- Beranda
- Komunitas
- Hobby
- Supranatural
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XII Jalan Cerita 2


TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XII Jalan Cerita 2
“Makasi ya kak dah mau dateng”, aku berhadapan di meja kantin dengan gadis anggun memakai baju kain endek (kain khas bali) biru.
“Iya”, aku seperti kehilangan topik pembicaraan yang sudah aku siapkan dijalan kesini. Minuman kaleng dingin diletakan Mira di hadapanku begitu juga ia membawa satu dan membukanya,
“Ayo minum dulu kak” ucapnya kemudian memasukan setotan ke kaleng miumannya. aku menuruti apa yang dia lakukan tanpa berani menatap wajah Mira secara langsung, sekolah nampak sepi semua siswa tidak ada karena hari ini hari minggu, cuma ada guru2 saja yang sibuk menjumblahkan nilau ulangan semester, dan kantin yang di buka hanya setengah pintu.
“Eh gek Mira ajak nyen ne? (nak Mira sama siapa?), dari jauh ibu kira gus Odik-nya lho!”, Mira tersenyum mendengar ucapan ibu kantin yang melintas, begitu juga aku yang tersenyum kepadanya.
“Bukan ibu, niki timpal tiangae ( ini temen saya)”, Mira menjelaskan pada ibu kantin tentang siapa aku, aku sudah cukup senang diakui sebagai teman olehnya, setidaknya aku sudah memiliki status, sebagai teman.
“Nggih (iya) lanjut ibu mau masak dulu”, ibu kantin tersenyum dan berlalu.
“Pacarmu terkenal disini ya”, sebuah kata yang entah dari mana munculnya dan entah kenapa aku ucapkan.
“Oh iya hehe, aku sama dia sekolah disini dulu, jadi rata2 guru sama pegawai staf disini kenal dia”, Mira selalu tersenyum manis ketika membicarakan tentang pacarnya, dia sangat senang ketika ketika orang lain membahas mengenai orang yang dia cintai itu, dia bangga memilikinya.
“Dah lama pacaran?”, pancingku padanya untuk membuat senyum manis itu lagi tertoreh diwajah Mira.
“Udah sejak sekolah disini dah”, dia kembali tersenyum, aku ikut tersenyum melihat dia begitu bahagia.
“Gimana kisahnya kalo boleh tau?”, sekan tidak pernah puas melihat senyumnya aku selalu bertanya .
“Ihh kok kak nanya gitu sih?”, Mira menutupi wajahnya, pertanyaanku membuat wajah cantiknya tersipu memerah, matanya melirik kepojok mencoba menggali kenangan yang pastinya tidak akan dia lupakan.
“Hmm.. kamu tau kan parkiran depan tempat tadi kak parkir didepan sana?”, tangannya menunjuk kearah dimana aku masuk tadi, aku mangangguk sambil minum isi kaleng yang tersisa setengah.
“Aduh malu nok!”, kembali ceritanya terhenti karena tidak sanggup melihat wajahku yang penasaran menunggu.
“Jadi gini , dulu aku kan jalan sama temen pegang HP terus ada cowok nih yang nyenggol......”, Mira becerita penuh semangat membuat aku kagum melihatnya.
“Kamu cantik sekali”, hanya itu kata2 yang terulang dalam batinku menatapnya,
“Dan ternyata temenku Si Gendut yang ngirim video ke HP nya cuma downloadnya pake HP nya pacarku, aneh ya ceritanaya?”, pertanyaan dari Mira membuatku tersadar dari lamunanku.
“Gak aneh!, eeehh, tapi ajaib!, mungkin cara tuahn mempertemukan kalian, mudah2an langgeng terus ya”, aku meletakan kaleng yang sudah kosong.
“Astungkara (Amin)”, Mira menjawab singkat dan kemudian minum kembali pastinya haus setelah hampir 30mnt bercerita tanpa jeda.
“Oh iya, kalo kisah kamu sama pacarmu gimana?”, aku gelapgapan ditanyai balik pertanyaanku sendiri.
“Hemm.. iya..ya...sebenarnya sih..yaaa... “, aku jadi bingung dan malu tapi terpaksa lebih baik jujur.
“Aku tidak punya pacar” jawabku singkat, Mira kelihatan meragukan ucapanku, aku kembali mengagguk dengan ekspresi yang sebenarnya sejak dari awal tadi aku sembunyikan, sedih.
“Oh kak jomblo ya?”, Mira mempertegas lagi, aku mengagguk mengiakan, “Sejak dari kapan?”, tanyanya lagi, aku tersenyum kalo ada yang menayakan ini, bersiap mengeluarkan kata2 andalanku.
“Sejak dari lahir”, Mira tersentak “seriusan?!”,
“Tigarius malah”, aku tertawa begitu juga dia menggeleng2 mendengarnya.
“Maaf ya bukan aku ngeledekin”, dia tertawa menutup mulutnya, “Tapi saranku sih di umuran kita ini, kak harus milih satu yang beneran serius buat diajak bareang meniti masa depan”, sambungnya lagi kini dengan raut wajah yang serius.
“Aku yakin kamu dah punya calon tapi belum maksimal berjuangnya”, aku mengagguk curi pandang manatapnya, “Ayo kak semangat berjuang!”, sambungnya lagi.
“Seandainya aku diberi kesempatan pasti aku akan memilih kamu, hanya saja selamanya kamu tidak akan pernah bisa menjadi bintang yang bisa aku tunjuk”, aku tersenyum melamun menatap kaleng kosong diatas meja memikirkan kata yang tidak akan pernah keluar dari mulutku masuk ketelinganya.
“Hey kak!”, aku terkejut ketika jentikan jarinya tepat berbunyi disebelah kaleng ku.
“Ceritaku ngebosenin ya?, ngelantur kemana2, sorry ya”, aku memandangi Mira yang cemberut.
“Gak kok!, aku tadi ngebayangin kalo nikah bikin foto Prewedding dimana ya bangusnya”, Mira langsung berteriak agak kencang “Di pantai!!,”, wajahnya kembali memerah saat menutup kembali mulut dengan tangannya sendiri, “Upss keceplosan!!”
Aku tersenyum lebar bisa mengetahui background apa yang akan aku lihat di kartu undangan yang akan aku terima nanti.
“Ihh kak Wahyu ini, suka banget gitu!, ternyata kak orangnya lucu juga ya, kirain cool garang galak gitu”, ucap Mira sambil mlirik lengan bajuku yang terlihat kekecilan.
“Gak kok, jangan liat buku dari Cover-nya”, aku tersenym kearah Mira, menyadari diriku saudah bisa menguasai siotuasi dan nyaman ngobrol dengan Mira.
“Iya bener banget kak”, ucap Mira sambil mengunyak kripik di mulutnya. “Eh, kok malah ngelantur ya?”, aku melihat Mira yang akan tersadar apa tujuan utamanya mengundangku kesini.
“Sebenernya kak aku mau ngomongin masalahku yang kemaren itu”, aku mengagguk melirik melihat wajah seriunya yang begitu anggun.
“Kamu pasti mengira aku gila kan?”, sekarang pandangannya malah seperti mengintrogasiku, aku jadi serba susah menjawabnya.
“Maaf aku tidak bisa lihat yang kamu maksud kemarin, tapi bukan berarti kamu gila, hanya saja tidak semua orang diberikan kemampuan untuk melihat mereka”, jelasku pada Mira sambil perlahan merogoh benda dalam tas selempang didadaku.
“Iya hanya aku yang bisa lihat, ketika jendela ruang kesenian diketok cuma aku yang mendengarnya, anak2 yang latihan gak denger padahal sond system udah aku matiin”, Mira berusah menjelaskan padaku, meyakinkan apa yang dia alami bukan halusiniasi.
“Lalu apa yang terjadi?”, entah karena merasa nyaman berbicara layaknya ngobrol dengan pandawa aku sampai lupa sebatang rokok telah menyala dan mengepul asap ke wajahnya Mira yang berbatas maeja denganku.
“Uhuk..uhuk!!”, dia batuk2 mengibaskan tangan dihidungnya, aku baru sadar berbicara dengan siapa segera menginjak rokok itu.
“Ampura, aku tidak sengaja, refleks!”, aku benar2 merasa malu dengan kebiasaanku sejak lulus SMP itu.
“Iya aku yang harusnya minta maaf, bener2 gak biasa banget sama asep rokok”, Mira menutup hidungynya dengan tisu dari atas meja.
“Keluargamu tidak ada yang merokok?”, aku mencoba membuat suasana kembali normal.
“Ada bapakku, cuma jarang2, klo pacarku enggak ngrokok, nongkrong pun gak suka, apalagi alkohol”, mendengarnya seolah membuatku berhadapan lurus dengan pacarnya Mira, dia baik seperti dewa sementara aku buruk bagaikan detya.
“Ehh, biar gak ngelantur lagi, menurut kak gimana?, apa aku harus ke orang pintar ya?”, Mira tidak berehenti mengunyah keripik singkong yang membuatku heran bagaimana dia bisa tetap langsing.
"Menurutku boleh saja, tapi mesti hati2 kadang belum tentu apa yang mereka bilang itu sepenuhnya benar”, aku memberikan saran pada Mira berdasarkan pengalaman mengantar bapak berobat ke orang pintar, dan orang pintar bilang sakit bapak disebabkan oelh orang terdekatnya, jelas aku tidak percaya.
“Kamu pernah ke balian (orang pintar) mepluasang (menanyakan sesuatu secara gaib)?”, Mira sepertinya bisa membaca fikiranku.
Aku mengangguk dengan tangan tidak bisa berhenti memutar bungkus rokok yang seakan didalam mereka menjerit minta tolong segera di bebaskan dari kotaknya.
“Dimana?”, Mira benar2 seperti sangat penasaran dengan hal seperti itu, sebenarnya aku tidak menyangka dia yang berpendidikan jauh lebih tinggi dariku akan menanyakan hal seperti ini pada anak tamatan SMA.
“Di desa ******, udah dulu banget”, jawabku Mira semakin penasaran nyesed (mendalam) bertanya, “Sama siapa?”, saku menjadi berkeringat dingin saat sesekali melihat pandangannya seolah menelanjangiku dari semua rahasia.
“Bapak, bedua”, jawabku tanpa memandang matanya, “Bawa apa aja?” tanyanya lagi seakan tidak habis stok pertanyaanya. “Banten (sesajen) satu sokasi (kotak dari anyaman bambu tyempat menaruh persembahan), dan pejati (sejenis sesaji yang susah dijelaskan), sesari (uang persembahan) seiklasnya, itu aja.”
“Habis tuh bebas nanya apa aja kan sama balian-nya? (dukun)”, ucapnya asal tebak, aku yakin dia tidak pernah berkunjung ke orang berkemampuan supranatural sehingga agak kebingunagan.
“Gak sih bebas, cuma di kasi kayak clue gitu, kita nebak sama bikin kesimpulan”, aku mencobna menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah di pahaminya, tapi justru dia malah cekikikan menutup mulutnya.
“Kok kayak anak Ospek sih?, hehehe”, aku jadi ikut tertawa bukan karena lucu mendengar kata2ku sendiri tadi, tapi karena senang bisa membuatnya tersenyum manis lagi.
“Hmm, kebetulan banget kalo gitu kak Wahyu, boleh gak minta tolong?”, sesaat Mira berhenti mengunyah cemilan dan menggeser tumpukan bungkus kripik dan kaleng kosong diatas meja, membuat jalan kosong membelah meja yang membatasi kami.
Dia berdiri mendekatkan wajahnya kewajahku, aku deg-degan entah apa yang dia lakukan, membuatku memejamkan mata rapat2.
“Bisa tidak tolong anterin aku kesana”, suaranya berbisik lembut tepat ditelinga kananku, aku membuka mata melirik wajah Mira ada tepat beberapa senti disebelah wajahku, aku menjadi gagap keringatan.
“B..bi..bbi..bisa”, kata itu keluar tersendat sendat, Mira kembali duduk dihadapanku, membuat aku bisa bernafas lagi.
“Nice banget kak Wahyu, makasi ya,” ujarnya kegirangan. Aku hanya mengagguk kemudian beranjank mengambil minuman dingin di freeser menyamarkan rasa gugup dan gemetar badanku.
---------------------------
“Mih sanja kene mejejaitan? (sore gini bikin sesaji?)”, bapaku berhenti sesaat menatapku yang sibuk berjibun memakai kolor saja di Glebeg (bangunan lumbung penyimpanan padi) setelah ia keluar dari kamar mandi berselmpang handuk. “Mau sembahyang kemana?”, bapak kembali bertanya
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XII Jalan Cerita 2](https://s.kaskus.id/images/2020/06/23/10832441_20200623095101.jpg)
gambar ilustrasi banten pejati/sesajen pejati dan sokasi/wadah anyaman bambu (buat sahabt luar daerah yg belum tau agar sedikit terbayang, dan sahabat satu daerah yg tau namanyanya tapi ditidak tau rupanya)
Aku menghentikan tanganku yang sibuk membuat ketupat, “Oh ne (oh ini), tidak Maturan (Sembahyang) kemana2 pak, Yu iseng aja”, aku tidak ingin membuat bapakku curiga kalo aku bilang mau mengunjungi orang pintar.
“Dimana dapet janur?, Yu manjat ya?”, bapakku penasaran melihat daun kelapa muda yang bertumpuk banyak terikat disebelahku, aku tidak menjawab cuma menunjuk perut dan dada yang lecet berdarah dan mengkilat aku olesi minyak kelapa tadi.
Bapakku menggelangkan kepala “Besok2 beli aja, kasian badan luka begitu”, bapakku menggerutu dan berlalu masuk ke kamarnya.
Jangankan membeli, minta ke tetangga di ladang sebelah aku bisa saja dapat gratis sekarung, tapi hal itu hanya akan membuat orang bertanya, yang membuatku susah menjawab, janur untuk apa kok tumben, pasti pikir mereaka begitu.
------------------------------
“Bawa motornya sendiri2 ya kak”, aku melihat sepeda motor berhenti tepat didepanku yang bengong menunggu di ujung perbatasan desa.
Jaket, sarung tangan, helem dengan kaca mata hitam sera masker, juga kamben yang menutupi sampai mata kaki, membuatku bingung siapa orang dihadapanku.
Masker itu dibuka, membuat aku gelapgapan membuang rokok jauh2, “Ayo kak Wahyu!”, aku segera naik ke motor menuju rumah orang pintar yang aku kunjungi dulu, diikuti oleh Mira dibelakngku.
“Jleg” jongkrak motorku menacab di pelatan rerumpuan seperti tanah lapang yang didepanya terdapat gapura dari tanah beratap ilalang.
Aku lihat susana sepi jam 9 pagi ini di depan rumah arsitektur kuno, “Ini tempatnya”, Mira turun dari motor, menatap sekeliling dan mengagguk mendengar ucapanku.
berkonsentrasi aku merapikan kambenku dan juga udeng (ikat kepala) yang tertiup angin sepanjang jalan, juga agar penamilanku tidak memalukan didepannya, sehingga aku harus agak lama membungkuk di sepion motorku, barulah aku membuka kresek merah besar mengeluarkan banten (sesaji) yang aku buat kemarinnya.
Sementara aku sudah bersiap berjalan masuk di angkul-angkul (gapura) menuju kedalam rumah, aku teringat tidak sendiri kesini, aku tolehkan ke belakang kearah motor Matic yang parkir dibelakang motorku, seoarang gadis berjalan memakai kebaya merah menggerai rambut hitamnya, tersenym berjalan kearahku yang mematung di depan gerbang pintu kayu lapuk.
“Jegeg sajaan (cantik sekali) kamu Mira”
“Suksema bli (terimakasi kak) Wahyu”
Mataku langsung melotot mendengar ucapan dari mulutnya yang tersenym padaku, kepalau terasa panas sementara jari kakiku dingin, “Kok kedengearan??!!”, aku menggumam, menyadari yang tadi harusnya aku ucapkan dalam hati tapi malah keluar dari mulut begitu saja.
“Sebentar dulu”, aku kembali turun dari gerbang meletakan banten diatas motor, menyalakan rokok dan hembuskan berkali2 seperti asap kereta api.
Mira tertawa menutup mulutnya melihat reaksiku yang mungkin dia pahami kenapa bisa terjadi, “Udah gak apa2 kok dah biasa cowok kek gitu”, dia tertawa begitu kencang membuatku semakin malu.
“Ya udah ayo!”, Mira mengambil banten (sesaji), ingin aku tagih supaya aku yang membawa , tapi malah dia menolak “aku cewek lho, udah sepantasnya yang bawa banten (sesaji), diletakan banten diatas kepalanya, melangkah kedalam rumah dibarengi aku disebealnya.
Gonggongan anjing yang diikat menyambut kedatanganku. “Om Suastiastu” suaraku mengucap salam pada siapa pun didalam rumah.
Bersambung...........
“Iya”, aku seperti kehilangan topik pembicaraan yang sudah aku siapkan dijalan kesini. Minuman kaleng dingin diletakan Mira di hadapanku begitu juga ia membawa satu dan membukanya,
“Ayo minum dulu kak” ucapnya kemudian memasukan setotan ke kaleng miumannya. aku menuruti apa yang dia lakukan tanpa berani menatap wajah Mira secara langsung, sekolah nampak sepi semua siswa tidak ada karena hari ini hari minggu, cuma ada guru2 saja yang sibuk menjumblahkan nilau ulangan semester, dan kantin yang di buka hanya setengah pintu.
“Eh gek Mira ajak nyen ne? (nak Mira sama siapa?), dari jauh ibu kira gus Odik-nya lho!”, Mira tersenyum mendengar ucapan ibu kantin yang melintas, begitu juga aku yang tersenyum kepadanya.
“Bukan ibu, niki timpal tiangae ( ini temen saya)”, Mira menjelaskan pada ibu kantin tentang siapa aku, aku sudah cukup senang diakui sebagai teman olehnya, setidaknya aku sudah memiliki status, sebagai teman.
“Nggih (iya) lanjut ibu mau masak dulu”, ibu kantin tersenyum dan berlalu.
“Pacarmu terkenal disini ya”, sebuah kata yang entah dari mana munculnya dan entah kenapa aku ucapkan.
“Oh iya hehe, aku sama dia sekolah disini dulu, jadi rata2 guru sama pegawai staf disini kenal dia”, Mira selalu tersenyum manis ketika membicarakan tentang pacarnya, dia sangat senang ketika ketika orang lain membahas mengenai orang yang dia cintai itu, dia bangga memilikinya.
“Dah lama pacaran?”, pancingku padanya untuk membuat senyum manis itu lagi tertoreh diwajah Mira.
“Udah sejak sekolah disini dah”, dia kembali tersenyum, aku ikut tersenyum melihat dia begitu bahagia.
“Gimana kisahnya kalo boleh tau?”, sekan tidak pernah puas melihat senyumnya aku selalu bertanya .
“Ihh kok kak nanya gitu sih?”, Mira menutupi wajahnya, pertanyaanku membuat wajah cantiknya tersipu memerah, matanya melirik kepojok mencoba menggali kenangan yang pastinya tidak akan dia lupakan.
“Hmm.. kamu tau kan parkiran depan tempat tadi kak parkir didepan sana?”, tangannya menunjuk kearah dimana aku masuk tadi, aku mangangguk sambil minum isi kaleng yang tersisa setengah.
“Aduh malu nok!”, kembali ceritanya terhenti karena tidak sanggup melihat wajahku yang penasaran menunggu.
“Jadi gini , dulu aku kan jalan sama temen pegang HP terus ada cowok nih yang nyenggol......”, Mira becerita penuh semangat membuat aku kagum melihatnya.
“Kamu cantik sekali”, hanya itu kata2 yang terulang dalam batinku menatapnya,
“Dan ternyata temenku Si Gendut yang ngirim video ke HP nya cuma downloadnya pake HP nya pacarku, aneh ya ceritanaya?”, pertanyaan dari Mira membuatku tersadar dari lamunanku.
“Gak aneh!, eeehh, tapi ajaib!, mungkin cara tuahn mempertemukan kalian, mudah2an langgeng terus ya”, aku meletakan kaleng yang sudah kosong.
“Astungkara (Amin)”, Mira menjawab singkat dan kemudian minum kembali pastinya haus setelah hampir 30mnt bercerita tanpa jeda.
“Oh iya, kalo kisah kamu sama pacarmu gimana?”, aku gelapgapan ditanyai balik pertanyaanku sendiri.
“Hemm.. iya..ya...sebenarnya sih..yaaa... “, aku jadi bingung dan malu tapi terpaksa lebih baik jujur.
“Aku tidak punya pacar” jawabku singkat, Mira kelihatan meragukan ucapanku, aku kembali mengagguk dengan ekspresi yang sebenarnya sejak dari awal tadi aku sembunyikan, sedih.
“Oh kak jomblo ya?”, Mira mempertegas lagi, aku mengagguk mengiakan, “Sejak dari kapan?”, tanyanya lagi, aku tersenyum kalo ada yang menayakan ini, bersiap mengeluarkan kata2 andalanku.
“Sejak dari lahir”, Mira tersentak “seriusan?!”,
“Tigarius malah”, aku tertawa begitu juga dia menggeleng2 mendengarnya.
“Maaf ya bukan aku ngeledekin”, dia tertawa menutup mulutnya, “Tapi saranku sih di umuran kita ini, kak harus milih satu yang beneran serius buat diajak bareang meniti masa depan”, sambungnya lagi kini dengan raut wajah yang serius.
“Aku yakin kamu dah punya calon tapi belum maksimal berjuangnya”, aku mengagguk curi pandang manatapnya, “Ayo kak semangat berjuang!”, sambungnya lagi.
“Seandainya aku diberi kesempatan pasti aku akan memilih kamu, hanya saja selamanya kamu tidak akan pernah bisa menjadi bintang yang bisa aku tunjuk”, aku tersenyum melamun menatap kaleng kosong diatas meja memikirkan kata yang tidak akan pernah keluar dari mulutku masuk ketelinganya.
“Hey kak!”, aku terkejut ketika jentikan jarinya tepat berbunyi disebelah kaleng ku.
“Ceritaku ngebosenin ya?, ngelantur kemana2, sorry ya”, aku memandangi Mira yang cemberut.
“Gak kok!, aku tadi ngebayangin kalo nikah bikin foto Prewedding dimana ya bangusnya”, Mira langsung berteriak agak kencang “Di pantai!!,”, wajahnya kembali memerah saat menutup kembali mulut dengan tangannya sendiri, “Upss keceplosan!!”
Aku tersenyum lebar bisa mengetahui background apa yang akan aku lihat di kartu undangan yang akan aku terima nanti.
“Ihh kak Wahyu ini, suka banget gitu!, ternyata kak orangnya lucu juga ya, kirain cool garang galak gitu”, ucap Mira sambil mlirik lengan bajuku yang terlihat kekecilan.
“Gak kok, jangan liat buku dari Cover-nya”, aku tersenym kearah Mira, menyadari diriku saudah bisa menguasai siotuasi dan nyaman ngobrol dengan Mira.
“Iya bener banget kak”, ucap Mira sambil mengunyak kripik di mulutnya. “Eh, kok malah ngelantur ya?”, aku melihat Mira yang akan tersadar apa tujuan utamanya mengundangku kesini.
“Sebenernya kak aku mau ngomongin masalahku yang kemaren itu”, aku mengagguk melirik melihat wajah seriunya yang begitu anggun.
“Kamu pasti mengira aku gila kan?”, sekarang pandangannya malah seperti mengintrogasiku, aku jadi serba susah menjawabnya.
“Maaf aku tidak bisa lihat yang kamu maksud kemarin, tapi bukan berarti kamu gila, hanya saja tidak semua orang diberikan kemampuan untuk melihat mereka”, jelasku pada Mira sambil perlahan merogoh benda dalam tas selempang didadaku.
“Iya hanya aku yang bisa lihat, ketika jendela ruang kesenian diketok cuma aku yang mendengarnya, anak2 yang latihan gak denger padahal sond system udah aku matiin”, Mira berusah menjelaskan padaku, meyakinkan apa yang dia alami bukan halusiniasi.
“Lalu apa yang terjadi?”, entah karena merasa nyaman berbicara layaknya ngobrol dengan pandawa aku sampai lupa sebatang rokok telah menyala dan mengepul asap ke wajahnya Mira yang berbatas maeja denganku.
“Uhuk..uhuk!!”, dia batuk2 mengibaskan tangan dihidungnya, aku baru sadar berbicara dengan siapa segera menginjak rokok itu.
“Ampura, aku tidak sengaja, refleks!”, aku benar2 merasa malu dengan kebiasaanku sejak lulus SMP itu.
“Iya aku yang harusnya minta maaf, bener2 gak biasa banget sama asep rokok”, Mira menutup hidungynya dengan tisu dari atas meja.
“Keluargamu tidak ada yang merokok?”, aku mencoba membuat suasana kembali normal.
“Ada bapakku, cuma jarang2, klo pacarku enggak ngrokok, nongkrong pun gak suka, apalagi alkohol”, mendengarnya seolah membuatku berhadapan lurus dengan pacarnya Mira, dia baik seperti dewa sementara aku buruk bagaikan detya.
“Ehh, biar gak ngelantur lagi, menurut kak gimana?, apa aku harus ke orang pintar ya?”, Mira tidak berehenti mengunyah keripik singkong yang membuatku heran bagaimana dia bisa tetap langsing.
"Menurutku boleh saja, tapi mesti hati2 kadang belum tentu apa yang mereka bilang itu sepenuhnya benar”, aku memberikan saran pada Mira berdasarkan pengalaman mengantar bapak berobat ke orang pintar, dan orang pintar bilang sakit bapak disebabkan oelh orang terdekatnya, jelas aku tidak percaya.
“Kamu pernah ke balian (orang pintar) mepluasang (menanyakan sesuatu secara gaib)?”, Mira sepertinya bisa membaca fikiranku.
Aku mengangguk dengan tangan tidak bisa berhenti memutar bungkus rokok yang seakan didalam mereka menjerit minta tolong segera di bebaskan dari kotaknya.
“Dimana?”, Mira benar2 seperti sangat penasaran dengan hal seperti itu, sebenarnya aku tidak menyangka dia yang berpendidikan jauh lebih tinggi dariku akan menanyakan hal seperti ini pada anak tamatan SMA.
“Di desa ******, udah dulu banget”, jawabku Mira semakin penasaran nyesed (mendalam) bertanya, “Sama siapa?”, saku menjadi berkeringat dingin saat sesekali melihat pandangannya seolah menelanjangiku dari semua rahasia.
“Bapak, bedua”, jawabku tanpa memandang matanya, “Bawa apa aja?” tanyanya lagi seakan tidak habis stok pertanyaanya. “Banten (sesajen) satu sokasi (kotak dari anyaman bambu tyempat menaruh persembahan), dan pejati (sejenis sesaji yang susah dijelaskan), sesari (uang persembahan) seiklasnya, itu aja.”
“Habis tuh bebas nanya apa aja kan sama balian-nya? (dukun)”, ucapnya asal tebak, aku yakin dia tidak pernah berkunjung ke orang berkemampuan supranatural sehingga agak kebingunagan.
“Gak sih bebas, cuma di kasi kayak clue gitu, kita nebak sama bikin kesimpulan”, aku mencobna menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah di pahaminya, tapi justru dia malah cekikikan menutup mulutnya.
“Kok kayak anak Ospek sih?, hehehe”, aku jadi ikut tertawa bukan karena lucu mendengar kata2ku sendiri tadi, tapi karena senang bisa membuatnya tersenyum manis lagi.
“Hmm, kebetulan banget kalo gitu kak Wahyu, boleh gak minta tolong?”, sesaat Mira berhenti mengunyah cemilan dan menggeser tumpukan bungkus kripik dan kaleng kosong diatas meja, membuat jalan kosong membelah meja yang membatasi kami.
Dia berdiri mendekatkan wajahnya kewajahku, aku deg-degan entah apa yang dia lakukan, membuatku memejamkan mata rapat2.
“Bisa tidak tolong anterin aku kesana”, suaranya berbisik lembut tepat ditelinga kananku, aku membuka mata melirik wajah Mira ada tepat beberapa senti disebelah wajahku, aku menjadi gagap keringatan.
“B..bi..bbi..bisa”, kata itu keluar tersendat sendat, Mira kembali duduk dihadapanku, membuat aku bisa bernafas lagi.
“Nice banget kak Wahyu, makasi ya,” ujarnya kegirangan. Aku hanya mengagguk kemudian beranjank mengambil minuman dingin di freeser menyamarkan rasa gugup dan gemetar badanku.
---------------------------
“Mih sanja kene mejejaitan? (sore gini bikin sesaji?)”, bapaku berhenti sesaat menatapku yang sibuk berjibun memakai kolor saja di Glebeg (bangunan lumbung penyimpanan padi) setelah ia keluar dari kamar mandi berselmpang handuk. “Mau sembahyang kemana?”, bapak kembali bertanya
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XII Jalan Cerita 2](https://s.kaskus.id/images/2020/06/23/10832441_20200623095101.jpg)
gambar ilustrasi banten pejati/sesajen pejati dan sokasi/wadah anyaman bambu (buat sahabt luar daerah yg belum tau agar sedikit terbayang, dan sahabat satu daerah yg tau namanyanya tapi ditidak tau rupanya)
Aku menghentikan tanganku yang sibuk membuat ketupat, “Oh ne (oh ini), tidak Maturan (Sembahyang) kemana2 pak, Yu iseng aja”, aku tidak ingin membuat bapakku curiga kalo aku bilang mau mengunjungi orang pintar.
“Dimana dapet janur?, Yu manjat ya?”, bapakku penasaran melihat daun kelapa muda yang bertumpuk banyak terikat disebelahku, aku tidak menjawab cuma menunjuk perut dan dada yang lecet berdarah dan mengkilat aku olesi minyak kelapa tadi.
Bapakku menggelangkan kepala “Besok2 beli aja, kasian badan luka begitu”, bapakku menggerutu dan berlalu masuk ke kamarnya.
Jangankan membeli, minta ke tetangga di ladang sebelah aku bisa saja dapat gratis sekarung, tapi hal itu hanya akan membuat orang bertanya, yang membuatku susah menjawab, janur untuk apa kok tumben, pasti pikir mereaka begitu.
------------------------------
“Bawa motornya sendiri2 ya kak”, aku melihat sepeda motor berhenti tepat didepanku yang bengong menunggu di ujung perbatasan desa.
Jaket, sarung tangan, helem dengan kaca mata hitam sera masker, juga kamben yang menutupi sampai mata kaki, membuatku bingung siapa orang dihadapanku.
Masker itu dibuka, membuat aku gelapgapan membuang rokok jauh2, “Ayo kak Wahyu!”, aku segera naik ke motor menuju rumah orang pintar yang aku kunjungi dulu, diikuti oleh Mira dibelakngku.
“Jleg” jongkrak motorku menacab di pelatan rerumpuan seperti tanah lapang yang didepanya terdapat gapura dari tanah beratap ilalang.
Aku lihat susana sepi jam 9 pagi ini di depan rumah arsitektur kuno, “Ini tempatnya”, Mira turun dari motor, menatap sekeliling dan mengagguk mendengar ucapanku.
berkonsentrasi aku merapikan kambenku dan juga udeng (ikat kepala) yang tertiup angin sepanjang jalan, juga agar penamilanku tidak memalukan didepannya, sehingga aku harus agak lama membungkuk di sepion motorku, barulah aku membuka kresek merah besar mengeluarkan banten (sesaji) yang aku buat kemarinnya.
Sementara aku sudah bersiap berjalan masuk di angkul-angkul (gapura) menuju kedalam rumah, aku teringat tidak sendiri kesini, aku tolehkan ke belakang kearah motor Matic yang parkir dibelakang motorku, seoarang gadis berjalan memakai kebaya merah menggerai rambut hitamnya, tersenym berjalan kearahku yang mematung di depan gerbang pintu kayu lapuk.
“Jegeg sajaan (cantik sekali) kamu Mira”
“Suksema bli (terimakasi kak) Wahyu”
Mataku langsung melotot mendengar ucapan dari mulutnya yang tersenym padaku, kepalau terasa panas sementara jari kakiku dingin, “Kok kedengearan??!!”, aku menggumam, menyadari yang tadi harusnya aku ucapkan dalam hati tapi malah keluar dari mulut begitu saja.
“Sebentar dulu”, aku kembali turun dari gerbang meletakan banten diatas motor, menyalakan rokok dan hembuskan berkali2 seperti asap kereta api.
Mira tertawa menutup mulutnya melihat reaksiku yang mungkin dia pahami kenapa bisa terjadi, “Udah gak apa2 kok dah biasa cowok kek gitu”, dia tertawa begitu kencang membuatku semakin malu.
“Ya udah ayo!”, Mira mengambil banten (sesaji), ingin aku tagih supaya aku yang membawa , tapi malah dia menolak “aku cewek lho, udah sepantasnya yang bawa banten (sesaji), diletakan banten diatas kepalanya, melangkah kedalam rumah dibarengi aku disebealnya.
Gonggongan anjing yang diikat menyambut kedatanganku. “Om Suastiastu” suaraku mengucap salam pada siapa pun didalam rumah.
Bersambung...........


mastercasino88 memberi reputasi
1
356
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan