Kaskus

Entertainment

Noviaaaaa217Avatar border
TS
Noviaaaaa217
Selain Sajadah Panjang, Ini 5 Puisi Terbaik Taufiq Ismail

Selain Sajadah Panjang, Ini 5 Puisi Terbaik Taufiq Ismail

Taufiq Ismail

MATA INDONESIA, JAKARTA – Siapa yang tak kenal Taufiq Ismail. Dia adalah penyair dan sastrawan besar Tanah Air yang telah menelurkan banyak karya-karya hebat, terutama puisi-puisi yang lahir dari pikirannya yang tajam.


Penyair kelahiran 25 Juni 1935 ini sangat dihormati. Puisinya berjudul Sajadah Panjang sudah akrab bagi rakyat Indonesia.


Namun, selain Sajadah Panjang, masih ada beberapa puisi hebat karya Taufik Ismail, 5 di antaranya berikut ini.


1. Kembalikan Indonesia Padaku (Paris, 1971)


Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,


Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,


sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,


yang menyala bergantian,


Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam


dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,


Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam


karena seratus juta penduduknya,


Kembalikan Indonesia padaku


Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam


dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,


Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam


lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,


Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,


dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,


sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,


Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang


sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam


dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,


Kembalikan Indonesia padaku


Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam


dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,


Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam


karena seratus juta penduduknya,


Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,


sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,


Kembalikan Indonesia padaku.


2. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998)


I


Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga


Ke Wisconsin aku dapat beasiswa


Sembilan belas lima enam itulah tahunnya


Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia


Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia


Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda


Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,


Whitefish Bay kampung asalnya


Kagum dia pada revolusi Indonesia


Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya


Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama


Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya


Dadaku busung jadi anak Indonesia


Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy


Dan mendapat Ph.D. dari Rice University


Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army


Dulu dadaku tegap bila aku berdiri


Mengapa sering benar aku merunduk kini


II


Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak


Hukum tak tegak, doyong berderak-derak


Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,


Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza


Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia


Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata


Dan kubenamkan topi baret di kepala


Malu aku jadi orang Indonesia.


III


Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,


Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi


berterang-terang curang susah dicari tandingan,


Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu


dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek


secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,


senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan


peuyeum dipotong birokrasi


lebih separuh masuk kantung jas safari,


Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,


anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,


menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,


agar orangtua mereka bersenang hati,


Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum


sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas


penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,


Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan


sandiwara yang opininya bersilang tak habis


dan tak utus dilarang-larang,


Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata


supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,


Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,


ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,


sekarang saja sementara mereka kalah,


kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka


oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,


Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia


dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,


kabarnya dengan sepotong SK


suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,


Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,


lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,


Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,


fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,


Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat


jadi pertunjukan teror penonton antarkota


cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita


tak pernah bersedia menerima skor pertandingan


yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan


kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,


lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil


karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,


sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


Di negeriku ada pembunuhan, penculikan


dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,


Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,


Nipah, Santa Cruz dan Irian,


ada pula pembantahan terang-terangan


yang merupakan dusta terang-terangan


di bawah cahaya surya terang-terangan,


dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai


saksi terang-terangan,


Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,


tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang


menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.


IV


Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak


Hukum tak tegak, doyong berderak-derak


Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,


Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza


Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia


Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata


Dan kubenamkan topi baret di kepala


Malu aku jadi orang Indonesia.


3. Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini (1966)


Tidak ada pilihan lain


Kita harus


Berjalan terus


Karena berhenti atau mundur


Berarti hancur


Apakah akan kita jual keyakinan kita


Dalam pengabdian tanpa harga


Akan maukah kita duduk satu meja


Dengan para pembunuh tahun yang lalu


Dalam setiap kalimat yang berakhiran


Duli Tuanku ?¡


Tidak ada lagi pilihan lain


Kita harus


Berjalan terus


Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan


Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh


Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara


Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama


Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka


Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan


Dan seribu pengeras suara yang hampa suara


Tidak ada lagi pilihan lain


Kita harus


Berjalan terus.


4. Mencari Sebuah Mesjid (Jeddah, 1988)


Aku diberitahu tentang sebuah masjid


yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan


fondasinya batu karang dan pualam pilihan


atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan


dan kubahnya tembus pandang, berkilauan


digosok topan kutub utara dan selatan


Aku rindu dan mengembara mencarinya


Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan


dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran


dengan warna platina dan keemasan


berbentuk daun-daunan sangat beraturan


serta sarang lebah demikian geometriknya


ranting dan tunas jalin berjalin


bergaris-garis gambar putaran angin


Aku rindu dan mengembara mencarinya


Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya


menyentuh lapisan ozon


dan menyeru azan tak habis-habisnya


membuat lingkaran mengikat pinggang dunia


kemudian nadanya yang lepas-lepas


disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas


yang memperindah ratusan juta sajadah


di setiap rumah tempatnya singgah


Aku rindu dan mengembara mencarinya


Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana


bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya


engkau berjalan sampai waktu asar


tak bisa kau capai saf pertama


sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu


bershalatlah di mana saja


di lantai masjid ini, yang luas luar biasa


Aku rindu dan mengembara mencarinya


Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya


yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya


dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya


di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian


yang menyimpan cahaya matahari


kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan


ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna


di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta


terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita


Aku rindu dan mengembara mencarinya


Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya


tempat orang-orang bersila bersama


dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka


dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian


dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan


dalam simpul persaudaraan yang sejati


dalam hangat sajadah yang itu juga


terbentang di sebuah masjid yang mana


Tumpas aku dalam rindu


Mengembara mencarinya


Di manakah dia gerangan letaknya ?


Pada suatu hari aku mengikuti matahari


ketika di puncak tergelincir dia sempat


lewat seperempat kuadran turun ke barat


dan terdengar merdunya azan di pegunungan


dan aku pun melayangkan pandangan


mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan


ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan


dia berkata :


Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan¡


dia menunjuk ke tanah ladang itu


dan di atas lahan pertanian dia bentangkan


secarik tikar pandan


kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran


airnya bening dan dingin mengalir beraturan


tanpa kata dia berwudhu duluan


aku pun di bawah air itu menampungkan tangan


ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan


hangat air terasa, bukan dingin kiranya


demikianlah air pancuran


bercampur dengan air mataku


yang bercucuran.


5. Benteng (1966)


Sesudah siang panas yang meletihkan


Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas


Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung


Bersandar dan berbaring, ada yang merenung


Di lantai bungkus nasi bertebaran


Dari para dermawan tidak dikenal


Kulit duku dan pecahan kulit rambutan


Lewatlah di samping Kontingen Bandung


Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana


Semuanya kumal, semuanya tak bicara


Tapi kita tldak akan terpatahkan


Oleh seribu senjata dari seribu tiran


Tak sempat lagi kita pikirkan


Keperluan-keperluan kecil seharian


Studi, kamar-tumpangan dan percintaan


Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam


Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.


Sumber :



0
495
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan