Quote:
Penyerangan yang dilakukan terhadap jamaah Syiah di Sampang, Madura membuat mereka harus menelan pil pahit.
Terusir dari tanah sendiri dan hanya boleh kembali saat sudah menjadi Sunni, kehilangan salah satu saudara karena terbunuh dalam tragedi Lebaran ketupat itu. Meski demikian, penganut Shia Islam asal Sampang kukuh menolak tuntutan sebagian ulama Madura yang meminta mereka meninggalkan ajaran Shia Islam, jika ingin kembali tinggal di Madura.
“Kita kan negara hukum, kenapa masih memaksa kepada kami untuk kembali ke ajaran orang tua kami (yang disebut menganut Sunni),” kata Iklil al Milal, perwakilan para pengungsi Islam Syiah, saat ditemui wartawan BBC Indonesia di penampungan sementara mereka, rumah susun di Kabupaten Sidoarjo.
Lagipula, ujarnya, mereka juga punya memiliki Tuhan, Rasul, serta Kitab suci yang sama dengan penganut mazhab Islam lainnya.
“Kita kan sama-sama menganut Islam, mengapa dipertentangkan. Jadi, kenapa kami harus dianggap harus bertobat,” kata Iklil lagi.
Sebagai informasi,
desakan untuk bertobat itu disampaikan para ulamasetempat sebagai proses rekonsiliasi. Hal ini disuarakan sejak awal, jauh sebelum kerusuhan berdarah yang menewaskan satu orang warga Syiah Sampang tersebut. Bahkan, acap kali ulama arus utama di Madura melabeli Shia Islam sebagai ajaran sesat.
Namun menurut Iklil, persoalan keyakinan (Syiah dan Sunni) tidak perlu dijadikan materi atau syarat dalam proses rekonsiliasi.
“Asal kita bisa menghargai perbedaan, dan saling menghormati, tentu ini yang perlu ditekankan,” tandasnya kepada sumber yang sama.
Senada, Human, penganut Syiah lainnya berujar, “Kami tidak akan meninggalkan ajaran Syiah.”
“Mengapa keyakinan kami diutak-atik lagi. Yang penting kan bisa saling menghormati keyakinan masing-masing,” sambung Siti, jamaah Shia Islam.
Human, Siti, dan Iklil hanya sebagian dari umat Syiah yang terusir dari Madura setelah sekelompok orang membakar kediaman mereka. Total ada 165 orang Warga Shia Islam Sampang yang terusir dari kampungnya sejak September 2012, dan terpaksa menghuni rumah susun sementara di Sidoarjo, Jawa Timur. Keinginan mereka untuk kembali ke kampung halamannya, selalu ditolak Pemda dan otoritas keamanan setempat, dengan dalih keamanan.
Pemimpin warga Syiah Sampang, Tajul Muluk mengungkapkan, berbagai upaya telah dilakukan agar pemerintah mengambil langkah konkret untuk memulangkan warga Shia Islam Sampang Sampang yang saat ini masih mengungsi. Tajul Muluk berharap dapat bertemu Presiden Joko Widodo, agar Presiden memperhatikan dan memberikan solusi penyelesaian masalah yang dihadapi warga Syiah Sampang.
“Berharap tahun ini sudah bisa diselesaikan, karena kami khawatir nanti kalau sudah ada perubahan rezim justru akan semakin buruk kondisi kami, dan akan semakin sulit upaya-upaya pemulangan itu. Kami ada rencana ke Presiden Jokowi, dan kemarin diketahui sebetulnya juga sudah menghadap ke KSP (Kantor Staf Presiden) sebetulnya, menyampaikan tuntutan-tuntutan kami, ya belum ada respon,” ujar Tajul, sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia.
Sebelas dua belas, Ketua Badan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Andy Irfan Junaidi mengatakan, penanganan pengungsi Syiah Sampang tidak cukup dengan memberikan tempat tinggal sementara dan uang jatah hidup. Namun, perlu tanggung jawab negara dan pemerintah untuk memulihkan hak warga Syiah Sampang. Salah satunya adalah dengan memulangkan mereka ke kampung halaman.
“Kita mendesak, sekali lagi mendesak agar negara mengaplikasikan tanggung jawabnya, kewajibannya untuk memulangkan dan memulihkan seluruh hak-hak warga Shia Islam Sampang Sampang yang sampai sekarang masih di pengungsian. Negara tidak bisa hanya sekedar memberikan fasilitas jatah hidup dan penginapan saja, terus kemudian beberapa pejabatnya berkomentar bahwa warga Syiah harus menyelesaikan masalahnya sendiri, itu kan cara berpikir yang sesat dan menyesatkan, tidak bisa begitu,” ujar Andy Irfan Junaidi, Ketua Badan Pengurus Kontras Surabaya.
Hal senada juga dilontarkan Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Cholifah. Ia menegaskan, diperlukan perubahan cara pandang pemerintah dalam menangani berbagai persoalan bangsa yang terkait dengan intoleransi. Ruby mengatakan, persoalan intoleransi seperti kasus Syiah Sampang harus mampu diselesaikan sepenting kasus korupsi dan terorisme, dengan melibatkan alat hukum negara untuk menjamin kesamaan hak bagi setiap warga negaranya.
“Sekarang kan perlu dicoba, dengan persoalan-persoalan intoleran itu bisa gak diperlakukan seperti illegal fishing, atau korupsi, atau yang terkait dengan terorisme. Nah, sekarang tinggal mindset-nya saja, bisa gak mindset negara kita memperlakukan persoalan intoleransi ini segenting persoalan illegal fishing, itu saja, ya harus bisa dong. Nah, memaksimalkan, mengoptimalkan alat negara untuk menjaga kesatuan dan persatuan, termasuk menindak sikap-sikap maupun tindakan intoleran, itu tanggung jawab negara,” ujarnya.
Sementara itu, Aan Anshori dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) menambahkan, negara wajib melindungi dan menjamin kemerdekaan setiap warga negaranya untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya atas dasar undang-undang. Pemerintahan Presiden Joko Widodo punya kewenangan dan kewajiban, untuk memastikan hak warga negaranya terpenuhi.
Sebagai informasi, Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI) Umar Shahab menegaskan,
warga Shia Islam bukan minoritas di Indonesia. Menurutnya, pengikut Shia Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan umat Islam di Indonesia. Hal itu ia sampaikan dalam sambutan Muktamar ke-3 Ahlulbait Indonesia yang digelar di Jakarta pada November 2019 silam.
“Kita merasa Syiah adalah bagian integral umat Islam yang tak terpisahkan karenanya kita merasa bahwa penganut Syiah di Indonesia ini bukan lah dalam tanda kutip, bukan masuk kategori kaum minoritas,” kata Umar kepada Tirto.
Ia menyebut tak ada perhitungan resmi soal jumlah warga Shia Islam di Indonesia. Ada yang menyebut 1-2 juta, ada pula yang menyebut mencapai 5 juta orang. Meski begitu Umar sadar, ada ada perbedaan pandangan dalam beberapa masalah. Namun, semestinya itu tidak menjadi masalah.
SUMBER
Quote:
“Kita kan sama-sama menganut Islam, mengapa dipertentangkan. Jadi, kenapa kami harus dianggap harus bertobat,” kata Iklil lagi.
sesama islam
anggap saja sesama saudara
kenapa harus saling melukai?
jadi teringat karya besar dari seorang penyair terkenal zaman three kingdom
煮豆燃豆萁
豆在釜中泣
本是同根生
相煎何太急?
dari akar yang sama
kenapa harus saling melukai ?

zaman dulu wajar, perebutan singasana
bahkan yg resmi duduk di tahta singasana ga ragu untuk bunuh saudara untuk menghindari potensi makar
lah, ini zaman apaan?
sesadis itukah agama?
begitu sulit menghormati perbedaan hingga menembus zaman?
kita sesama manusia, mengapa harus dipertentangkan?
kenapa yang satu ngerasa yang lain lebih rendah? berada di jalur yang salah? lebih banyak dosa? hingga mengharuskan bertobat?
apa salahnya menganut kepercayaan masing masing?
jika kepercayaan tanpa pembuktian mendatangkan segitu banyak perbedaan
jika kepercayaan tanpa pembuktian mendatangkan segitu banyak pertentangan
jika kepercayaan tanpa pembuktian mendatangkan segitu banyak konflik
kenapa tidak mencari yang simple tapi damai?
yang menghormati sesama manusia
yang semua manusia adalah sama
yang semua manusia adalah sederajat
banyak jalur menuju kedamaian
kenapa harus memilih jalur konflik?
aneh tapi nyata
semoga dunia khususnya indonesia
bisa segera kembali ke jalur damai
tanpa konflik
yang bisa menganggap semua manusia adalah sederajat
tanpa perbedaan