- Beranda
- Komunitas
- Hobby
- Supranatural
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke XIII Target dan Sasaran


TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke XIII Target dan Sasaran
“Mihh ketoange cai Yu? (dibegitukan kamu Yu?)”, Bli Darmawangsa melihatku dengan tatapan tidak percaya, aku mengangguk dalam lamunanku.
“Cing bren**ek, tidak punya hati itu cewek!!”, Bima berteriak kesal, melempar kencang kulit kacang ke lantai papan Poskamling.
Nakula mengaguk setuju dengan ucapan Bima, kemudain dia minum sisa tuak yang masih tersisa di gelas plastik, “Yu!, cai to suba dadiange cara sampi ngedeng lampit! (kamu itu sudah dijadikan sapi penarik bajak), udah kerja capek, narik beban, kotor kena lumpur, isi dipecut lagi, setelah ada hasil dia makan nasinya kamu cuma makan jeraminya!”, perumpamaan dari Nakula memang benar menggambarkan diriku sebagai orang bodoh yang gampang diperalat.
“Beneh mula sambat semeton jak makejang (benar memang apa yang kalian bilang), aku tidak bisa matilesang dewek (tau diri), terlalu tinggi niatku menggapai bulan”, Sangkuni menepuk pundaku.
“Semua ini salahku, kalau saja diawal tidak Chat cewek Bang**t itu pasti tidak bakal begini”, Sangkuni merasa paling bersalah atas kejadian yang aku alami, aku tersenyum dan balik menepuk pundaknya.
“Ci sing ada pelih (kamu tidak ada salah), justru aku bersyukur dengan kejadian ini aku bisa punya pengalaman yang berharga bahwa,...”, aku terhenti tidak sanggup mengucapkan kata lanjutanya yang tersa sangat memilukan untuk diucapkan.
“Sudah..sudah..sudah kawan..”, teman2ku menepuk pundaku, memberi dukungan yang berharga bagiku.
“Terus sudah kamu blokir dia?”, Nakula bertanya, aku menggeleng “Belum, aku blokir sekarang saja”, HP digenggamanku bercahaya dengan kunci layar bergambar Chat-nya yang selalu membuatku ingat akan kemarahanya.
“Udah blokir saja!, ngapain kamu nyimpan nomer tidak penting begitu!”, Bima sangat kesal dengan garang merebut posel ditanganku.
“Nden malu! (sebentar dulu!), ngudian ci milu gedeg!? (ngapain kamu ikut marah!?)”, Bima terhenti dari aktifitas carinya mencari App WA, “kalo memang Wahyu tidak bersalah, tidak usah di blokir!”, ucapan bli Yudistira membuat semuanya memandangnya.
“Justru Wahyu bakal diangap pengecut yang lari karena sudah gagal mendapatkan cewek itu, dengan begitu Wahyu malah secara tidak langsung mengakui perbuatan yang tidak dia lakukan!, biarkan saja jangan di blokir, biar karma yang membalasnya!”, nasihat Bli Yudistira ada benarnya, Bima mengangguk mengembalikan ponsel padaku.
“Sudahlah kawan!”, Sangkuni menuangkan isi jerigen ke gelas, dan memberikan gelasnya padaku, “Mungkin belum ada cinta yang sejati untukmu”, ucapnya kembali, aku tersenyum menerima gelas terisi penuh.
Aku tersenyum lebar menagkat gelas itu memandangi satu2 sahabatku yang duduk melingkar, “Maafkan aku beberapa hari yang telah lalu melupakan kalian!”, mera kersenym lebar mendengar ucapanku, “Sekarang tidak akan ada lagi wanita yang bisa membutakanku!!”. Aku habiskan isi gelas itu dan melemparkannya ke Sangkuni yang dengan cepat diat tangkap.
“Eahhhhh!!!, hidup sang Arjuna!!, hidupp!!, hidup!!!”, gema teriakan mereka membuatku tertawa melupakan semua masalahku, meski sejatinya tidak sedikitpun bisa membuatku melupanakan dia.
***************
Odik terlihat tetap bingung mendengar cerita aneh dari Wahyu sang Arjuna yang aku rasa lebih tamvan aku darinya yang KW super, iya Wahyu menjadi tokoh protagonis, aku hanya manggut saja, jelas dia jadi orang baik, kan yang menceritakan juga didrinya sendiri, mana mungkin menceritakan kejelekan sendiri didepan orang lain, apalagi musuh yang sempat menghajarmu babak belur.
“Kalo selemah itu cerita kamu, kenapa bisa Mira berada dirumahmu?”, aku menjadi semakin penasaran akan ceritanya, pikiranku melayang membayangkan setiap adegan dari ucapanya dikepalaku, ini pasti seru.
“Iya, kenapa bisa?, apa karena sabukumu itu!?, apa kekuatan didalamnya?!”, Odik sepemikiran denganku mengenai sabuk yang masih melingkar dipinggang Wahyu, tapi sekarang terbalik celana yang mengikat sabuknya.
“Ini?,”, Wahyu menarik bajunya memperlihatkan sabuk yang ia pakai, “Aku tidak tau apa fungsi sesungguhnya, cuma ini sering macet sehingga susah aku buka,tapi..”, Wahyu memaksakan membukanya dengan paksa hingga sela2 kuku jarinya mengeluarkan darah. Setelah terlepas, sabuk itu dia serahkan kepada Odik.
“Kalo menurutmu ini penyebabnya, pakailah!”, Odik dengaan ragu mengambilnya menatap seksama tulisan yang ternyata begitu banyak tersembunyi di balik sabuk, kemudian Odik melilitkan sabuk itu di gengaman tangan kananya.
“Sabuk itu banyak membantuku, bukan untuk mendapatkan pacarmu, tapi untuk melihat siapa musuhnya”, aku dan Odik terkejut mendengar ucapannya, “Awalnya aku sama denganmu menganggap pacarmu gila. Halusinasi dan sebagainya, sampai aku melihatnya, sosok mengegrikan itu..” Wahyu terhenti raut wajahnya berubah ketakutan, begitu juga aku yang kembali teringat bahwa diskusi kami di sebelah kuburan.
“Dia ada dan nyata!”, lanjutan kata si Wahyu, aku dan Odik saling memandang dan mengangguk, “Bagaimana kamu melihatnya?”, Odik meotong perkataan Wahyu.
Wahyu menelan ludah, darah di bibir dan hidungnya sudah mengering, “setelah Mira menuduhku, hampir lebih 2 minggu dari kejadian itu sepenuhnya aku sudah bisa perlahan melupakannya, meski sulit untuku coba, beberapa kali pacarmu mencoba menghubungiku, juga Chat permohonan maaf, tapi setiap aku membuka kunci layar yang terpampang Screen Shoot Chat-nya yang dulu, selalu membuatku marah dan emosi untuk menanggapi Chat dan telfonnya, bagiku sosok gadis baik dan ramah sudah hilang darinya”, Odik megeratkan gigi mendengar ucapan Wahyu, aku tau dia paling benci ketika orang lain menjelekkan pacarnya.
“Hari itu kajeng kliwon, ibuku menghilang keseluruh tempat aku cari, senja semakin berlalu menyisakan petang, meski enggan terpaksa juga aku mencari ke rumahnya Mira berharap ibuku mencari bunga disana, tapi yang ku temui tidak ada siapapun saat motorku melambat didpan rumahnya sampai tiba2...”
*********
“Kriit!”, motorku terpaksa berhenti, ketika sesesok tubuh melompat dari trotoar menghadang.
“Kak Wahyu!”, pekikan kecil seorang gadis merentangkan tangan menghalangi lajuku, matanya memicing silau terkena sorot cahaya lampu motorku.
Aku membuang muka selah tidak melihat Mira yang berdiri disana, aku gas motor mengarahkan lagu kesebelahnya, tapi dia justru bergeser menghalangi lagi.
“Kak Wahyu tunggu!”, sekarang dia melangkah maju memgang lampu motorku kemudian memutar kuci dan mencabutnya.
Motorku tak berdaya tanpa kunci yang kini sudah ada di genggamnannya, “Kamu mau apa?”, tanyaku dengan agak jengkel dengan sikapnya yang memperlambat tujuan utamaku.
Motor itu aku dorong ketepi, kemudian ku Standar, beranjak melangkah kehadapan gadis yang memakiku dulu didepan orang banyak.
Raut wajahnya memelas langkah kakinya mundur beberapa langkah ketakutan akan langkah tegakku yang semakan mendekat padanya dia anggap sebagai pertanda tidak terima dengan perlakuanya dulu.
“Aku minta maaf”, ucapnya lagi padaku yang kini berada tepat didhadapannya, mataku datar menatap matanya, tidak ada rasa malu dan gugup yang pernah aku rasakan ketika bertemu dengannya disini dulu.
Aku hanya terdiam tanpa ekspresi, dia yang kini mulai gugup berkada padaku, “Maaf kata2ku mungkin nyakitin hati kamu”, dia kembali menatapku dengan wajah bersalah, aku tersenyum sinis mendengar seberkas kata ‘mungkin’ yang dia ucapakan.
Perlahan tanganku mengadah di hadapannya, yang tentunya dia paham apa yang aku inginkan, “Aku nggak bakal ngasi sebelum kamu maafin!”, kedua tangannya erat menggenggam kuncu di dadanya.
Aku tetap diam dengan posisi yang sama sampai dia pasrah, diletakannya kunci keatas telapak tanganku, segera ku genggam berbalik ke motorku. Sampai terpaksa aku berhenti ketika tanganya memegang lenganku, terpaksa aku berbalik badan meski enggan melihat wajahnya lagi.
“Aku mohon, bantulah aku sekali lagi”, bisiknya padaku, dulu mungkin saja aku akan membahas tentang pacarnya bila ekspresinya seperti sekarang ini, tapi aku sudah muak berpura2 bahagia.
“Dia mau membunuh keluargaku juga!”, Mira menarik lenganku memaksa agar aku mendengarnya, mendengar cerita tentang ‘Dia’ tokoh karangannya yang menjadi penyebab aku dituduhnya dulu.
“Mbok (kak) Mira”, sebuah pangilan terdengar, seorang remaja keluar dari gerbang besi, Mira melepaskan lenganku.
“Bli (kak) Wahyu!, eh! kebetulan ibunya Bli Wahyu tadi disini, ba atehin yang mulih mara (sudah aku antar pulang tadi)”, adiknya Mira terkejut melihatku, mendengar ucapannya aku tersenyum lega mengetahui kabar ibuku.
“Suksema banget nah (terimakasi banyak ya)”, aku tersenym kearah adiknya Mira yang memang sangat baik hubungannya denganku.
“Oke santai gen (aja) Bli!, oh aja (oh iya)!!, mbok Mira disuruh masuk bantuin bapak bikin Powerpoint", Mira tidak menjawab, membalik badan dan berjalan menuju motor ku, aku ingin segera pulang.
“Diolas, tulungin tiang! (mohon, bantulah saya!)”, ucapan Mira yang benar2 menyentuh perasaaanku tapi aku tidak mau lagi menjadi keledai bodoh yang masuk lubang yang sama untuk keduakalinya, tetapi caraku menolak ini terlalu kejam, kalo aku menolak harus secara halus, begitu yang diajarkan ibuku, pelajaran tata kerama yang memaksa membuat aku menoleh kebelakang.
“Tolong keluargaku!”, aku melihat Mira yang melangkah gontai perlahan kearahku.
“Kakak kenapa sih?”,aku lihat adiknya berdiri di tepi trotoar, menggaruk kepala kebingunangan dengan ucapan Mira.
“Kleng!! (sial!!)” suara umpatan itu tidak bisa aku tahan keluar dari mulut, kakiku lemas bergetar hebat, kunci motor ditanganku terjatuh, mataku aku paksakan berkedip, mencoba menghilangkan debu yang seandainya ada disana ketika aku melihat bukan hanya ada 3 orang ditepi jalan sepi ini.
Bersambung.....
“Cing bren**ek, tidak punya hati itu cewek!!”, Bima berteriak kesal, melempar kencang kulit kacang ke lantai papan Poskamling.
Nakula mengaguk setuju dengan ucapan Bima, kemudain dia minum sisa tuak yang masih tersisa di gelas plastik, “Yu!, cai to suba dadiange cara sampi ngedeng lampit! (kamu itu sudah dijadikan sapi penarik bajak), udah kerja capek, narik beban, kotor kena lumpur, isi dipecut lagi, setelah ada hasil dia makan nasinya kamu cuma makan jeraminya!”, perumpamaan dari Nakula memang benar menggambarkan diriku sebagai orang bodoh yang gampang diperalat.
“Beneh mula sambat semeton jak makejang (benar memang apa yang kalian bilang), aku tidak bisa matilesang dewek (tau diri), terlalu tinggi niatku menggapai bulan”, Sangkuni menepuk pundaku.
“Semua ini salahku, kalau saja diawal tidak Chat cewek Bang**t itu pasti tidak bakal begini”, Sangkuni merasa paling bersalah atas kejadian yang aku alami, aku tersenyum dan balik menepuk pundaknya.
“Ci sing ada pelih (kamu tidak ada salah), justru aku bersyukur dengan kejadian ini aku bisa punya pengalaman yang berharga bahwa,...”, aku terhenti tidak sanggup mengucapkan kata lanjutanya yang tersa sangat memilukan untuk diucapkan.
“Sudah..sudah..sudah kawan..”, teman2ku menepuk pundaku, memberi dukungan yang berharga bagiku.
“Terus sudah kamu blokir dia?”, Nakula bertanya, aku menggeleng “Belum, aku blokir sekarang saja”, HP digenggamanku bercahaya dengan kunci layar bergambar Chat-nya yang selalu membuatku ingat akan kemarahanya.
“Udah blokir saja!, ngapain kamu nyimpan nomer tidak penting begitu!”, Bima sangat kesal dengan garang merebut posel ditanganku.
“Nden malu! (sebentar dulu!), ngudian ci milu gedeg!? (ngapain kamu ikut marah!?)”, Bima terhenti dari aktifitas carinya mencari App WA, “kalo memang Wahyu tidak bersalah, tidak usah di blokir!”, ucapan bli Yudistira membuat semuanya memandangnya.
“Justru Wahyu bakal diangap pengecut yang lari karena sudah gagal mendapatkan cewek itu, dengan begitu Wahyu malah secara tidak langsung mengakui perbuatan yang tidak dia lakukan!, biarkan saja jangan di blokir, biar karma yang membalasnya!”, nasihat Bli Yudistira ada benarnya, Bima mengangguk mengembalikan ponsel padaku.
“Sudahlah kawan!”, Sangkuni menuangkan isi jerigen ke gelas, dan memberikan gelasnya padaku, “Mungkin belum ada cinta yang sejati untukmu”, ucapnya kembali, aku tersenyum menerima gelas terisi penuh.
Aku tersenyum lebar menagkat gelas itu memandangi satu2 sahabatku yang duduk melingkar, “Maafkan aku beberapa hari yang telah lalu melupakan kalian!”, mera kersenym lebar mendengar ucapanku, “Sekarang tidak akan ada lagi wanita yang bisa membutakanku!!”. Aku habiskan isi gelas itu dan melemparkannya ke Sangkuni yang dengan cepat diat tangkap.
“Eahhhhh!!!, hidup sang Arjuna!!, hidupp!!, hidup!!!”, gema teriakan mereka membuatku tertawa melupakan semua masalahku, meski sejatinya tidak sedikitpun bisa membuatku melupanakan dia.
***************
Odik terlihat tetap bingung mendengar cerita aneh dari Wahyu sang Arjuna yang aku rasa lebih tamvan aku darinya yang KW super, iya Wahyu menjadi tokoh protagonis, aku hanya manggut saja, jelas dia jadi orang baik, kan yang menceritakan juga didrinya sendiri, mana mungkin menceritakan kejelekan sendiri didepan orang lain, apalagi musuh yang sempat menghajarmu babak belur.
“Kalo selemah itu cerita kamu, kenapa bisa Mira berada dirumahmu?”, aku menjadi semakin penasaran akan ceritanya, pikiranku melayang membayangkan setiap adegan dari ucapanya dikepalaku, ini pasti seru.
“Iya, kenapa bisa?, apa karena sabukumu itu!?, apa kekuatan didalamnya?!”, Odik sepemikiran denganku mengenai sabuk yang masih melingkar dipinggang Wahyu, tapi sekarang terbalik celana yang mengikat sabuknya.
“Ini?,”, Wahyu menarik bajunya memperlihatkan sabuk yang ia pakai, “Aku tidak tau apa fungsi sesungguhnya, cuma ini sering macet sehingga susah aku buka,tapi..”, Wahyu memaksakan membukanya dengan paksa hingga sela2 kuku jarinya mengeluarkan darah. Setelah terlepas, sabuk itu dia serahkan kepada Odik.
“Kalo menurutmu ini penyebabnya, pakailah!”, Odik dengaan ragu mengambilnya menatap seksama tulisan yang ternyata begitu banyak tersembunyi di balik sabuk, kemudian Odik melilitkan sabuk itu di gengaman tangan kananya.
“Sabuk itu banyak membantuku, bukan untuk mendapatkan pacarmu, tapi untuk melihat siapa musuhnya”, aku dan Odik terkejut mendengar ucapannya, “Awalnya aku sama denganmu menganggap pacarmu gila. Halusinasi dan sebagainya, sampai aku melihatnya, sosok mengegrikan itu..” Wahyu terhenti raut wajahnya berubah ketakutan, begitu juga aku yang kembali teringat bahwa diskusi kami di sebelah kuburan.
“Dia ada dan nyata!”, lanjutan kata si Wahyu, aku dan Odik saling memandang dan mengangguk, “Bagaimana kamu melihatnya?”, Odik meotong perkataan Wahyu.
Wahyu menelan ludah, darah di bibir dan hidungnya sudah mengering, “setelah Mira menuduhku, hampir lebih 2 minggu dari kejadian itu sepenuhnya aku sudah bisa perlahan melupakannya, meski sulit untuku coba, beberapa kali pacarmu mencoba menghubungiku, juga Chat permohonan maaf, tapi setiap aku membuka kunci layar yang terpampang Screen Shoot Chat-nya yang dulu, selalu membuatku marah dan emosi untuk menanggapi Chat dan telfonnya, bagiku sosok gadis baik dan ramah sudah hilang darinya”, Odik megeratkan gigi mendengar ucapan Wahyu, aku tau dia paling benci ketika orang lain menjelekkan pacarnya.
“Hari itu kajeng kliwon, ibuku menghilang keseluruh tempat aku cari, senja semakin berlalu menyisakan petang, meski enggan terpaksa juga aku mencari ke rumahnya Mira berharap ibuku mencari bunga disana, tapi yang ku temui tidak ada siapapun saat motorku melambat didpan rumahnya sampai tiba2...”
*********
“Kriit!”, motorku terpaksa berhenti, ketika sesesok tubuh melompat dari trotoar menghadang.
“Kak Wahyu!”, pekikan kecil seorang gadis merentangkan tangan menghalangi lajuku, matanya memicing silau terkena sorot cahaya lampu motorku.
Aku membuang muka selah tidak melihat Mira yang berdiri disana, aku gas motor mengarahkan lagu kesebelahnya, tapi dia justru bergeser menghalangi lagi.
“Kak Wahyu tunggu!”, sekarang dia melangkah maju memgang lampu motorku kemudian memutar kuci dan mencabutnya.
Motorku tak berdaya tanpa kunci yang kini sudah ada di genggamnannya, “Kamu mau apa?”, tanyaku dengan agak jengkel dengan sikapnya yang memperlambat tujuan utamaku.
Motor itu aku dorong ketepi, kemudian ku Standar, beranjak melangkah kehadapan gadis yang memakiku dulu didepan orang banyak.
Raut wajahnya memelas langkah kakinya mundur beberapa langkah ketakutan akan langkah tegakku yang semakan mendekat padanya dia anggap sebagai pertanda tidak terima dengan perlakuanya dulu.
“Aku minta maaf”, ucapnya lagi padaku yang kini berada tepat didhadapannya, mataku datar menatap matanya, tidak ada rasa malu dan gugup yang pernah aku rasakan ketika bertemu dengannya disini dulu.
Aku hanya terdiam tanpa ekspresi, dia yang kini mulai gugup berkada padaku, “Maaf kata2ku mungkin nyakitin hati kamu”, dia kembali menatapku dengan wajah bersalah, aku tersenyum sinis mendengar seberkas kata ‘mungkin’ yang dia ucapakan.
Perlahan tanganku mengadah di hadapannya, yang tentunya dia paham apa yang aku inginkan, “Aku nggak bakal ngasi sebelum kamu maafin!”, kedua tangannya erat menggenggam kuncu di dadanya.
Aku tetap diam dengan posisi yang sama sampai dia pasrah, diletakannya kunci keatas telapak tanganku, segera ku genggam berbalik ke motorku. Sampai terpaksa aku berhenti ketika tanganya memegang lenganku, terpaksa aku berbalik badan meski enggan melihat wajahnya lagi.
“Aku mohon, bantulah aku sekali lagi”, bisiknya padaku, dulu mungkin saja aku akan membahas tentang pacarnya bila ekspresinya seperti sekarang ini, tapi aku sudah muak berpura2 bahagia.
“Dia mau membunuh keluargaku juga!”, Mira menarik lenganku memaksa agar aku mendengarnya, mendengar cerita tentang ‘Dia’ tokoh karangannya yang menjadi penyebab aku dituduhnya dulu.
“Mbok (kak) Mira”, sebuah pangilan terdengar, seorang remaja keluar dari gerbang besi, Mira melepaskan lenganku.
“Bli (kak) Wahyu!, eh! kebetulan ibunya Bli Wahyu tadi disini, ba atehin yang mulih mara (sudah aku antar pulang tadi)”, adiknya Mira terkejut melihatku, mendengar ucapannya aku tersenyum lega mengetahui kabar ibuku.
“Suksema banget nah (terimakasi banyak ya)”, aku tersenym kearah adiknya Mira yang memang sangat baik hubungannya denganku.
“Oke santai gen (aja) Bli!, oh aja (oh iya)!!, mbok Mira disuruh masuk bantuin bapak bikin Powerpoint", Mira tidak menjawab, membalik badan dan berjalan menuju motor ku, aku ingin segera pulang.
“Diolas, tulungin tiang! (mohon, bantulah saya!)”, ucapan Mira yang benar2 menyentuh perasaaanku tapi aku tidak mau lagi menjadi keledai bodoh yang masuk lubang yang sama untuk keduakalinya, tetapi caraku menolak ini terlalu kejam, kalo aku menolak harus secara halus, begitu yang diajarkan ibuku, pelajaran tata kerama yang memaksa membuat aku menoleh kebelakang.
“Tolong keluargaku!”, aku melihat Mira yang melangkah gontai perlahan kearahku.
“Kakak kenapa sih?”,aku lihat adiknya berdiri di tepi trotoar, menggaruk kepala kebingunangan dengan ucapan Mira.
“Kleng!! (sial!!)” suara umpatan itu tidak bisa aku tahan keluar dari mulut, kakiku lemas bergetar hebat, kunci motor ditanganku terjatuh, mataku aku paksakan berkedip, mencoba menghilangkan debu yang seandainya ada disana ketika aku melihat bukan hanya ada 3 orang ditepi jalan sepi ini.
Bersambung.....


mastercasino88 memberi reputasi
1
558
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan