- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cerita Cinta


TS
syerrilelizhafa
Cerita Cinta
(Prosa)
1. Biar Berdiam
Mungkin benar, cinta seorang wanita adalah miliknya sendiri. Bertunas tanpa kata, cahaya, juga wujud nyata. Acapkali angan bersepakat dengan harap cemas, merampas embun yang pesona dari kejauhan. Balasan adalah pamrih dari permainan yang dicipta sendiri, luka pun mendebit sumpah akan kasih tak sampai tergambar lugas.
Meski gemintang berkedip-kedip dengan sindir paling logis, perihal jarak serta ketidaksempurnaan pujaan, abai merupa kebaikan pilihan akhir dari yang bisa terjangkau lembut hati. Entah, siapa paling parasit merasa butuh tersentuh sebagai satu pelabuhan.
Menyakitkan!
Penderitaan!
Cinta!
Oh sebagian pendar di mata mulai kusut masai oleh redup yang mengulur jatuh dari sungkan. Aku tidak mungkin mengungkap resah, aku tidak bisa palingkan ia yang bebas bersayap keemasan supaya sedikit melihat syair-syair tentang jatuh hati dalam diam. Ada sekat menjaga harga diri, kerap diwanti ibu sebagai keharusan langkah tanpa setandan sanggah.
Bukankah sakit dan sikap bodoh adalah mutlak yang ditentukan?
Angin berdiam menatap kekacauan dilema hati, berkaca-kaca sebab seteru lingkup mimpi siang menuju malam. Biar, kali ini ingin tetap jatuh hati tanpa sepengetahuan siapapun.
Ponorogo, 22 Juni 2020

2. Parasit!
Entah sudah berapa awan urung jadi hujan yang kau ceritakan. Di sela pesan selalu terselip resah, letih mengharap, atau isak yang menyesak. Di sendamu aku hilang, sebelum sempat mencicipi uapnya.
Kau menyebutku karib paling mengerti, sebab sekodi saran membebat retak nadimu, selalu. Beruntun terima kasih acapkali rumit ditelaah, tiada sedikitpun memahami kondisi gempar dalam dada. Hanya tahu diri sendiri serta caranya terbebas dan dibebaskan.
Aku hidup dengan parasit. Harus berbagi udara, makanan, tempat tinggal, tanpa secuil pengertian. Ingin terlepas sedetik, serba salah dengan suara penenun iba dari hatimu.
Kuputuskan menghindar diam-diam, mencari celah pergi dari rapat penjagaan. Biar saja rusak karib, biar saja terhakimi munafik. Aku pun butuh udara baru, butuh sekedip mata mengundang hujan leburkan bosan.
Selalu, kau memahat keluhku setengah hati, dan aku harus sedia setandan waktu di setiap inci keinginanmu.
Ponorogo, 1 Mei 2019

1. Biar Berdiam
Mungkin benar, cinta seorang wanita adalah miliknya sendiri. Bertunas tanpa kata, cahaya, juga wujud nyata. Acapkali angan bersepakat dengan harap cemas, merampas embun yang pesona dari kejauhan. Balasan adalah pamrih dari permainan yang dicipta sendiri, luka pun mendebit sumpah akan kasih tak sampai tergambar lugas.
Meski gemintang berkedip-kedip dengan sindir paling logis, perihal jarak serta ketidaksempurnaan pujaan, abai merupa kebaikan pilihan akhir dari yang bisa terjangkau lembut hati. Entah, siapa paling parasit merasa butuh tersentuh sebagai satu pelabuhan.
Menyakitkan!
Penderitaan!
Cinta!
Oh sebagian pendar di mata mulai kusut masai oleh redup yang mengulur jatuh dari sungkan. Aku tidak mungkin mengungkap resah, aku tidak bisa palingkan ia yang bebas bersayap keemasan supaya sedikit melihat syair-syair tentang jatuh hati dalam diam. Ada sekat menjaga harga diri, kerap diwanti ibu sebagai keharusan langkah tanpa setandan sanggah.
Bukankah sakit dan sikap bodoh adalah mutlak yang ditentukan?
Angin berdiam menatap kekacauan dilema hati, berkaca-kaca sebab seteru lingkup mimpi siang menuju malam. Biar, kali ini ingin tetap jatuh hati tanpa sepengetahuan siapapun.
Ponorogo, 22 Juni 2020

2. Parasit!
Entah sudah berapa awan urung jadi hujan yang kau ceritakan. Di sela pesan selalu terselip resah, letih mengharap, atau isak yang menyesak. Di sendamu aku hilang, sebelum sempat mencicipi uapnya.
Kau menyebutku karib paling mengerti, sebab sekodi saran membebat retak nadimu, selalu. Beruntun terima kasih acapkali rumit ditelaah, tiada sedikitpun memahami kondisi gempar dalam dada. Hanya tahu diri sendiri serta caranya terbebas dan dibebaskan.
Aku hidup dengan parasit. Harus berbagi udara, makanan, tempat tinggal, tanpa secuil pengertian. Ingin terlepas sedetik, serba salah dengan suara penenun iba dari hatimu.
Kuputuskan menghindar diam-diam, mencari celah pergi dari rapat penjagaan. Biar saja rusak karib, biar saja terhakimi munafik. Aku pun butuh udara baru, butuh sekedip mata mengundang hujan leburkan bosan.
Selalu, kau memahat keluhku setengah hati, dan aku harus sedia setandan waktu di setiap inci keinginanmu.
Ponorogo, 1 Mei 2019







bukhorigan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
362
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan