Kaskus

Hobby

pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XI Sudut Lain 2
                “Ampura sajan Yu! (mohon maaf sekali Yu!), aku beneran lupa2 ingat nge-Chat Mira pas kamu tidur!”, suara Sangkuni diseberang telfon sana.

                “Aku tau maksudnya membantu tapi caranya tidak begitu juga, sekarang pasti Miranya berpikiran negatif padaku!”, aku mengumpat penuh kekesalan.

                “Jeg seken-seken ampura sajaan!, (benaran aku mohon maaf sebesar2nya!), aku gak tau kenapa badanku bisa gitu, sekarang saja aku sudah lupa apa yang terjadi kemarin”. Jelas Sangkuni dengan penyesalan mendalam.

                “Ya udah!, Manian de keto nake (besok2 jangan gitu), aduuhhh, hancur harapanku Sangkuni!!, nyak adan jak dibikas patuh (kamu dari nama dan sikap sesuai), agetne ci (untungmya kamu) jujur sebagai teman”.

                Aku matikan telfon ketika namaku dipanggil oleh penjual bubur langgananku, segera aku bernjak dari balik rerimbunan tanaman hias disebelah poskamling.

                “Kenapa nelfon sembunyi gitu?, pasti pacarnya ya?”, si ibu penjual heran meliahat aku jongkok diujung sana, segera aku ambil bungkusan bubur “Esing (enggak), ini makelar tanah”, jawabku gelagapan kemudian kembali melaju kerumah.

                Sampai dirumah aku liahat ibuku duduk melamun di sofa sambil berbicara sendiri, sepertinya penyakit pikunnya kambuh, disebelahnya Bapakku berdiri marah2 padanya.

                “Nyai dadi nak luh sing ngerti apa, nganggoang keneh pedidi!,  jani kene jak makejangan!, (kamu sebagai wanita tidak mengerti apa, menuruti kemauan saja sekarang begini kita semua!), dengan suara keras Bapakku membentak ibuku yang hanya diam menatap kosong .

                Segera aku parkirkan motor dan  melerai mereka, “Sarapan malu (dulu)!”, aku berikan bungkusan kepada Bapakku mencoba mengalihkan topik yang mereka debatkan,  saat bersamaan aku papah ibuku kekamarnya, Bapakku bersungut2 berjalan pelan ke kamarnya, sementara aku mendudukan ibuku diatas ranjang.

                Aku ambilkan teh tawar dan sendok serta piring, “Me (bu) makan dulu, biar gak kumat maag-nya”, suap demi suap ibuku makan dengan lahap meski tatapanya tetap kosong tidak berkata apapun dan tidak merespon apapun kecuali sendok berisi bubur putih dan beberapa butir pil yang sengaja aku sembunyikan didalam sana.

                “Neh telah ba Me! (yah habis dah bu!), kuat makan cepet dah sembuh!”, aku letakan piring kosong kemudian giliran teh hangat yang sekejap habis diminumnya, aku duduk diranjang bersebelahan dengan ibuku, tepat lurus dipandangan ku terpajang foto lama, fotoku saat kelulusan TK bertamasya ditemani bapak dan ibu, aku masih kecil sekali tersenyum memegang pila jura lomba makan kerupuk diapit oleh oleh mereka berdua berlatar lapang yang hijau.

                “Me kayangne ajake rame2 melali ke taman ******* cara pas to nyak, (bu suatu hari nanti kita rame2 lancong ke ke taman ******* lagi seperti foto itu ya)”, ucapku seraya menunjuk gambar berbingkai kaca pada ibukuku, reaksinya tetap sama menatap kosong sambil bebisik entah apa.

                Kembali aku pandangi foto itu, Bapakku Masih gagah badanya tinggi dan tegap sepertiku, cuma rasanya lebih tampan dia dibanding aku, buktinya dia mendapatkan wanita cantik yang berdiri disebelahnya, dibandingkan aku yang masih sendiri di foto itu bahkan sampai sekarang.

                Bapakku dulu orang yang hebat, meski hanya seorang petani tapi dia disegani karena terkenal baik dan loyal, dia tidak memilih2 dalam berteman siapapun dari segala kalangan, entah sesama petani bahkan pejabat sudah biasa singgah kerumah kami,  tapi kehancuran Bapakku juga karena kebaikanya tidak memilih2 dalam berteman.

                Ketika di masa aku menjelang ahir SD Bapak mendadak berubah, jarang bekerja ke sawah, tetapi selalu pulang malam, ibuku sering menegurnya, tapi selalu dibalas oleh makian Bapakku, setiap malam selalu saja mereka berdua berisik melempar barang2, aku biasanya akan masuk ke kolong tempat tidurku, sampai mentari pagi membangunkanku.

                Suatu saat aku yang pulang sekolah melihat Bapakku pergi membonceng seorang gadis, aku buntuti mereka menuju pondokan sawahku yang cukup jauh terpencil, gadis itu disuruh Bapakku masuk kedalam ruang pondokan sementara Bapakku memacu motornya entah kemana.

                Aku yang penasaran, mencoba mengintip siapa gadis cantik itu dari balik anyaman bedek, terlihat samar disana seorang gadis muda cantik sekali dengan rambut panjang terurai yang di sisirnya.

Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XI Sudut Lain 2
ilustrasi bangunan bedeg (hanya ilustrasi bukan bagian dari cerita)

                “Gubrag!!!”, ternyata bedeg yang aku tekan sudah lapuk sehingga aku terjungkir jatuh tepat disebelah gadis yang terduduk diatas pelangkaan (dipan tanpa kasur), dia terkejut melihatku, aku segera berdiri kearah wanita itu.

                “Oh anakanya ***** ternyata!, ayo sini mendekat”, gadis itu menanggilku, aku menurut saja melihat senyum manisnya, diusapnya rambutku, dan perlahan wajah putihnya berubah mengeriput, tadinya dia sangant cantik sekarang hanya wanita paruh baya yang sudah keriput jelek dan menyenyeramkan, aku tak menyangka dia menua secepat itu, dipeluknya badanku dan berbisik di telingaku.

                “Kalau saja kamui berani cerita ke ibumu, aku makan kamu!”, suaranya sangat menakutkan, ditambah jilata lidahnya di leherku, ketika pelukannya dilepaskan wajahnya sangat mengerikan entah kenapa dia bisa punya taring panjang yang mengintip dibalik bibir pecah2nya, aku gemetar ketakutan, menangis sesengukan.

                “Nunas ampura cai!!, metimpuh ngidih pelih!! (minta ampun kamu!!, bersimpuh minta maaf!!)”, ucap wanita itu, aku segera bersujud

             “Ampura..ampura..ampura!! (maaf!!) ”, dengan suara gemetar dan air mata mengalir.

               “Yen cai jejeh mati enggalin nunas ampura (kalu kamu takut mati cepat minta maaf) hahaha!!”, wanita seram itu senag melihat aku bersujud “mulih enggalin! (cepat sana pulang!)” sambungnya lagi.

                Sejak kejadian itu bapakku pulang seminggu 2x kerumah, itupun hanya untuk mengambil uang dilemari, sampai aku sadar uang itu tidak pernah habis karena setifikat disebelahnya digadaikan oleh Bapakku.

                “Mara cai dadi nak muani kaden ci cang nak luh sing ngidang ngelawan ??!! (baru kamu laki2 kamu kira aku wanita tidak bisa melawan??!!)” teriakan ibuku membuat aku terbangun malam itu, aku tengok dibalik jendela ibuku memgangi pipinya dengan darah masih mengucur dari hidungnya.

                “Orahang biin pok! (ucapkan sekali lagi!)”, Bapakku melayangkan pukulanya membuat ibu tersungkur dan menangis, “Ayo sini lawan kalo kamu bisa!!, ayo lawan aku!!”, bentak Bapak sambil menepuk dadanya.

                “Awas kamu!, suatu hari nanti kamu akan merasakan rasa sakit yang aku rasakan!”, ibu berdiri dan melangkah pergi keluar dari rumah, sementara Bapakku hanya diam berkacak pinggang menatap langkah ibuku berlalu dari pintu gerbang.

                3 hari 3 malam ibuku tidak pulang begitu juga Bapak yang entah kemana, aku sendirian dirumah selalu ketakutan ditengah malam teringat ucapan wanita yang mau memakanku, 3hari 3 malam aku hanya makan sekali sehari dengan mie instan, uang dilemari tidak tersisa sepeserpun, beras juga telah habis, aku cuma bisa ngutang ke warung depan gang, dan ketika ditanyakan mana orang tuaku, aku akan tersenym mengatakan.

                “Jumah sirep (dirumah tidur), mereka pingin dibuatin mie!”, padahal aku sendirian makam mie sampai diare, ketika gerbang pintu rumah digeser aku begitu gembira menyadai kepulanan ibuku.

                “Meme kija gen? (ibu kemana saja?)”, tanyaku memeluknya, “Meme (ibu) habis bertemu seseorang”,  jawabnya singkat.

               Sejak saat itu perlahan-lahan sikap Bapakku kembali menjadi seperti yang dulu, baik rajin dan juga selalu diam dirumah, hanya saja Bapak lama kelamaan semakin kurus dan ringkih sakit terus, berobat ke dokter juga sama saja.

                 Bapak didiagnosa terkena gula darah, tapi bukannya digunakan berobat, uang tabungannya malah ditukarkan dengan sabuk jelak dari temannya, ibuku juga semakin hari semakin aneh, suaka pergi keluar malam jalan2 sendiri, hingga bicara sendiri tidak karuan. Tapi untungnya kami tetap bersama, sehingga aku tidak perlu makan mie instan lagi.

*********
                “Kamu mirib ibumu”, aku tersenyum menatap Wahyu yang masih bersimpuh di atas jalan aspal.

                “Bagaimana anda bisa tau?, apa Bli pernah bertemu dengannya?”, Wahyu keheranan menatapku yang menyela ceritanya, aku menggelang dan kembali tersenyum.

                “Disuruh cerita masalahnya apa?, malah ngelantur ke masalah keluarga!!”, kataku padanya, “Intinya apa?!,  enggalin (cepat)!!!”, bentaku, takut dia ngomong banyak tapi aku dibohongi lagi.

                “Ampura (maaf), tidak pernah ada orang yang menayakan tentang kehidupan saya, jadi saya bingung memulainya dari mana”, Wahyu mendongak menatap aku dan Odik.

                “Mira, bagaimana dia bisa..?”, belum meski setengah belum selesai kata2 Odik, Wahyu sudah mengangguk memahaminya.

******
                Aku duduk beristirahat di pondokan seusai memberi makan sapi dan nyemprot padi dengan anti hama, dikejutkan getar ponsel dalam tas yang sengaja aku gantung di tiang bamambu gazebo, aku biarkan saja karena mungkin dari teman2 Pandawa.

                Tebakanku salah ketika sesampai dirumah saat petang aku buka HP dengan notifikasi Chat masuk dari gadis berkebaya merah, Mira.

                Jantungku dengdegan, dari beberapa lama aku tidak berani membuka WA karena takut dan malu ketika melihat foto DP-nya yang sekakan marah padaku. Aku beranikan diri membuka Chat itu, bersiap Nunas Ampura (minta maaf) kalau dia mencaci makiku.

Mira : P

Mira : Maaf kasar waktu ni

            Sebuah Chat yang singakat membuatku tenang, lega, juga senang gembira.  bingung mau balas apa, terlintas dipikiranku bertanya pada Sangkuni, tapi chaku dibalas singkat olehnya.

Sangkuni : jeg gas gen Yu!, cang percaya jak ci!
                   (gas aja Yu!, aku percaya sama kamu!)

            Aku beranikan diri melawan rasa gugupku mencoba mencari topik yang bagus, dari pada kelamaan berfikir dia nanti keburu tidur.

Aku : tiang (saya) yang seharusnya minta maaf, itu teman saya yang ngetik sumpah              bukan saya.
Chat pertamaku panjang seperti koran

Mira : iya aku yakin kmu bkn orang yng seperti itu.

Aku sangat senang mengetahui Mira tidak menaruh prasangka buruk padaku.

Mira : kmu kan kk kelasku di sd ya?

Aku : iya, beda 1 tingkat, sekali lagi saya mohon maaf tidak bermaksud begitu

Mira :iya ga apa, aku juga mita maaf, masalah pribadiku sma pcar ku bisa ngena ke                kmu

Aku :mslah apa?.
           Aku keceplosan merasa tidak enak menayankan masalah pribaadi yang membuat Chat-ku 15 menit tidak dibalas olehnya.

Aku : maaf saya tidak sopan.

Mira : iya gk apa, btw kmu kenal sama neneku ya?

Aku : tentu, semasa hidupnya beiau sering bertamu kerumah saya, beliau teman                    akrab ibu saya.

Mira : oh gitu ya, btw chtnya gk ush kaku gitu kyak sma dosen aja

Aku : iya maaf.

Mira : dan satu lgi.. bsa gak ngurangin kta maaf, kmu kan gak slah wkwkwk

Aku : oh iya maaf..

Aku : maaf.. ngirim maaf lagi.

Mira :iya wkwkwk, kmu akrab sama neneku?

Aku : setiap pagi di jalan depan rumah kmu, aku jemput nenek mengantarnya ke                    pasar

Mira :hmm, kmu lebih dekt sama Dadong (nenek) dripd aku.

Mira : nenek ada cerita sesuatu sma kmu? tentang aku gituh?

Aku :tidak ada sengingak ku.

Mira emoticon-Embarrassmenthh, sorry ya kepo, btw yng kmarin di cht itu lupain aja ya.

Aku : iya tapi gak apa2 kan?, makasi juga sudh maafin aku.

Aku : pacarmu gak marah aku Chat gini?

Segera aku hapus pesan itu, aku malu kalau dianggap mempunyai harapan lebih padanya.

           Chat malam ini berahir disana, ketika aku tunggu dia masih Online tapi tidak memberi dua centang biru pada Chat ku, mungkin Mira sedang menelfon pacarnya, dan terlintas kembali kata2 ibuku yang membuatku mengelus dada, “De bes ngarep (jangan terlalu berharap) Wahyu, kamu ini bukan siapa2”, ucapku sambil menenteng minyak urut dan ember kekamar ibuku.

                Pagi ini aku bekerja di sawah dan ladang dengan begitu semanagat, sabetan sabit ke rumput gajah bisa tumbang dengan mudah, dari sapi, babi sampai ayam aku mandikan semua, hp yang biasa aku taruh di dalam tas kini menempel di kantong celanaku, setiap menit aku selalu lihat kontaknya Mira, membaca Chat kemarin, aku tersenyum gembira dibuatnya, setiap Mira kelihatan online aku sedikit berharap, seandainya dia men-Chat ku lagi, walau harapan itu tidak mungkin terjadi.

                Siangnya saat aku memasak didapur untu makan siang ibu dan bapak, ditengah asiknya menumis kangkung dari yang aku petik sawah, hpku berderit diatas kulkas, aku melompat memastikan ada apa.

“YESSS!!’, aku berteriak melompat2 kegirangan dengan sendok saringan ditangan, segera aku kecilkan api dari kompor membuka isi Chat WA itu,

Mira :P

Mira : maaf ganggu bntr boleh?

Aku : iya,  gak lagi sibuk kok

Mira : mau tanya tentang dadong (nenek) lagi

Aku :iya nanya apa?

Mira : penah ga neneku ngasi sesuatu ke kamu?

Aku : seingatku pernah

Mira : apa?

Aku : uang buat beli rokok
               Aku kembali keceplosan, malu kalau Mira tau aku seorang perokok, tapi sudah terlanjur terkirim

Mira : oh gitu ya, boleh kepo selali lagi gak?

Aku : iya silahkan

Mira : klo ibu kmu dan neneku ngobrol ngomongin apa aja?

Aku : aku tidak tau jelasnya apa, biasanya masalah kesehatan dan harga barang2 di              pasar.

Mira :selain itu?

Aku : itu aja sengingatku

Mira : iya deh, makasi ya kak Wahyu.

Aku :iya sama2

Aku : jam istirahat siang gini, kamu sudah makan?

           Kembali aku hapus Chat itu, sungguh begitu tidak sopan bagiku, lagi pula entah dia makan atau ngapain aku bukan siapa2 yang berhak tau. Kuah tumisanku hampir kering menguap, setika aku sadar belum selesai memasak.

           Sore ini aku kmbali dibuat kebingunangan, pulang dari ladang aku dikejutkan oleh ibuku yang menghilang, aku cari di sekitar rumah juga bertanya pada tetangga mereka kopak menggatakan ibuku keluar jalan entah kemana membawa sabit dan tas kresek, mendengar apa yang dia bawa aku segera memacu motor menuju suatu temapat yang sering dikunjungi ibuku.

            Motorku terparkir tepat didepan gapura berlumut yang ditumbuhi paku2an, senja membuat suasana tempat ini tidak begitu nyaman untuk orang penakut sepertiku, terlihat dijung sana ibuku berlutut menyabit rumput diatas pusaran hingga gundukan tanah berisi patok batu berukir terlihat rapi dan bersih.

         “Meme ngudiang kali jani mai? (ibu ngapan jam segini kesini?)”, aku mendekatinya, ibu mengeluarkan aneka jajanan dan sesajen yang pasti dibelinya dijalan tadi, kemudian diletakan diatas pusaran milik dadong-nya Mira.

          “Nengokin mboke mai (menengok kakak disini)” jawab ibuku singkat sembari mengusap batu nisan itu, aku kagum melihat persahabatan ibu dan neneknya Mira yang begitu erat bahak ketika maut memisahkan mereka.

           “Mbok ne cucune teke mai masi (kak ini cucunya juga datang kesini)”, aku terkejut melihat ibuku seakan sembuh dari linglungnya sehingga bisa berkata2 normal, aku jongkok disebelahnya ibu, sembari menuangkan kopi kedalam gelas plastik dan meletakannya didepan batu nisan, neneknya Mira suka ngopi, apalagi kopi hitam buatanku,  untung aku sempat membuatnya dirumah sebelum berangkat menjemput ibu kesini.

           “Dong, cucun Dadonge Mira tuni nge-Chat yang, nakonang dadong, bise ye kangen jak dadong, (Nek, cucu nenek,  Mira tadi nge-Chat aku nanyain nenek, mungkin saja dia kangen sama nenek)”, ucapku diikuti senyuman gembira diwajah. Selesai itu aku ajak kembali ibu pulang kerumah untuk makan malam dengan lauk yang sudah aku siapkan tadi, meski beli yang sudah jadi.

          Malam ini aku tidak bisa tidur, aku Cuma bisa berguling2 menunggu seandainya ada Chat yang masuk, teman2ku kompak berjanji tidak akan men-Chat-ku agar tidak menganggangu, jadi kalau ada suara notif itu pasti dari dia.

           Beberapa lama aku tunggu dia dalam keadaan Online tapi tetap saja tidak ada dua centang biru untuk Chat-ku siang tadi, sampai jam 12 malam aku belum ingin tidur, dia masih on ketika layar HP ku terpampang diwajahku, aku kecewa menunggunya, kutekan kunci layar HP hingga Screen itu gelap memantulkan bayangan wajahku, bebera detik aku bercermin disana dan sadar, aku tidak layak kecewa karana aku bukan siapa2nya dia, meski seribu tahun menunggu tetap saja aku tidak akan menjadi siapapun dalam hidupnya.

            Aku pejamkan mata mencoba tidur dan melupakan semua harapanku, samar2 aku dengar suara langkah kaki melintas didepan kamarku yang merupakan kamar diatara kamar bapak dan ibu, aku bangun dan mengintip dari gorden jendela, melihat ibuku berjalan menuju gerbang keluar, aku segera membuka pintu kamar membuntutinya.

          Ini bukan kali pertama ibuku keluar ditengah malam, ibu melangkah cepat keluar pintu gerbang yang terbuka, aku membuntuti tapi seakan tertinggal oleh langkahnya yang sangat cepat, padahal ibu selalu memakai tongkat dan berjalan pincang, tapi kalai ini dia begitu sehat berjalan tegap dengan langkah yang lebar tanpa tomgkat kesayangannya.

           “Me (bu)!!, sudah malam ngapain keluar?!”, tidak dihiraukannya ucapanku, langkahnya baru terhenti ketika sampai didepan gang rumahku, ibu terdiam ditrotoar jalan aspal desa, dia menatap lurus tanpa menoleh melihatku di belakngnya.

           Bersambung.....
mastercasino88Avatar border
mastercasino88 memberi reputasi
1
364
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan