- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Yang Berduka Masih Keluar Dana


TS
sumarnisaja
Yang Berduka Masih Keluar Dana
By Sumarni Saja
Sudah dua minggu ini, Doni dirawat di rumah sakit karena sakit gigi. Semakin hari gusinya semakin membengkak dan mengeluarkan nanah. Berbagai upaya dilakukan untuk menyembuhkannya, termasuk mencabut gigi bagian atas yang sakit. Namun, semua tak membuahkan hasil, yang ada sakitnya semakin parah. Sampai akhirnya Doni harus menjalani operasi.
Hingga Allah lebih menyayanginya. Doni meninggal dunia di usianya yang masih terbilang muda, yakni 35 tahun. Sungguh, duka mendalam bagi istri dan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Anak sulungnya baru kelas dua SMP, sedangkan yang bungsu baru berumur empat bulan.
Sri seakan tak percaya suaminya pergi secepat itu. Berkali-kali dia hilang kesadaran. Tak berbeda jauh dengan Sri, ketiga anak mereka juga menangis histeris. Tidak percaya bapaknya telah berpulang.
Satu persatu para pelayat hadir tak lupa mereka memberikan amplop tanpa nama yang berisi uang duka. Nominalnya antara dua ribu sampai sepuluh ribuan.
"Mbak Sri, maaf kami mau meminta uang buat belanja kebutuhan selamatan nanti," bisik Parti, tetangga yang rumahnya paling dekat dengan Sri.
Sri menghapus air matanya, mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Parti.
Setelah berbasa-basi sebentar Parti pamit untuk berbelanja dan menyiapkan segala keperluan pemakaman.
Bekali-kali Sri harus menarik uang di dompetnya untuk keperluan dan membayar beberapa orang yang membantu pemakaman suaminya.
Selama tujuh hari berturut-turut Sri juga harus menyiapkan jamuan untuk acara Yasinan dan Tahlilan serta beberapa bungkus rokok untuk mereka yang hadir dalam acara tersebut. Juga membuat slametan, padahal jika dihitung-hitung dananya lumayan. Selanjutnya di hari ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan hari ke-1000 harus melakukan hal yang sama.
Sri sendiri hanya bekerja sebagai penjahit rumahan. Pendapatannya tidak menentu. Ditambah lagi dia harus berhutang puluhan juta untuk biaya rumah sakit suaminya beberapa waktu yang lalu. Belum lagi, kini dia harus berjuang seorang diri membiayai kebutuhan keempat orang anaknya.
Terkadang kebiasaan(adat) justru memberatkan mereka yang tengah berduka. Kalau tidak mengikuti tradisi akan menjadi bahan omongan, kalau mengikuti tradisi dana pas-pasan. Padahal dalam agama, Allah memerintahkan agar kita datang melayat untuk menghibur dan memberikan makanan serta membantu mereka yang tengah berduka.
Namun, dalam tradisi kita malah sebaliknya yang berduka malah yang menyediakan makanan untuk yang melayat.
Itulah kenapa dalam Islam tidak ada ajaran Yasinan dan Tahlilan untuk orang yang sudah meninggal walaupun tujuannya baik. Karena agama Islam itu memudahkan bukan memberatkan. Walaupun keluarga saya sendiri masih mengadakannya.
Padahal kalau kita analisis mereka yang berduka lebih membutuhkan dana dibanding mereka yang hajatan. Kalau hajatan 'kan sudah pasti ada persiapan, sangat berbeda dengan yang tertimpa musibah. Tapi, kenapa amplop duka nominalnya lebih rendah dari amplop hajatan? Apa karena kalau uang duka itu dianggap bukan hutang sedangkan uang hajatan itu dianggap hutang yang nantinya akan kembali? Entahlah saya sendiri juga tidak tahu.
Sungguh, tradisi yang terkadang membuat saya bertanya-tanya. Padahal yang saya tahu, hendaklah kita meringankan beban saudara kita yang tengah berduka karena begitulah yang agama kita ajarkan.
Catatan: saya menulis berdasarkan apa yang terjadi di daerah itu adat kebiasaan mungkin berbeda di tempat lain.
Sudah dua minggu ini, Doni dirawat di rumah sakit karena sakit gigi. Semakin hari gusinya semakin membengkak dan mengeluarkan nanah. Berbagai upaya dilakukan untuk menyembuhkannya, termasuk mencabut gigi bagian atas yang sakit. Namun, semua tak membuahkan hasil, yang ada sakitnya semakin parah. Sampai akhirnya Doni harus menjalani operasi.
Hingga Allah lebih menyayanginya. Doni meninggal dunia di usianya yang masih terbilang muda, yakni 35 tahun. Sungguh, duka mendalam bagi istri dan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Anak sulungnya baru kelas dua SMP, sedangkan yang bungsu baru berumur empat bulan.
Sri seakan tak percaya suaminya pergi secepat itu. Berkali-kali dia hilang kesadaran. Tak berbeda jauh dengan Sri, ketiga anak mereka juga menangis histeris. Tidak percaya bapaknya telah berpulang.
Satu persatu para pelayat hadir tak lupa mereka memberikan amplop tanpa nama yang berisi uang duka. Nominalnya antara dua ribu sampai sepuluh ribuan.
"Mbak Sri, maaf kami mau meminta uang buat belanja kebutuhan selamatan nanti," bisik Parti, tetangga yang rumahnya paling dekat dengan Sri.
Sri menghapus air matanya, mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Parti.
Setelah berbasa-basi sebentar Parti pamit untuk berbelanja dan menyiapkan segala keperluan pemakaman.
Bekali-kali Sri harus menarik uang di dompetnya untuk keperluan dan membayar beberapa orang yang membantu pemakaman suaminya.
Selama tujuh hari berturut-turut Sri juga harus menyiapkan jamuan untuk acara Yasinan dan Tahlilan serta beberapa bungkus rokok untuk mereka yang hadir dalam acara tersebut. Juga membuat slametan, padahal jika dihitung-hitung dananya lumayan. Selanjutnya di hari ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan hari ke-1000 harus melakukan hal yang sama.
Sri sendiri hanya bekerja sebagai penjahit rumahan. Pendapatannya tidak menentu. Ditambah lagi dia harus berhutang puluhan juta untuk biaya rumah sakit suaminya beberapa waktu yang lalu. Belum lagi, kini dia harus berjuang seorang diri membiayai kebutuhan keempat orang anaknya.
Terkadang kebiasaan(adat) justru memberatkan mereka yang tengah berduka. Kalau tidak mengikuti tradisi akan menjadi bahan omongan, kalau mengikuti tradisi dana pas-pasan. Padahal dalam agama, Allah memerintahkan agar kita datang melayat untuk menghibur dan memberikan makanan serta membantu mereka yang tengah berduka.
Namun, dalam tradisi kita malah sebaliknya yang berduka malah yang menyediakan makanan untuk yang melayat.
Itulah kenapa dalam Islam tidak ada ajaran Yasinan dan Tahlilan untuk orang yang sudah meninggal walaupun tujuannya baik. Karena agama Islam itu memudahkan bukan memberatkan. Walaupun keluarga saya sendiri masih mengadakannya.
Padahal kalau kita analisis mereka yang berduka lebih membutuhkan dana dibanding mereka yang hajatan. Kalau hajatan 'kan sudah pasti ada persiapan, sangat berbeda dengan yang tertimpa musibah. Tapi, kenapa amplop duka nominalnya lebih rendah dari amplop hajatan? Apa karena kalau uang duka itu dianggap bukan hutang sedangkan uang hajatan itu dianggap hutang yang nantinya akan kembali? Entahlah saya sendiri juga tidak tahu.
Sungguh, tradisi yang terkadang membuat saya bertanya-tanya. Padahal yang saya tahu, hendaklah kita meringankan beban saudara kita yang tengah berduka karena begitulah yang agama kita ajarkan.
Catatan: saya menulis berdasarkan apa yang terjadi di daerah itu adat kebiasaan mungkin berbeda di tempat lain.
Diubah oleh sumarnisaja 25-06-2020 13:35


bukhorigan memberi reputasi
1
517
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan