(Prosa)

1. Aku Jatuh Hati?

Aku menyeka gugup dari tiap-tiap kosa kata yang tidak luput bertentang mata denganmu, setenang mungkin kembalikan detak kepada detik langkahnya. Hendak merapal mantra semilir, terlanjur kalang kabut mencuri dalih dari tubuh perdu. Iya, barangkali segenggam isyarat berhasil mengetuk peka jemari tanpa sadarku.

Terjebak antara ingin dan ketidakmungkinan, dilema yang bermekar itu lebih takjub dari bunga padma. Resah akan suatu kenyataan gagal berlari dari debit perasaan, kebencian terhadap cinta tinggal sesumbar tanpa atma. Guntur berseru getarkan kaki bumi, hujan memilih pergi lantaran sungkan sebagai ganti.

Entahlah.

Betapa ini lebih menyiksa, segala yang terpasung bernama gundah harus berpura baik pun apatis, supaya kau tidak ingin mengerti terlalu jauh. Bodoh, ceroboh, salahku berani bermain bait di sebrang meja biasa kau sunting denting-denting cinta dengan bahasa paling sastra. Mumpuni.

Kenapa harus di waktu yang salah!

Kau jarang sekali bersungguh memperbincangkan hati, senantiasa ada kalimat sutera sebagai pamit jika jenuh melambai di ambang pintu. Aku takut terperangkap, terlalu cinta, kemudian hempas di antara kesalahan kenang.

Ponorogo, 22 Juni 2020


2. Jatuh Di Rambutmu

Aku ingin jatuh di rambutmu, melebur ingat di antara rutinitas kertas itu. Seperti dulu, ketika belum membeku sejalur sapa sepekan, dan masih banyak waktu senggang kau beri menawar harapan. Kepada apa yang kerap tersingkir dari perasaan.

Runtuhkah kini?

Tidak peduli perbedaan kata mereka, rasa justru tumbuh oleh pembawaan yang dewasa. Mengetahui kesendirian menyertaimu, harap itu pelan melabur langit ... tidak secepat dulu? Aku belum siap patah kesekian kali.

Setipis biasan pelangi pada cermin air, dzikirku mengharap dikabulkan. Padamu saja kebaikan, bukan yang lebih baik pengganti. Padamu saja setia direstui, sekalipun yang pasti memprasasti..

Ingin jatuh di rambutmu, kali ini dan berkali-kali serupa dedoa yang kuaminkan.

Ponorogo, 1 Mei 2019