Kaskus

Hobby

pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XI Sudut Lain
       “Cie.. ba kelih jani panake! (udah dewasa sekarang nak!)”, suara seseorang memegang gelas plastik bekas air mineral yang terisi tuak, dia tertawa gembira dengan wajah yang memerah, disambut tawa yang lain 3 orang menggema di trotoar pertigaan desa.

            “Yen demen orahang deme, pasing enggalan juang pisaga hahaha (kalo suka bilang aja, biar tidak keburu diambil orang)”, dibalas oleh teman disebelahnya bersemangat dengan tuak yang dibeli 1 jerigen dibagi 5 orang dari matahari temaram sampai gelap gulita saat ini.

             Aku cuma bisa senyum2 sendiri melihat teman2 yang begitu semangatnya ngomporin, memang kami berlima disebut pandawa didesa ini, yang selalu minum di segala situasi, banyak waga desa terutama ibu2 menjadikan kami contoh yang tidak patut ditiru bagi anak2 mereka.

            “Masalahne ye be ngelah (masalahnya dia udah punya)”, aku menggelang kehadapan mereka berempat yang langsung dibalas reaksi khas mereka kalo sudah kebanyakan minum.

           “Waruhhhhh!!!!”, mereka bersorak bersamaan sembari menepuk-nepuk pundakku

         “Yang sabar..yang sabar ya bos!!”, reaksi mereka selalu membuatku bisa tersenyum, melupakan segala masalkah hidupku yang sangat berat, terutama kehidupan keluargaku yang benar2 susah dipahami.

           “Emang uli ija tunanagne? (dari mana pacarnya?)”, tanya kawanku berperut buncit yang paling doyan dan tahan mabuk, karena posturnya kami memanggilanya Bima.

         “Ada uli (dari) desa ***** nak (orang)***** (sensor)”, jawabku seambil menerima gelas giliranku, mereka semua tersentak mendengar orang yang aku maksud. 

           “Ne to? (yang itu?)”, suara memperjelas dari pemuda paling tua diantara kami yang tidak kunjung nganten (nikah) sampai lapuk, biasa kami sebut, Darmawangsa yang dermawan suka menteraktir tuak,  juga paling menguasai sejarah dan silsilah orang didesa karena sudah sesepuh. Aku mengangguk mengiakan sesuatu yang bli Darmawangsa (bli:kakak/brother/abang) maksud.

          “Mihh hebat toh sugih sajaan ye to! (hebat dong kaya banget dia!), kalau mau bersaing sudah tidak mungkin, wak panak petani tilesang ragane (kita cuma anak petani sadar diri)”, aku mengangguk mendengar wejangan sang darma yang memang ada benarnya.

          “Wehh nden malu (tar dulu)!”, ucap kawanku disebelahnya, yang kurus dan jengotnya seperti kambing itu aku biasa panggil Sangkuni, karena ucapanya yang suka gebuh (melebih2kan) sering memberi masukan dan saran yang aneh2.

           “Biar kita petani tetapi kan juga punya peran penting dari apapun, tanpa kita mereka mau makan apa?”, kami manggut sambil memberi sorakan layaknya pidato kampanye.

              “Jangan mau kalah Yu!, jeg penyewekan aliang (carikan pengasih), set pelet sampai melet2!”. Ekspresi Si Sangkuni dengan lidahnya menjulur seperti ular membuat tawa kami pecah menggema diatas trotoar jalan yang disinari lampu kuning jalan.

      “Arah sing perlu, nak arjuna tanpa apapun jeg neket! (alah gak perlu, sudah arjuna tanpa apapun pasti lengket!)”, dengan semangat sehabat disebelah menepuk pundaku, yang ini biasa dipanggil Nakula karena kesehariannya yang tak lepas dari menu sehat yaitu Nasi, Kuah, Lawar (makanan khas Bali) dan Lau (tuak),

         “Ahh!!, ngidaang gen (bisa aja)!”, aku mengegelang sambil menggak giliranku kemudian merebahkan diri di atas trotoar jalanan menatap langit malam yang dipenuhi taburan bintang, aku rogoh HP dari tas selempang, aku buka WA dengan kontak baru yang aku minta dari teman lama aku pasangi pin paling atas.

          “Jegeg sajaan!! (canti sekali!!)”, foto kontak dengan kebaya merah tersenyum manis seakan menghipnotisku, hampir bertahun2 aku tidak melihat dia yang merantau kuliah ke kota, kini setelah kembali dia sungguh menawan.

            “Nanging yen mula tusing jodoh sing je kenapa (tapi kolo bikan jodohku juga tak apa)”, kembali kata2 itu keluar, entah berapa ribu kali aku ucapkan itu dari 1 bulan yang lalu, ketika aku lihat kembali fotonya berdampingan dengan seorang laki2 bersafari putih berkacamata merangkul pundaknya dengan begitu erat. “Setidaknya biarkan aku mengagumi dari sini, Mira”

            “Tik..Tik..Tik”, jempolku menyentuh kolom Chat, aku mencoba memikirkan bahan yang bagus entah apa yang cocok mungkin.

“P”, tidak sopan rasanya kalau satu huruf.

“Hay”, terlalu sok akrab sangat tidak sopan dengan wanita begitu.

“Sehat?”, memangnya aku dokter bertanya begitu.

              “Apa dik nah (apa ya)?!”, aku kebingungan menggaruk kepalaku mencoba mencari topik untuk memulai, “Adah liunan itungan!! (banyakan perhitungan!!)”, teman2ku kelihatan geregetan dengan sikapku, memang benar aku gugup berhadapan  wanita, bukan karena takut, tapi sangangat menghormati dan juga jaga image dengan mereka, itu penyebabnya aku tidak punya pacar sejak dari lahir hingga dewasa sekarang.

              “Mira, ne (ini) Wahyu kakak kelas di sd pidan (dulu) inget?”, sebuah bahan bagus tertera di kolom Chat, aku tersenyum menyadari ini awal yang bagus, beberapa kali HP itu kepleset dari tanganku yang licin berkeringat tegang mengirim pesan itu.

                Beberapa detik aku terdiam memandangi pesan itu dan jempol kananku yang masih melayang di atas logo pesawat kertas. “Sing dadi keto (tidak boleh begitu)”, segera aku hapus huruf2 itu tanpa menyisakan apapun, dan kemudian barkode sidik jari mengunci layar HP ku.

            “Sing dadi ngusak-asik pegelahan anak (tidak boleh mennganggu punya orang)”, nasihat ibuku terngiang kembali menyentuh hati, memang penampilanku seperti anak berandal dengan tato yang aku buat, orang disini tidak memahami arti seni, yang mereka tau tatoan dan badan tegap berotot itu preman, ngobrol merokok ditemani tuak di tepi jalan dianggap buruk, padahal meskipun aku dan kawanku Pandawa minum disini tidak pernah kami merusuh dan berani sumpah Selaang Dewa (atas nama Tuhan), kami tidak pernah nunutarang pisaga (ngomongin tetangga), dibandingkan orang yang tidak minum tidak merokok, keluar rumah pake pakean adat dengan sumpang bunga (bunga di kuping) dan bija (beras) di jidat tapi ujung2nya ngomongin jelek orang lain di jalan. Kami merasa lebih terhormat dari pada mereka.

               “Yu bangun giliran cine (kamu) cuk!”, panggilann Bli Yudistira samar2 terdengar begitu juga terangnya bintang menjadi samur, ketika rasa kantuk bercampur nge-fly tidak sanggup aku tahan.

              “Nah ulehang ba ditu (ya urus dah sana)!”, jawabku sekedarnya pada mereka, semuanya gelap, trotoar beton ini nyaman seperti kasur hotel bintang lima ketika dalam kondisi begini.

             “Seek..Seek..Seekk”, suara terdengar nyaring ketika aku melihat wanita tua membungkuk nyapu di pelataran candi yang begitu megah, sesaat dia berhenti dari pekerjaanya, pangkal sapu lidi diketok dengan telapak tangan agar rata kembali, dia menoleh kerahku kemudian tersenyum dengan wajah tuanya yang damai.

             “Ba saget truna jani, meme ne jumah ngantiang, mulih-mulih malu (sudah dewasa sekarang, ibumu dirumah menunggu, pulanglah dulu)”, ucapnya padaku, aku tersenyum menyadari siapa dia .

            “Yeh dadong, jani ba Yu mulih dong (oh nenek, sekarang dah Yu pulang nek)”. Wanita tua itu mengangguk tersenyum padaku, kemudian kembali melanjutkan menyapu dedaunan kering yang berserakan diatas lantai batu.

             “Seek..Seek..Seekk”,suara sapu lidi terdengar dengan sangat jelas dikupingku saking jelasnya bahkan lidinya terasa menyentuh jari kaki,

         “Wee! Bangun!”, aku bangun kepupungan (terperanjat) mendengar suara sudah beganti menjadi suara wanita muda,

             “Yeh Wahyu dini (disini) tidur!”, aku dongakan kepala melihat seorang wanita paruh baya memegang sapu dan menarik keranjang berisi sampah.

           Mataku berkeliling melihat sekitar yang ternyata masih diatas trotoar pertigaan jalan desa,

          “Ae (iya) ketiduran saya tadi wak (bibi)” ucapku pada petugas kebersihan jalan itu, dia menggeleng keheranan

                “Tenaga anak muda masih fit, tidur disini tidak masuk angin, sana pulang ajak temenmu, ini sudah jam 4 pagi!”, ucapnya kemudian melangkah berlalu.

            “Parah!”, aku liahat para sahabatku terbaring berjejer di trotoar seperti sarden di kaleng. “Bangun wee!!” mereka terperajat bangun mengucek mata, kami ahirnya bubar menuju rumah masing2.

            Motor klasik sudah sampai gang depan rumahku, aku matikan agar tidak membangunkan tetangga sebab masih ada 4 rumah dan tegalan (kebun) yang harus dilewati menuju rumahku meskipun rumah disini pondokan bengang (rumah sederhana biasanya digunakan petani beristirahat dengan jarak antar rumah berjauhan), tetap saja malu kalo berisik

           Langkah kaki dan suara putaran laher menyusuri gang selebar 1 mobil itu, gelap sekali cuma ada penerangan lampu 5 watt kecil itu pun hanya menerangi depan rumah, sehingga dari kejauhan terlihat 4 pijar kuning berbaris dan 1 cahaya putih di kejauhan yang merupakan penerangan depan rumahku.

           Aku sudah terbiasa pulang malam sehingga tidak ragu melangkahkan kaki di jalan kecil dengan hamparan sawah dan kebun milik warga, suara anjing berderit dan jangkrik melolong tidak akan menakutiku.

            Rumah pertama aku lalui pastinya sang pemilik masih terlelap dengan lampu kamar dimatikan, setelah rumah pertama berikutnya adalah kebun tebu yang menjulang lebat.

             Suara daun tebu yang bergesekan sudah biasa aku dengarkan, rumah kedua pun berlalu, biasanya disini anjing akan menyalak dan kemudian diam ketika sudah mengenali aku yang melintas, tapi kali ini anjinnya seperti ikut terlelap. Aku dongakan kepala tersisa 3 pijar lampu kuning dan pijaran putih 15watt lampu rumahku yang sudah dekat.

           Barulah seketika merinding menjalar kebadanku, “Bukannya aku sudah lewatin 2 lampu”, aku berhenti sesaat ketika sudah sampai di depan rumah ketiga dibawah lampunya, didepan sana masih bercahaya 2 lampu, entah kenapa lampu paling ujung dekat rumahku sekarang bisa bergerak meluncur terjatuh pelan seperti meeteor menukik belok kearah kebun disebelahnya.

           “Aduhhh..aduhh..aduhh..!!”, kakiku gemetar tidak bertenaga melangkah apalagi mendorong motor, aku adalah pemuda paling penakut didesa ini semua orang tau itu meski badanku besar dan tatooan.Ingin aku berbalik nginap dirumah kawanku, tapi teringat akan ibuku, aku harus pulang, kasihan ibu tidak ada aku yang mengurusnya.

            Aku beranikan diri tetap melangkah maju, entah apa yang ada disana asalkan aku tidak menganggangu begitu juga dia, perlahan ban berputar menuju rumahku, begitu melewati kebun dimana bola cahaya itu berbelok aku paksakan tidak menoleh, tapi kenapa selalu saja bola mataku ingin melirik ada apa disana, sambil terus mendorong terpaksa aku biarkan mataku sedikit menoleh kesana.

         Lahan kosong dengan pohon pisang dan kelapa juga hamparan rumput serta kandang sapi dengan sapi yang tertidur lelap, dan juga seekor kuda berdiri didepan kandang sapi menatapku .

         “Haahh?!!, Jaran (Kuda)?!”, aku tengokan lagi kepalaku kesana, iya seekor kuda berdiri dan memandangiku, dua kaki belakang kuda itu pendek sekali tapi kaki depannya begitu panjang menjulang hanya satu, kuda itu hanya memiliki 3 kaki sangat tidak proposinal, matanya mengeluarkan cahaya, dan meringkih “Hiiikkk!!, Kletok, Kletok Kletok!!”, kuda itu perlahan sekali berjalan ke arahku.

           kuda itu berwarna gelap, tertatih mendekat kearahku, 24 tahun hidupku tinggal disini baru pertam kali aku melihat kuda aneh begitu, terlebih lagi beberapa kali mata aku kedipakn tetap saja semakin mendekat. 

Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XI Sudut Lain
ilustrasinya bagus, terimakasi pada siapapun yang totalitas menggambarnya di internet.

           “Ampuraaaa Ampuraaa, (maaf)!!”, aku berbisik kencang mendorong motorku menanjak sekuat tenaga, sampai didepan gerbang rumah, untungnya belum dikunci, sehingga bisa aku trobos meninggalkan motorku diluar.

          Tanpa cuci muka atau cucui kaki segera aku ambil gulungan kasur diatas sofa, subuh ini aku mau tidur dilantai kamar ibuku, takut kalo tidur dikamar sendirian

           “Kerook” aku buka perlahan pintu kamar ibuku, aku nyalakan lampu tidak seorangpun diatas ranjang, “Me (bu)!!”, aku menjerit memanggilnya, disaat genting seperti ini ibuku entah kemana.

           “Jangan2 ibu diluar!”, aku segera berlari keluar, denan senter HP yang sudah ngedrop aku beranikan buka pintu gerbang rumahku.

          “Waaaaa!”, aku menjerit, melihat wajah terang terkena flash HP tepat didepanku
Hus.. de uyut! (jangan berisik!)”, sosok yang aku kira setan itu ternyata ibuku, dia berada didepan pintu gerbang dengan tongkat kesayangannya.

         “Meme jam mone kija gen? (ibu jam segini kemana aja?)”, aku merasa lega kemudian memegang lengannya membantu berjalan memasuki pekarangan rumah, dengan tertatih ibuku berjalan, tubuhnya sulit bergerak, hampir sudah 5 tahunan lebih ibuku pincang kata dokter masalahnya ada di sendi lututnya yang kropos.

           Setelah di ronsen tulang ternyata sendi lutut ibuku sehat, ahirnya didiagnosa asam urat tapi saat di cek normal. Begitu juga asam lambungnya yang sering kambuh, sehingga tidak bisa makan sembarangan, meski aku ragu dokter langganan kami ini asal tebak atau bagaimana.

           “Ngantiang Yu sing mulih (nunggu Yu gak pulang2)”, ucapnya gemetar kedinginan, aku merasa bersalah sampai membuat ibuku masuk angin menunggu kepulanganku sementara aku sengaja nyari angin bergembira diluar sana.

         “Me (bu) tadi Yu lihat ada kuda serem”, kataku, “Tidak ada me (ibu) lihat dari tadi” jawabnya singkat.

          “Klek”, suara saklar yang membuat lampu teras menyala, dari kamar sebelah Bapakku keluar memakai kolor dan berjalan memegangi tembok, badanya kurus akibat gula darah, yang konon juga kata dokter keluarga yang selalu pusing menangani penyakit orang tuaku yang tidak jelas.

         “Uyut sajaan lek ati jak pisagane! (ribut sekali malu sama tetangga!)”, Bapakku terlihat marah, “Pak mara ada ne aeng tepuk Wahyu (Pak tadi ada yang serem Wahyu lihat)”, kataku menenangkan amarahnya, Bapakku diam beradu pandangan tajam dengan ibuku.

         “Nah mai (mari) tidur”, aku segera menarik lengan ibuku, mencegah mereka berdua berantem lagi. Didalam akamr aku membantunya berbaring, aku ambilkan minyak urut dan mengoleskan dikaki ibuku, kemudian membantunya memakai selimut, aku dekatkan ember suapaya nanti ibuku tidak perlu jauh2 ke toilet. Aku putuskan tidur di kamarku hari ini agar lebih puas lagi pula sudah hampir pagi.

      HP yang mati kehabisan batre aku carger buat muter sound sistem di ladang biar semangat joged sambil nyari rumput pakan sapi.

         “Kukuruyuk..” suara ayam aduan pliharaan Bapakku hanya memberikan 3 jam aku menikmati tidur.

         Ahhhh!!!”, segar sekali badanku, mumpung pagi aku mau keluar membelikan sarapan bubur untuk ibu dan bapakku. 

         Isi batre HP lumayan 75%, aku nyalakan sebagai teman menunggu di warung nanti, begitu menyala banyak notifikasi masuk, dari Chat temanku yang menanyakan aku aman sampai rumah, segera aku balas singkat “Aman”.

            juga beberapa Chat tidak penting dari sales pupuk dan bibit, Chat dari Mira, dan mekelar sapi teman bapakku.

            “Hah??!!”, rasa ngantuku hilang ketika ada Chat dari Mira masuk ke HP ku, “mana mungkin?!”, segera tergesa aku buka dengan jantung berdetak.

Aku   : Hay boleh kenalan gak?

Mira : (tidak merespon)

Aku   : sombong sekali

Mira : maaf bli saya sudah punya pacar!

Aku   : sombong ajaan kamu nok, awas nguberin nah!
(sombong banget kamu, awas ngejar2 aku nanti!!)

 
                Mulutku menganga membacanya, siapa yang tega begini, pasti temanku membuka WA pas aku sedang tertidur, pikiraku  kacau, marah, malu, bingung, semuanya menjadi satu.

           “BA**KE!!!..” teriakanku pagi ini membuat semua ayam dihalaman rengas (berlarian)

             Brsambung.....
nona212Avatar border
mastercasino88Avatar border
mastercasino88 dan nona212 memberi reputasi
2
341
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan