustadz-Ustadzah berikan pada kami. Di ujung pertemuan ini, aku berdoa, semoga kelak kami bisa dipertemukan kembali di keadaan yang lebih baik. Aamiin.”
Terasa sekali kejujuran yang disampaikannya. Entah bagaimana rasanya melakukan wisuda yang harusnya gembira bersama teman-teman, kini hanya sendirian di rumah saja.
Sambutan dari kepala sekolah pun dan wali murid pun tak kalah menyentuh. Menyampaikan salam perpisahan yang begitu berat terucap. Berharap kelak anak-anak menjadi orang yang sukses.
Hingga tibalah pada acara inti yakni prosesi wisuda.
Tapi sebelum itu aku sampaikan pada murid-murid cowok, “Tolong bagi yang cowok pastikan bawahannya pakai celana panjang. Jangan sampai atasan sudah rapi pakai jas, tapi bawahan masih pakai celana pendek.”
Rekan guru pada tertawa. Karena mungkin karena pengalaman selama pembelajaran daring, mentang-mentang belajar lewat zoom, atasan pakai kemeja berdasi, bawahan cuma pakai celana futsal. Termasuk yang nulis ini. Keh keh keh.
“Siap, Tadz!” jawab anak-anak. “Aman.”
Prosesi wisuda pun dimulai. Tugasku sebagai pembawa acara kali ini ‘hanya’ membacakan nama wisudawan. Mengapa kata hanya aku beri tanda petik? Karena tugas itu sepertinya mudah, tapi tak semudah yang dibayangkan. Ada 99 anak yang harus aku sebut nama lengkapnya + nama bapaknya. Untuk 10 siswa pertama aku masih benar mengucapkan nama-namanya, namun setelah siswa ke 30, konsentrasiku mulai ambyar. Mungkin gejala sudah siang, atau bisa jadi karena lupa sarapan.
Yang seharusnya terucap, “Ahmad Rif’ad putra Bapak Abu Bakar.” Malah terucap, “Ahmad Rif’ad PUTRI Bapak Abu Bakar.”
Untungnya, si Ahmad Rif’ad anaknya sabar, dia cuma tersenyum di depan laptop ketika aku meminta maaf.
Kesalahan yang paling fatal adalah ketika aku menyebutkan nama salah satu murid laki-laki. Panggilannya Bintang. Karena nama anak zaman now biasanya panjang, aku hampir tidak pernah menghafal nama lengkap murid. Cukup nama panggilannya saja. Jadi, setelah sejenak membaca nama lengkap Bintang di kertas yang ada di tangan, aku segera memanggilnya dengan penuh semangat,
“Bintang Ramadhan Putra Choiii!” kataku dengan heboh biar gak ngantuk gitu niatnya.
Wali kelas si Bintang langsung datang padaku, “Choirudin, Tadz. Kurang lengkap manggilnya.”
“Loh, iya tah, Tadz?” aku melongo. Melas.
Tampak, guru-guru lain menatapku dengan tatapan, “Mulai sekarang jangan ngaku kenal aku, Tadz.” Operator audio tak kuasa menahan tawa. Dia ngikik tak henti-henti. Kulihat pula kepala sekolah geleng-geleng kepala sambil menepuk dahi. Mungkin di hati beliau berkata, “Siapa yang dulu ngusulin Fitrah jadi MC di acara sepenting ini?”
“Tapi di daftar namanya Bintang Ramadhan Putra Choi, Tadz.” Aku menunjukkan nama lengkapnya di daftar panggil ke wali kelas. Mencoba cari pembenaran.
“Itu kepotong, Tadz.” Ia menunjuk power point di laptop, “bukan Choi, tapi Choirudin. Ustadz Fitrah baca daftar nama yang di power point saja.”
Aku memejamkan mata. Duh, malu banget. Akhirnya aku meminta maaf lagi secara terbuka, saat itu aku bilang pakai mic, “Maaf Mas Bintang. Tadi ustadz salah sebut. Harusnya Choirudin, tapi malah dipotong jadi Choi saja. Maaf ya, Mas.”
Di depan layar, si Bintang tersenyum, mengangguk dan menyodorkan jempolnya padaku. Ah, anak sholeh.
Oke, kita baikan lagi ya, Coy!
****
Surabaya, 05 Juli 2020
Fitrah Ilhami
Penulis 10 buku keluarga
Yang mau pesan, inboks aja fanspage facebooknya
www.facebook.com/fitrahilhamii
Diubah oleh mfitrahilhami 05-07-2020 13:02


bukhorigan memberi reputasi
1
255
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan