Kaskus

Story

FaridaraAvatar border
TS
Faridara
PEMBURU PELANGI
PEMBURU PELANGI
Oleh: Farida Rahmawati


PEMBURU PELANGI


#SongFiction

PEMBURU PELANGI

Gemercik air masih sesekali terdengar dari luar jendela kamar. Masih tersisa rintik hujan menemani sisa sore ini. Tanpa mengeluarkan suara, aku beranjak menuju ruang tamu, meninggalkan ruang hangatku yang nyaman.

Kulangkahkan kaki dengan tergesa, membuka pintu perlahan dan berlari bebas di halaman. Ya, aku sangat menyukai suasana seperti sekarang, kala rinai hujan masih tersisa sebelum akhirnya berhenti menetes.

Aku mengarahkan pandangan ke atas, berharap bisa menemukannya di antara putihnya awan dan birunya langit. Indah. Namun, kulihat dia tak juga menampakkan diri.

Bajuku agak basah. Biarpun sudah mulai terang, tetapi rintiknya masih terasa. Sambil berlari-lari di halaman, lagu masa kecilku terngiang di telinga. Tak sadar aku pun menyanyikannya. Pelan.

Pelangi-pelangi
Alangkah indahmu
Merah kuning hijau
Di langit yang biru
Pelukismu agung
Siapa gerangan?
Pelangi-pelangi
Ciptaan Tuhan

Entah kenapa, setiap satu lagu selesai kunyanyikan, dia muncul secara perlahan. Sinarnya menembus dinginnya hati, menghangatkan jiwa yang dilanda gulana.

"Tuan? Kenapa lama sekali?"

"Maaf, aku tak bisa setiap saat hadir menemuimu," jawabnya sambil tersenyum. Aku menyukai senyumannya, tulus, indah, dan menenangkan.

"Tidak apa-apa. Tuan pasti sibuk banget. Aku akan terus menunggumu, Tuan." Aku tidak tahan untuk tidak mengerling padanya. Tawanya terbit seketika. Lagi-lagi, indah. Tawanya terdengar merdu bagai melodi senja.

"Bersabarlah, Sayang. Nanti akan tiba saatnya kamu bisa ikut denganku," ujarnya selepas tertawa.

"Ke mana, Tuan?"

" Ke tempat yang kau inginkan, Sayang," jawabnya sambil membelai rambutku.

"Asyiiik, kalo begitu sekarang aja, Tuan. Lebih cepat lebih baik, kan," pintaku memelas tak sabar.

"Belum saatnya, Sayang. Belum saatnya. Nanti, ya. Kita akan segera bersama, sebentar lagi," pungkasnya sambil melambaikan tangan.

Dalam sekejap dia menghilang. Tidak mengapa, lain kali aku akan menemuinya lagi. Sekarang hari mulai gelap. Lebih baik aku masuk ke rumah sebelum Emak pulang dan menghukumku.

Sebelum masuk kusempatkan bermain dengan genangan air di depan rumah. Air hujan bercampur tanah membuat genangan berwarna cokelat, tak menyurutkan niatku untuk menyentuhnya. Aku bermain hingga kaos putihku berubah jadi cokelat susu. Gawat! Emak bisa marah.

Aku segera berlari menuju kamar mandi. Kubasuh badanku sekaligus mencuci baju yang terkena noda tanah. Selesai. Kubuka pintu kamar mandi dan kudapati Emak melotot hingga bola matanya seakan hendak keluar. Duh, ketahuan. Nyaliku ciut, seketika.

"Kamu main hujan-hujanan lagi, Nduk?"

"Eng ... enggak, Mak. Tadi Ira keluar pas hujannya sudah reda, kok. Nggak pas deres," ujarku gemetaran. Bukan, aku tidak gemetar karena takut, tetapi kedinginan.

"Kamu main genangan air lagi?"

"I ... iya, Mak. Habisnya seru, sih." Aku menatap Emak takut-takut. Jika marah Emak akan berubah menyeramkan. Padahal jika baik, Emak bagaikan ibu peri.

Emak mendengkus. Sepertinya Emak kesal padaku. Kuberanikan diri memandang Emak. Mata kami bertemu di satu titik. Tidak kulihat kemarahan atau kekesalan di wajah Emak. Namun, setitik air lolos dari sudut matanya, turun hingga ke pipi. Kenapa Emak menangis?

Kami berdiri berhadapan dalam hening. Karena tak paham dengan sikap Emak, kuputuskan untuk berjalan melaluinya, menuju kamar. Terdengar Emak menghela napas panjang, tepat sebelum aku menutup pintu.

***

Hari-hariku berlalu dengan cepat. Aku sangat merindukan hujan, karena di akhirnya, Tuan akan datang. Namun, kali ini dia tak kunjung menemuiku. Aku gelisah. Bahkan di dalam mimpi pun dia jarang muncul.

Malam ini bulan bersinar terang, bentuknya yang bulat sempurna menambah kecantikannya. Kupandangi cahaya bulan yang menerobos jendela kamar. Indah sekali.

Tiba-tiba nampak sebuah bayangan keluar menuju ke jalan. Siapakah itu? Kupicingkan mata agar terlihat lebih jelas. Emak!

Untuk apa Emak berjalan tergesa seperti itu? Ini kan sudah malam? Kuputuskan untuk mengikuti Emak dari belakang. Gegas kupakai sendal sembarangan, kuayun kakiku cepat. Sedikit berlari, menyusul Emak.

Namun, terlambat. Emak sudah tak terlihat. Tunggu dulu, siapa yang melambaikan tangan padaku? Wajahnya yang semula hanya bayangan, kini terlihat temaram. Oh, ternyata Tuan. Jadi, inilah saatnya Tuan akan membawaku pergi bersamanya. Kenapa sekarang, ya? Aku kan maunya dibawa ketika ada pelangi warna-warni. Sekarang sudah malam, gelap sekali di sini.

Eh, apa itu yang berkilauan di depan sana? Wah, indah sekali. Tuan menarik tanganku sambil tersenyum. Ah, betapa manisnya senyum yang selalu kurindukan. Kami menuju tempat yang berkilauan itu. Semakin dekat, cahayanya semakin menyilaukan mata. Aku tak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba Tuan menarik tubuhku dengan sangat keras, hingga aku jatuh dan semuanya menjadi gelap.

***

Pelangi-pelangi
Alangkah indahmu
Merah kuning hijau
Di langit yang biru
Pelukismu agung
Siapa gerangan?
Pelangi-pelangi
Ciptaan Tuhan

Hey, di manakah aku? Lagu ini terdengar indah, tetapi sangat jauh. Apakah Tuan sedang menyanyikannya untukku? Alangkah senangnya hatiku. Di mana dia?

"Nduk, bangun, Nduk. Bangun ...."

Sebuah suara terdengar. Suara Emak? Loh, Emak sedang menangisi siapa, ya? Bukankah tadi malam itu ... aku sedang mengejar Emak?

Emak tampak sedang memeluk seseorang sambil menangis.

"Nduk, bangun. Jangan tinggalin Emak. Maafkan Emak nggak bisa njagain kamu, Nduk ... huhuhu ... harusnya Emak nemenin kamu ...."

Perlahan kudekati Emak yang masih menangis dengan suara yang menyayat hati. Kuperhatikan sosok yang berada dalam pelukan Emak. Bajunya ... sama seperti bajuku. Rambutnya ... mirip dengan rambutku. Aku semakin mendekat.

"Mak ... Emak ...." Lirih kupanggil Emak. Tidak ada jawaban. Emak seakan tidak melihatku.

Aku berlutut di depan Emak. Ketika menoleh ke arah wajah yang sedang diciumi Emak, aku terkejut bukan kepalang. Wajahnya adalah wajahku. Seketika aku ingat, tadi malam cahaya menyilaukan yang kulihat, ternyata adalah sorotan lampu dari sebuah truk. Truk itu pula yang membuat tubuhku terpental beberapa meter dan berdebam di atas aspal hitam.

*** Tamat ***

Salatiga, 2020
Diubah oleh Faridara 25-06-2020 16:11
mayyarossaAvatar border
mayyarossa memberi reputasi
1
801
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan