Kaskus

Hobby

pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke XII Jalan Cerita
              “Apa orang tidak bakal curiga dan menuduh kita kalo ada yang melihat?”, aku merasa ragu menikuti perintah ibuku, “Seenu medasar patut sing ja bakal ada ne melihang, (semasih kita berbuat yang benar tidak akan bisa disalahkan)”.

            Aku melihat jalanan banyak motor yang lalu lalang dan kadang ada orang yang berjalan melintas di trotoar sebrang jalan, aku takut dituduh macam2 oleh mereka.

          “Enggalin Yu! (cepat Yu!), tidak bakal ada yang bisa melihat kita”, ucap ibuku “Kltok”, pangkal tongkat bambu ibuku membentur paving seolah tembakan start aku melangkah dan jonggkok menggali disana, suara orang didalam rumah dan motor berseliwean membuatku berkeringat dingin ditengah temaramnya peralihan waktu.

              “Apa ini?!!”, aku menemukan kain putih terikat menggulung sesuatu seperti Pocongan kecil, “Cepat masukan!” perintah ibu, aku masukanan benda itu ke kresek, tempat berikutnya aku gali menemukan sebuah kertas bergambar seram membungkus tebu seruas yang ditusuk jarum juga aku masukan kekeresek, dan kemudian aku temukan lagi botol kecil berisi cairan kuning kental seperti minyak didalamnya, juga aku masukan kedalam plastik terahir pecahan tembikar tanah liat bertiliskan entah apa.

             “Dari mana datangnya benda2ini me (bu)?”, ibuku diam bekomat kamit, aku meneruskan menggali ketika sadar selama aku jongkok disini banyak motor dan orang yang lalu lalang tapi acuh saja seakan tidak peduli dengan aktovitas mencurigakanku, bahkan menoleh pun tidak.

             “Wahyu kuburkan ini” ibuku menyerahkan sebuah benda yang membuatku teringat sesuatu “Me (bu) ini kan stagen kesayangan neneknya Mira, bukanya ini satu2nya titipan pemberian dadong (nenek), kasian me!”, ibuku menatapku dan tersenyum melihatku.

             “Bukan Yu!, itu bukan satu2nya titipanya dadong”, aku menlongo mendengar ucapan ibuku yang lancar entah sejak kapan ibuku mendadak sembuh

              “Biar sabuk ini menjaga keluarganya Mbok (kakak), biar semua yang dikubur disana dililit tak berdaya olehnya”, ucap ibuku yang membuatku merinding, aku segera menguburkan stagen itu. Kemudian beranjak mengajak ibuku pulang, tapi ditengah perjalanan ibu meremas pundaku.

           “Yu atehin me ke setra (Yu anter ibu ke kuburan)”, ucap ibuku, aku mengeram berhenti dipinggir jalan, meneokan kepala kearahnya “Me jam brapa ini?, ngapain kita kesana?”, ibuku diam menenteng tas kresek dan juga tongkat serta galah bambu, aku menjalankan motorku menuju kuburan desa yang jalannya cukup terpencil itu.

           “Me (bu) kita sudah sampai”, ibuku lansung melompat dari boncengan motor, membuatku kelabakan menjongkrak dan mengikuti langkahnya kedalam kompleks nisan yang semakin gelap ditelan petang, ibuku berjalan begitu cepat tongkat yang biasanya digunakan sebagai pemandu jalannya yang tertatih kini dipegang tanpa menyentuh tanah, kakinya begitu kokoh memijak dan melangkah, sampai ibu berhenti di atas petak beton berundak pemuun (tempat pembakaran jenazah) aku berdiri disebelahnya.

           Entah bagaimana ibuku sudah memasukan kresek dan seluruh isinya kedalam kertas koran yang dia remas menjadi bola, dan meletakannya diatas pembakaran jenazah itu, aku yang sedikit paham merogoh korek api gas, tetapi korek itu hanya sebatas aku genggam saat meliat dengan sentikan ibu jari dan telunjuk tangan ibuku kertas itu sudah hangus bersama segala isi didalamnya.

           “Kasian cucunya imbok (kakak), selalu diincar”, ucap ibuku memandang kobaran api yang sudah mengecil.

            “Maksud me?, Mira?, siapa yaang mengincarnya?”, ibuku diam dan melangkah kembali ke parkiran motor, menyisakan pertanyaan besar yang membuatku bingung.
----------------------

            “Duutt...Duttt..Dutt”,getaran keras terdengar dari tas hitam yang aku gantung tiang digazebo, setelah mendorong sisa nasi dimulut dengan air  aku beranjaak mengambilnya dan kembali duduk didepan kotak nasiku.

              “Mira?!”, aku terkejut melihat siapa yang menelfon, segera aku angkat meletakan telfon genggam di telinga.

          “Kak Wahyu tolong aku dikejar!!, huuu..huuu” suaranya menangis di ujung ponselku, 

            “DEBLAG!!”, suara benda jatuh dibanting membuatku terkejut merinding seakan merasakan apa yang dia alami disana.

          “Kamu dimana??!!”, segera aku berlari kencang menerobos rimbunan rumput gajah ladangku.

           “Aku di sekolah!.. tuutt!”, suara panggilan diahiri, “Sial!”, aku ngebut dengan motor menuju ke SMP *******, sampai disana sekolah sudah sepi, hanya beberapa siswa duduk menenteng ember, sapu dan sabit yang aku lihat menunggu dijemput ortu mereka, aku trurun dari motor mendekati mereka.

          “Dik, Mira dimana?”, salah satu dari mereka terlihat menatap ragu orang asing sepertiku, “Tadi ibu Miranya di kelas B katanya nulis laporan”, “ Dimana itu dik?”, tanyaku lagi, ujung dari anak itu menunjukan bangunan bertingkat paling ujung dilantai dua. “disana pak”, aku langsung berlari “Terimakasi!” ucapku menaiki anak tangga yang lumayan tinggi.

          “BLAG!” aku dorong pintu rungan itu kosong tidak ada siapapun, aku kembali keluar ruangan mengambil HP menelfon Mira, hanya tulisan memanggil, “sial off lagi!”, sekolah ini begitu luas dengan banyak ruangan aku bingung karen aku tidak sekolah disini dulu.

           “DEBLAG!!”, sebuah suara benda jatuh mengagetkanku, berasal dari lapangan upacar aku berlari menuruni anak tangga, dan berditri tepat di tengah lapangan memotar badan mencari sumber suara.

          “DEBLAG!!, DEBLAG!!, DEBLAG!!”, aku mendengarnya lebih jelas dari arah ruangan paling pojok, aku belari keasana membuka pintu ruang kesenian itu.

          Berantakan sekali kertas berhamburan, meja dan kursi tergeletak di lantai, aku mecari dimana dia, aku menemukan sepatu tergeletak didekat salah satu meja, “Mira!”,

            Aku naik keatas panggung kecil didalam ruangan mencari diantara gambelan yang tertutup kain merah. hanya gong yang terggantung saja tidak tertutup kain itu,  membuatku penasaran, aku dekati ternyata sebuah tubuh meringkuk dibawah sana ditutupi kain merah pembungkus gong.

          Aku dekati dengan perasaan takut kalau itu ternyata bukan Mira tapi setan, tanganku menyentuh pundaknya.

          “AAAAA!!!” dia menjerit terperajat bangun dan mengayunkan Panggul (pemukul) gong kewajahku. “BRUKK!”, cukup keras membuat darah mengalir dari hidungku.

         “Kak Wahyu?!”, Mira terkejut melihatku, “Iya” ucapku dengan suara bengek menutup hidung. Mira langsung memeluku erat dan menagis sekeras-kerasnya didadaku. Aku bingung apa yang terjadi, hanya bisa memejamkan mata menikmati detik demi detik yang membuat wajahklu merah dan badan gemetar.

            “Kak aku dikejar!”, Mira histeris lagi, “Sudahlah, aku sudah disini kamu tidak usah takut!” aku tarik tangannya memapah turun dari pangung.

             Aku memberikan sapu tangan yang biasanya aku pakai mengikat kepala saat bekerja untuk mengusap air matanya, dia masih gemetaran menatap sekeliling ruangan yang berantakan.

          “Dia tadi disni!!”, Mira masih memutar kepala mencari entah siapa yang ia maksud. “Siapa Mir?”, aku ikut mencari celingukan, Mira kembali menagis “Yang mengikutiku, mau membunuhku”, badanya Mira lemas dan bersimpuh di lantai, aku menagkapnya dan baru menyadari sekujur tubuh Mira penuh lecet dan juga memar.

          “Itu kak disana!!, serem banget!!, dia bawa pisau!!!” Mira teriak dan merangkulku sampai tersa badanku tercekik, ujung jari tangannya munjuk pojok ruangan yang terdapat sebuah piano.

Penyewekan [Pengasih] Bagian ke XII Jalan Cerita
ilustrasi piano dari internet

         Mataku tertuju ke tempat itu badanku ikut  dingin entah kenapa aku ikut membayangkan apa yang ada disana, meski aku hanya melihat piano.

         “Ampura sampunag gulgula nika! (maaf jangan diganggu!), tiang nunas ampura! (saya minta maaf!)”, aku beberpa kali berucap pada sebuah stand piano seperti orang tidak waras, berharap jika benar dia disana maka dia akan paham dan pergi.

         Mira terus merancu sambil menagis dipelukanku dengan tangan tetap mengacung kesana, “Huhuhu.. jangan bunuh aku, aku masih mau hidup, aku sudah berjanji mau nikah dengan pacarku!”.

         “DEG!” jantungku sesaat berhenti berdetak, nafasku tersengal2 mendengar ucapannya yang kini dalam pelukanku, aku tudukan kepalaku memejamkan mata didepan  piano itu,

        “Ampura (maaf), tolong jangan ganggu kasian dia, boiarkan dia menepati janjinya”, ucapan ku seperti melukai telingaku sendiri.

        Ketika Mira melihat kearah sana mencari sosok yang katanya disana, “Hilang kak!!”, terperajat kemudian mendorongku melepaskan pelukannya.

         Dia berdiri seperti baru tersadar dari mimpi, aku juga berdiri setelah sebelumnya menyumbat hidungku dengan robekan kertas yang aku pungut di lantai. “Kak dia kemana?”, Mira yang tadinya ketakutan sekarang malah mencarinya, aku diam  menatap Mira, kasian sekali melihatnya seperti orang gila.

         “Semua ini kenapa?”, dia juga kembali sadar akan ruangannya yang berantakan, “aku bisa dimarahi kepala sekolah!!”, terlihat dia mau menangis lagi.

            “Ini tidak seberapa, aku bantu bersihkan”, segera meja dan kursi aku berdirikan, juga kertas semua aku pungut, dibantu Mira ruangan kesenian ini kembali seperti semula.

         “Ayo pulang”, ketika aku buka pintu keluar ternyata sudah gelap, tidak menyangka sudah selama itu karena didalam ruangan ini terang dengan lampu sorot.

          “Aku antar ya”, Mira menatapku setika motornya sudah mulai menyala “Iya,..tidak perlu kak” penolakannya terdengar setengah2, “Jalan saja aku buntuti”, aku memaksa Mira,  ahirnya dengan motornya berlalu dengan aku dibelakngnya.

           Kejadian itu membuatku penasaran apakah Mira mengalami depresi akibat tekanan pekerjaan, sebab jelas sekali disana tidak ada siapa2, tumpukan laporan yang berantakan beberapa lembar aku lihat dicoret dan disobek, layaknnya seperti aku dulu ngamuk ketika membuat tugas sekolah yang susah dijawab.
-------------------------------
Mira :kak Wahyu

Mira :P

Mira :P

Mira : lagi apa?

Untung sempat lihat ponsel saat beristirahat di gazebo,

Aku : lagi di uma (sawah)

Mira : Ngapain?

Aku : duduk aja habis ngasi makan sapi

Mira :sibuk ya?

Aku : gak terlalu

Mira : minta tolong boleh?

Aku : apa yang bisa aku bantu?

Mira : taran bisa ke sekolah?

Aku : ada apa ya?

Mira :aku mau cerita

Aku : cerita apa?

Mira : ada pkoknya

Aku : Iya baik lah

Aku : bagaimana dengan pacarmu?

Mira : maksudnya?

Aku :  maksudnya... gak marah liahat kamu dengan cowok lain?

Mira : oh gak kok, dia sibuk kerja gak peduli sama aku, ngupulin duit terus.

Aku : rajin ya orangnya, ngumpulin kan uang bagus

Mira : iya lumayan, nabung.

Aku : buat persiapan nikah kan?

Mira : iya hehehe, kok tau?

Aku : asal tebak aja

Mira : kalo dah sampai di gerbang Chat aja

Aku : iya siap.

Aku  : mau aku bawakan masakan buatanku?

        “Tik..Tikk..Tikk”, teks terahir itu aku hapus, aku merasa tidak tau malau mengirim itu ke calon istri orang lain.

       “Mih jeg rapi sajaan kel kija? (rapi sekali mau kemana?)”, bapak menyapa membuatku menghentikan langkah, aku tersenyum melihatnya duduk di sofa teras.

         “Melali (lancong) pak!”, jawabku , “Tumben melali rapi kene? (lancong rapi begini?)”, sambungnya lagi, aku hanya senyum-senyum sambil menyisir rambut didepan kaca sepion motor.

         “Nang mai malu! (coba kesini dulu!)” ayahku memanggil dengan tangan menyuruhku mendekat, aku melangkah mendekatinya, ida berdiri dan menepuk pundaku.

          “Wah.. Wahyu bagusan kin ( lebih ganten dari) bapak”, dia tersenum melihatku, “Tileh gen pak sing ada ne ngenyakin (tetap aja  begini pak, gak ada yang nerima)”, balasku singkat memerima pujiannya, dilihatnya kembali kemeja kotak2 panjang dan celana blue jeans, dia kembali berjalan ke sofa mengambil sesuatu.

           “Yen ma jeans sabukin nake pasing melorot (kalau memakai jeans pake sabuk biar tidak melorot)”, ayahku menyerahkan  sabuk kulit coklatnya, kebetulan sabuk milikku putus kemarin langsung saja aku terima dan pakai.

          “Pas cocok Wahyu nganggo (memakainya)!”, ayahku memandangi sabuk dipinggangku, “ini bukan sabuk sembarangan, sabuk ini bisa menghujudkan permintaan Wahyu”, ucap ayahku.

           “Ah bapak seperti Jin blangkon saja!”, aku tertawa mendengarnya, “makasi pak!” aku melangkah mendorong motor sampai didepan gerbang. Entah kenapa aku ingin tampil maksimal hari ini, ditambah sabuk bapakku yang klasik ini membuatku menjadi lebih sempurna.

           Aku gosok kuningan yang menjadi kepala sabuk hingga mengkilat, “Bantu aku dapatin Mira ya!”, candaku pada sabuk itu. “GRUUNG” motorku melaju meninggalkan asap yang wangi karena parfumku.

         Bersambung......
mastercasino88Avatar border
mastercasino88 memberi reputasi
1
341
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan