- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Papua: Tujuh Tapol Papua Divonis Hukuman Penjara


TS
mabdulkarim
Papua: Tujuh Tapol Papua Divonis Hukuman Penjara
Papua: Tujuh tapol Papua divonis hukuman penjara - 'Kami demo tolak rasisme, kenapa dijadikan seperti teroris?'

Pengadilan Negeri Balikpapan, pada Rabu (17/06), telah menjatuhkan vonis terhadap tujuh tapol Papua dalam kasus tindakan makar terkait unjuk rasa menolak rasialisme pada Agustus 2019 di Papua.
Dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring itu, empat dari tujuh terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 10 bulan, yaitu eks Ketua BEM Universitas Cenderawasih Papua, Ferry Kombo; Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Alex Gobay; Hengky Hilapok; dan mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Irwanus Urobmabin.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara lima hingga 10 tahun kepada mereka.
Tiga terdakwa lain, Buchtar Tabuni, seorang aktivis United Liberation Movement for West Papua, Agus Kossay, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Ketua KNPB Mimika, Steven Itlay, dihukum 11 bulan penjara.
Sebelumnya, Buchtar dituntut 17 tahun penjara, sedangkan Agus Kossay dan Steven Itlay dituntut 15 tahun penjara.
Setelah vonis dijatuhkan, mereka menyatakan akan menggunakan hak tujuh hari mempertimbangkan sikap terhadap vonis itu, menerima atau mengajukan banding.
Menurut catatan kelompok hak asasi manusia, tujuh terdakwa itu adalah bagian dari 57 orang asal Papua yang dijerat Pasal 106 KUHP tentang perbuatan makar sejak Agustus 2019.
PTUN Jakarta putuskan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat 'melanggar hukum'
Kasus George Floyd 'dijadikan momentum menyuarakan kasus Papua', pemerintah sebut 'tak tepat disamakan'
Mahasiswi Papua: Berbagai 'hinaan rasis' dan semangat membanggakan Papua 'lebih besar' dari cercaan

Suasana persidangan Buchtar Tabuni di Pengadilan Negeri Balikpapan, Rabu (17/06).
Dalam putusannya, majelis hakim menilai yel-yel 'Papua merdeka' dan 'referendum', yang diserukan para pendemo di Jayapura tanggal 19 dan 29 Agustus sebagai perbuatan makar.
Simbol bendera bintang kejora yang digunakan para pendemo juga dipersoalkan oleh majelis hakim, walau saksi ahli yang dihadirkan para terdakwa, yaitu pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga menilai itu sebagai lambang kultural masyarakat Papua.
Penangkapan dan proses hukum terhadap tujuh orang asal Papua ini terjadi usai kasus ujaran rasial terhadap sekelompok mahasiswa Papua di Surabaya, 17 Agustus lalu.
Peristiwa itu memicu unjuk rasa dan kericuhan di berbagai kota di Papua, termasuk pemblokiran internet di seluruh pulau itu oleh pemerintah pusat—yang belakangan dinyatakan perbuatan melanggar hukum oleh Peng
adilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Dano Anes Tabuni, Ambrosius Mulait, Paulus Suryanta Ginting, Arina Elopere, Charles Kossay, dan Isay Wenda, aktivis yang ditangkap karena dituduh melakukan makar, menyanyikan lagu solidaritas di Pengadilan di Jakarta (19 Desember 2019). Menurut catatan kelompok hak asasi manusia, terdapat 57 orang asal Papua yang dijerat Pasal 106 KUHP tentang perbuatan makar sejak Agustus 2019.
'Saya dihukum karena stigma'
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Alex Gobay, yang berstatus ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), menilai pemidanaannya tak lepas dari stigma negatif warga Papua yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah.
Alex menyebut hukuman yang diterimanya merupakan indikasi bahwa masyarakat Papua tidak bebas berpendapat, termasuk tentang perihal yang mereka anggap tidak adil.
"Sangat tidak adil. Saat mahasiswa Papua sudah mulai menyuarakan keadilan, kami diawasi sangat ketat. Jika kami berorasi di dalam kampus saja, aparat masuk sembarangan. Apalagi kalau kami demo di luar kampus," ujarnya.
"Kenapa demokrasi tidak bisa dibuka seluas-luasnya untuk kami menyatakan isi hati dan keluh kesah pada pemerintah," kata Alex.
"Ini kan bagian dari tridarma perguruan tinggi, bahwa mahasiswa harus mengabdi pada masyarakat. Tapi kami dikriminalisasi dengan politik dan makar."
"Ini yang selalu kami hadapi di lapangan. Jakarta memandang kami dalam stigma bahwa kami separatis. Mau mahasiswa, pelajar, stigma itu ada.," ucapnya.

Alex Gobay, Ketua BEM USTJ, menilai dirinya dikriminalisasi karena dinyatakan melakukan makar setelah berunjuk rasa menentang rasisme.
Alex berkata 'tak mampu mencerna fakta' bahwa ia dipenjara karena berunjuk rasa menolak tindakan rasial terhadap masyarakat Papua.
Apalagi, kata dia, sejumlah warga sipil, termasuk seorang tentara, yang menghina kelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya dengan ujaran rasial, Agustus tahun 2019, mendapatkan hukuman yang lebih ringan ketimbang yang dijatuhkan kepadanya.
Syamsul Arifin, pegawai negeri sipil di Surabaya yang mengumpat 'monyet' kepada mahasiswa asal Papua dihukum lima bulan penjara.
Adapun Unang Rohana, anggota TNI Angkatan Darat dengan pangkat sersan dua, divonis dua bulan penjara pada kasus serupa di pengadilan militer.
"Kami demo tentang kenaikan harga BBM, mereka (pemerintah) bilang separatis. Kami angkat isu kegagalan otsus, mereka bilang kami separatis," ujar Alex.
"Demo kami yang terakhir menentang rasisme. Rasisme itu musuh negara dan semua suku bangsa di dunia. Semestinya negara memberi peluang, perhatian, dan melindungi kami, tapi kami dikriminalisasi dengan pasal makar," tuturnya.
'Kami dijadikan seperti teroris'
Ferry Kombo, mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih, mengaku mendapat perlakuan buruk dari aparat sejak ditangkap. Padahal, kata dia, unjuk rasa di Jayapura tanggal 19 Agustus 2019 yang dipimpinnya tidak bertujuan menjatuhkan pemerintah.
"Setelah dipindahkan ke Balikpapan (awal Oktober 2019), kami ditahan di Polda, ditempatkan di sel khusus teroris. Perlakuan terhadap kami sangat tidak manusiawi," ucapnya.
"Kami menolak rasisme, kenapa kami malah dijadikan seperti teroris? Di Polda kami ditahan dua bulan, selama itu tidak pernah kena sinar matahari, muka pucat," kata Ferry.

Alex Gobay menyebut penahanan serta penyidikan dan persidangan yang dipindahkan ke Balikpapan mengganggu kesehatan mentalnya. Peluang keluarga menjenguknya menipis karena faktor jarak dan biaya.
"Terakhir bertemu keluarga 3 Oktober 2019. Besoknya kami dipindahkan ke Balikpapan, tidak bertemu keluarga sampai saat ini," kata Alex.
"Sangat lelah, beban pikiran menjadi teman saya. Ditahan di Papua saja jadi pikiran, apalagi setelah dipindahkan ke Balikpapan."
"Saya melawan diri sendiri agar kuat menghadapi ini. Dari tampilan fisik, kami memang terlihat sehat, tapi secara psikologis kami terganggu selama dalam tahanan," ujarnya.
Akibat putusan ini, rencana Ferry dan Alex mengikuti wisuda akhir tahun ini terancam gagal.
"Saya anak pertama di keluarga. Kasus ini berat sekali. Orang tua bilang saya harus banyak berdoa, pasti akan ada jalan keluar terbaik," kata Alex.
Puluhan orang dijerat makar terkait isu Papua
Dalam catatan dua organisasi advokasi HAM, Tapol dan Papuans Behind Bars, setidaknya 57 orang ditangkap dan dijerat pasal makar usai peristiwa rasial di Surabaya. Kasus bergulir di enam kota, yaitu Jayapura, Timika, Sorong, Fakfak, Manokwari, dan Jakarta,
Selain kelompok Alex Gobay yang baru saja divonis di Balikpapan, enam orang lainnya sudah lebih dulu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dijatuhi hukuman penjara delapan hingga sembilan bulan, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Carles Kosay, Diano Tabuni, Arina Elopere, dan Suryanta Ginting bebas dari Rutan Mei lalu.
Sementara sepanjang 2019, menurut data Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP), sebanyak 370 orang ditangkap di berbagai kota di Indonesia atas tuduhan terlibat kelompok separatis.
Adapun, empat mahasiswa USTJ pada 15 Juni lalu ditangkap di Jayapura saat hendak menyampaikan dukungan terhadap tujuh tapol di Balikpapan. Mereka dilepaskan kepolisian diwajibkan membuat dan meneken pernyataan tertulis.
Satu dari empat poin pernyataan mereka itu, sebagaimana ditunjukkan kuasa hukum kepada BBC, tertulis:
"Saya berjanji tidak akan melakukan giat di luar agenda atau kurikulum resmi kampus, tanpa seizin dan rekomendasi pihak kampus, yang dapat menyebabkan pihak kampus merasa keberatan karena terkait institusi/lembaga dan melaporkan kepada pihak kepolisian untuk mengambil langkah berupa tindakan kepolisian yang diperlukan".

Direktur AIDP, Latifah Anum Siregar, menyebut hampir setiap unjuk rasa di Papua, termasuk yang berlangsung damai, berakhir dengan penangkapan.
Anum menilai tindakan kepolisian itu bukan cuma membatasi hak berpendapat, tapi juga untuk menakut-nakuti mahasiswa serta aktivis HAM.
"Kalau melihat catatan sejak 2015, pedemo sering ditangkap. Tidak sampai 24 jam mereka dilepas tapi nama dan alamatnya sudah didata," ujar Anum.
"Banyak yang diperlakukan seperti itu, terutama gerakan anak muda. Jelas mereka tidak benar-benar bebas, karena polisi meminta data diri mereka secara lengkap. Itu intimidasi," ucapnya.
Penilaian itu dibantah Polda Papua.
Juru bicara Polda Papua, Kombes Ahmad Mustofa Kamal, mengklaim pihaknya tidak berlebihan dalam menangkap orang-orang yang diduga terlibat atau mengetahui dugaan upaya makar.
Ahmad berkata, jika orang-orang yang ditangkap merasa polisi melanggar ketentuan hukum, mereka semestinya mempersoalkannya ke proses praperadilan.
"Itu bukan intimidasi. Penangkapan adalah upaya paksa dan proses hukum. Kami mencari keterangan saksi. Ketika ada orang-orang di tempat kejadian perkara saat peristiwa terjadi, bisa saja mereka kami amankan."
"Setelah pemeriksaan 24 jam dan tidak terbukti, kami tentu tidak bisa memaksa untuk menahan mereka," kata Ahmad.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53074109
Saya khawatir kalau sentimen anti Indonesia makin berkembang dan bisa dimanfaatkan OPM untuk meicu gerakan massa lebih besar. Saya yakin banyak yang cinta Indonesia di tanah Cendrawasih dan terbukti ketika banyak demo terjadi di Papua Agustus lalu, bendera merah putih dikibarkan juga walaupun ada pihak yang mengibarkan bendera OPM.
Semoga permasalahan Otsus bisa diatasi karena saya tahu anggaran berlimpah tapi tak diimbangi oleh birokrat yang mantap. Ada beberapa daerah Papua yang berkembang pesat seperti Lanny Jaya karena pemerintah sana ngerti harus melakukan apa. (Terima Kasih Ring Of Fire Advanture yang mau berkeliling Papua termasuk Lanny Jaya)

Pengadilan Negeri Balikpapan, pada Rabu (17/06), telah menjatuhkan vonis terhadap tujuh tapol Papua dalam kasus tindakan makar terkait unjuk rasa menolak rasialisme pada Agustus 2019 di Papua.
Dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring itu, empat dari tujuh terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 10 bulan, yaitu eks Ketua BEM Universitas Cenderawasih Papua, Ferry Kombo; Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Alex Gobay; Hengky Hilapok; dan mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Irwanus Urobmabin.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara lima hingga 10 tahun kepada mereka.
Tiga terdakwa lain, Buchtar Tabuni, seorang aktivis United Liberation Movement for West Papua, Agus Kossay, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Ketua KNPB Mimika, Steven Itlay, dihukum 11 bulan penjara.
Sebelumnya, Buchtar dituntut 17 tahun penjara, sedangkan Agus Kossay dan Steven Itlay dituntut 15 tahun penjara.
Setelah vonis dijatuhkan, mereka menyatakan akan menggunakan hak tujuh hari mempertimbangkan sikap terhadap vonis itu, menerima atau mengajukan banding.
Menurut catatan kelompok hak asasi manusia, tujuh terdakwa itu adalah bagian dari 57 orang asal Papua yang dijerat Pasal 106 KUHP tentang perbuatan makar sejak Agustus 2019.
PTUN Jakarta putuskan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat 'melanggar hukum'
Kasus George Floyd 'dijadikan momentum menyuarakan kasus Papua', pemerintah sebut 'tak tepat disamakan'
Mahasiswi Papua: Berbagai 'hinaan rasis' dan semangat membanggakan Papua 'lebih besar' dari cercaan

Suasana persidangan Buchtar Tabuni di Pengadilan Negeri Balikpapan, Rabu (17/06).
Dalam putusannya, majelis hakim menilai yel-yel 'Papua merdeka' dan 'referendum', yang diserukan para pendemo di Jayapura tanggal 19 dan 29 Agustus sebagai perbuatan makar.
Simbol bendera bintang kejora yang digunakan para pendemo juga dipersoalkan oleh majelis hakim, walau saksi ahli yang dihadirkan para terdakwa, yaitu pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga menilai itu sebagai lambang kultural masyarakat Papua.
Penangkapan dan proses hukum terhadap tujuh orang asal Papua ini terjadi usai kasus ujaran rasial terhadap sekelompok mahasiswa Papua di Surabaya, 17 Agustus lalu.
Peristiwa itu memicu unjuk rasa dan kericuhan di berbagai kota di Papua, termasuk pemblokiran internet di seluruh pulau itu oleh pemerintah pusat—yang belakangan dinyatakan perbuatan melanggar hukum oleh Peng
adilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Dano Anes Tabuni, Ambrosius Mulait, Paulus Suryanta Ginting, Arina Elopere, Charles Kossay, dan Isay Wenda, aktivis yang ditangkap karena dituduh melakukan makar, menyanyikan lagu solidaritas di Pengadilan di Jakarta (19 Desember 2019). Menurut catatan kelompok hak asasi manusia, terdapat 57 orang asal Papua yang dijerat Pasal 106 KUHP tentang perbuatan makar sejak Agustus 2019.
'Saya dihukum karena stigma'
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Alex Gobay, yang berstatus ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), menilai pemidanaannya tak lepas dari stigma negatif warga Papua yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah.
Alex menyebut hukuman yang diterimanya merupakan indikasi bahwa masyarakat Papua tidak bebas berpendapat, termasuk tentang perihal yang mereka anggap tidak adil.
"Sangat tidak adil. Saat mahasiswa Papua sudah mulai menyuarakan keadilan, kami diawasi sangat ketat. Jika kami berorasi di dalam kampus saja, aparat masuk sembarangan. Apalagi kalau kami demo di luar kampus," ujarnya.
"Kenapa demokrasi tidak bisa dibuka seluas-luasnya untuk kami menyatakan isi hati dan keluh kesah pada pemerintah," kata Alex.
"Ini kan bagian dari tridarma perguruan tinggi, bahwa mahasiswa harus mengabdi pada masyarakat. Tapi kami dikriminalisasi dengan politik dan makar."
"Ini yang selalu kami hadapi di lapangan. Jakarta memandang kami dalam stigma bahwa kami separatis. Mau mahasiswa, pelajar, stigma itu ada.," ucapnya.

Alex Gobay, Ketua BEM USTJ, menilai dirinya dikriminalisasi karena dinyatakan melakukan makar setelah berunjuk rasa menentang rasisme.
Alex berkata 'tak mampu mencerna fakta' bahwa ia dipenjara karena berunjuk rasa menolak tindakan rasial terhadap masyarakat Papua.
Apalagi, kata dia, sejumlah warga sipil, termasuk seorang tentara, yang menghina kelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya dengan ujaran rasial, Agustus tahun 2019, mendapatkan hukuman yang lebih ringan ketimbang yang dijatuhkan kepadanya.
Syamsul Arifin, pegawai negeri sipil di Surabaya yang mengumpat 'monyet' kepada mahasiswa asal Papua dihukum lima bulan penjara.
Adapun Unang Rohana, anggota TNI Angkatan Darat dengan pangkat sersan dua, divonis dua bulan penjara pada kasus serupa di pengadilan militer.
"Kami demo tentang kenaikan harga BBM, mereka (pemerintah) bilang separatis. Kami angkat isu kegagalan otsus, mereka bilang kami separatis," ujar Alex.
"Demo kami yang terakhir menentang rasisme. Rasisme itu musuh negara dan semua suku bangsa di dunia. Semestinya negara memberi peluang, perhatian, dan melindungi kami, tapi kami dikriminalisasi dengan pasal makar," tuturnya.
'Kami dijadikan seperti teroris'
Ferry Kombo, mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih, mengaku mendapat perlakuan buruk dari aparat sejak ditangkap. Padahal, kata dia, unjuk rasa di Jayapura tanggal 19 Agustus 2019 yang dipimpinnya tidak bertujuan menjatuhkan pemerintah.
"Setelah dipindahkan ke Balikpapan (awal Oktober 2019), kami ditahan di Polda, ditempatkan di sel khusus teroris. Perlakuan terhadap kami sangat tidak manusiawi," ucapnya.
"Kami menolak rasisme, kenapa kami malah dijadikan seperti teroris? Di Polda kami ditahan dua bulan, selama itu tidak pernah kena sinar matahari, muka pucat," kata Ferry.

Alex Gobay menyebut penahanan serta penyidikan dan persidangan yang dipindahkan ke Balikpapan mengganggu kesehatan mentalnya. Peluang keluarga menjenguknya menipis karena faktor jarak dan biaya.
"Terakhir bertemu keluarga 3 Oktober 2019. Besoknya kami dipindahkan ke Balikpapan, tidak bertemu keluarga sampai saat ini," kata Alex.
"Sangat lelah, beban pikiran menjadi teman saya. Ditahan di Papua saja jadi pikiran, apalagi setelah dipindahkan ke Balikpapan."
"Saya melawan diri sendiri agar kuat menghadapi ini. Dari tampilan fisik, kami memang terlihat sehat, tapi secara psikologis kami terganggu selama dalam tahanan," ujarnya.
Akibat putusan ini, rencana Ferry dan Alex mengikuti wisuda akhir tahun ini terancam gagal.
"Saya anak pertama di keluarga. Kasus ini berat sekali. Orang tua bilang saya harus banyak berdoa, pasti akan ada jalan keluar terbaik," kata Alex.
Puluhan orang dijerat makar terkait isu Papua
Dalam catatan dua organisasi advokasi HAM, Tapol dan Papuans Behind Bars, setidaknya 57 orang ditangkap dan dijerat pasal makar usai peristiwa rasial di Surabaya. Kasus bergulir di enam kota, yaitu Jayapura, Timika, Sorong, Fakfak, Manokwari, dan Jakarta,
Selain kelompok Alex Gobay yang baru saja divonis di Balikpapan, enam orang lainnya sudah lebih dulu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dijatuhi hukuman penjara delapan hingga sembilan bulan, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Carles Kosay, Diano Tabuni, Arina Elopere, dan Suryanta Ginting bebas dari Rutan Mei lalu.
Sementara sepanjang 2019, menurut data Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP), sebanyak 370 orang ditangkap di berbagai kota di Indonesia atas tuduhan terlibat kelompok separatis.
Adapun, empat mahasiswa USTJ pada 15 Juni lalu ditangkap di Jayapura saat hendak menyampaikan dukungan terhadap tujuh tapol di Balikpapan. Mereka dilepaskan kepolisian diwajibkan membuat dan meneken pernyataan tertulis.
Satu dari empat poin pernyataan mereka itu, sebagaimana ditunjukkan kuasa hukum kepada BBC, tertulis:
"Saya berjanji tidak akan melakukan giat di luar agenda atau kurikulum resmi kampus, tanpa seizin dan rekomendasi pihak kampus, yang dapat menyebabkan pihak kampus merasa keberatan karena terkait institusi/lembaga dan melaporkan kepada pihak kepolisian untuk mengambil langkah berupa tindakan kepolisian yang diperlukan".

Direktur AIDP, Latifah Anum Siregar, menyebut hampir setiap unjuk rasa di Papua, termasuk yang berlangsung damai, berakhir dengan penangkapan.
Anum menilai tindakan kepolisian itu bukan cuma membatasi hak berpendapat, tapi juga untuk menakut-nakuti mahasiswa serta aktivis HAM.
"Kalau melihat catatan sejak 2015, pedemo sering ditangkap. Tidak sampai 24 jam mereka dilepas tapi nama dan alamatnya sudah didata," ujar Anum.
"Banyak yang diperlakukan seperti itu, terutama gerakan anak muda. Jelas mereka tidak benar-benar bebas, karena polisi meminta data diri mereka secara lengkap. Itu intimidasi," ucapnya.
Penilaian itu dibantah Polda Papua.
Juru bicara Polda Papua, Kombes Ahmad Mustofa Kamal, mengklaim pihaknya tidak berlebihan dalam menangkap orang-orang yang diduga terlibat atau mengetahui dugaan upaya makar.
Ahmad berkata, jika orang-orang yang ditangkap merasa polisi melanggar ketentuan hukum, mereka semestinya mempersoalkannya ke proses praperadilan.
"Itu bukan intimidasi. Penangkapan adalah upaya paksa dan proses hukum. Kami mencari keterangan saksi. Ketika ada orang-orang di tempat kejadian perkara saat peristiwa terjadi, bisa saja mereka kami amankan."
"Setelah pemeriksaan 24 jam dan tidak terbukti, kami tentu tidak bisa memaksa untuk menahan mereka," kata Ahmad.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53074109
Saya khawatir kalau sentimen anti Indonesia makin berkembang dan bisa dimanfaatkan OPM untuk meicu gerakan massa lebih besar. Saya yakin banyak yang cinta Indonesia di tanah Cendrawasih dan terbukti ketika banyak demo terjadi di Papua Agustus lalu, bendera merah putih dikibarkan juga walaupun ada pihak yang mengibarkan bendera OPM.
Semoga permasalahan Otsus bisa diatasi karena saya tahu anggaran berlimpah tapi tak diimbangi oleh birokrat yang mantap. Ada beberapa daerah Papua yang berkembang pesat seperti Lanny Jaya karena pemerintah sana ngerti harus melakukan apa. (Terima Kasih Ring Of Fire Advanture yang mau berkeliling Papua termasuk Lanny Jaya)




joesatriyono dan nomorelies memberi reputasi
2
523
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan