- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ibu, Aku ingin Pulang


TS
arganov
Ibu, Aku ingin Pulang
Ibu, Aku Ingin Pulang 4
Apa itu kesepian? Apa sendirian tidak kesepian? Jawabannya tidak. Aku sama sekali tidak merasa sepi, hanya bosan. Bosan karena yang aku kerjakan sama sekali tidak berarti. Aku kerja, uang ditabungan bertambah, hanya saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan itu.
Mbak Syl selalu menyuruhku pulang, katanya sudah waktunya aku berdamai. Aku waktu itu tertawa. Memang aku berdamai pada siapa? Aku tidak bertengkar dengan siapa pun. Ibulah yang membuangku darikehidupannya. Rasa sakitnya masih kurasakan hingga sekarang. Ingat, tidak ada seorang bayi pun lahir kedunia yang mau jadi anak haram. Para dewasalah yang melakukan perbuatan haram, bukan aku.
"Sial." Karena melamun telur yang sedang kugoreng hangus. Padahal hanya tinggal sebutir di dalam kulkas. Aku menghela napas panjang, mungkin aku memang kesepian. Aku menatap jendela. Di luar sudah gelap. Apa yang ibu lakukan sekarang?
Samar sama kucium aroma masakan yang mengguar dari luar. Aroma cabe yang khas. Aku rindu dengan masakan Ibu yang sederhana.
***
Ibu tidak pernah meninggalkan aku lagi sendirian di rumah. Jika akan pergi, aku selalu dibawa. Ia takut aku menganggu suaminya lagi. Cih, padahal melihat pria hidung belang itu saja aku muak. Apalagi berlama-lama bersamanya.
Hari itu adalah dua hari sebelum kelulusan di SMA. Ia mengajakku ikut serta untuk bekerja di rumah majikannya. Di rumah Kak Tania. Kak Tania yang waktu itu menyebabkan aku mendapat masalah. Sekarang ia tak lagi ada di rumah, sedang kuliah katanya di kota Jakarta. Untuk ia yang keluarganya kaya raya, tak masalah biaya berapa pun. Belum akan habis harta kekayaan yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun. Seperti mengikis debu di kaca. Debunya yang hilang kacanya tak berkurang.
"Kamu akan ke mana jika sudah lulus sekolah?" Ibu sama sekali tak memandangku saat bicara. Hanya punggungnya yang kulihat.
"Mungkin ke kota besar seperti Kak Tania." Aku mengelap piring dan meletakkan di rak. "Aku tak akan menyusahkan Ibu."
"Sebaiknya begitu." Ibu tak melarang. Nada suaranya juga tak berubah sedih atau kehilangan.
Baca juga Ibu, Aku Ingin Pulang 5
Terngiang bagaimana aku dicampakkan hari itu. Benar juga aku sudah dianggap tak ada. Ia bilang menyesal memilikiku. Terluka. Jelas dan lukanya makin dalam. "Ibu tak akan merindukanku?" Suaraku bergetar. Siap menangis. Jika ia mengatakan satu kalimat saja berisi kerinduan pada putrinya jika tak ada lgi di sisinya. Aku akan berbalik dan berkali-kali meminta maaf.
"Kenapa?"
Bulat sudah. Pertanyaannya sudah menjelaskan semuanya. Aku tak menjawab dan hanya diam saja.
Hari itu pun tiba. Dia tak mengantarku. Aku juga tak meminta. Di dalam hati aku bertekad. Jika ini terakhir kali melangkahkan kaki di kampung. Aku sudah tidak punya tempat kembali. Aku sudah diusir.
Walau aku yakin, setiap waktu aku akan merindukan tempat ini. Aku akan merindukan Ibu. Aku akan merindukan kehangatannya. Merindukan tangan kapalannya waktu itu. Aku akan rindu untuk pulang dan memeluk Ibu
***
Jam menunjukkan pukul 10.00 pm. Sebentar lagi jam kerja shif keduaku habis. Lega rasanya. Aku baru membuka lokerku saat telepon genggam bergetar. Siapa yang meneleponku selarut ini? Tidak mungkin Mbak Syl. Dia bilang akan honey moon selama beberapa waktu. Ah, bisa saja dia bertengkar dengan suaminya dan ingin mengadu padaku. Saat aku memeriksa nomor panggilan sebelum mengangkat, itu dari nomor tak dikenal. Aku was-was.
"Halo?" Ragu-ragu kubertanya.
"Ini Melati, kan?"
Suaranya amat familiar di telingaku, tapi siapa?
"Syukurlah. Aku pikir kamu ganti nomor. Aku teman sekolahmu, Mel. Kita satu SMA. Aku Najwa."
Memori kuputar dengan cepat. Aku ingat Najwa, gadis bongsor yang duduk di sekolahku.
"Ya, aku ingat. Ada apa, Wa?" tanyaku. Perasaanku mulai nyaman.
"Kamu harus pulang Mel. Jika masih ingin bertemu ibumu."
Dunia berputar tanpa arah dengan cepat di sekitarku kini.
Apa itu kesepian? Apa sendirian tidak kesepian? Jawabannya tidak. Aku sama sekali tidak merasa sepi, hanya bosan. Bosan karena yang aku kerjakan sama sekali tidak berarti. Aku kerja, uang ditabungan bertambah, hanya saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan itu.
Mbak Syl selalu menyuruhku pulang, katanya sudah waktunya aku berdamai. Aku waktu itu tertawa. Memang aku berdamai pada siapa? Aku tidak bertengkar dengan siapa pun. Ibulah yang membuangku darikehidupannya. Rasa sakitnya masih kurasakan hingga sekarang. Ingat, tidak ada seorang bayi pun lahir kedunia yang mau jadi anak haram. Para dewasalah yang melakukan perbuatan haram, bukan aku.
"Sial." Karena melamun telur yang sedang kugoreng hangus. Padahal hanya tinggal sebutir di dalam kulkas. Aku menghela napas panjang, mungkin aku memang kesepian. Aku menatap jendela. Di luar sudah gelap. Apa yang ibu lakukan sekarang?
Samar sama kucium aroma masakan yang mengguar dari luar. Aroma cabe yang khas. Aku rindu dengan masakan Ibu yang sederhana.
***
Ibu tidak pernah meninggalkan aku lagi sendirian di rumah. Jika akan pergi, aku selalu dibawa. Ia takut aku menganggu suaminya lagi. Cih, padahal melihat pria hidung belang itu saja aku muak. Apalagi berlama-lama bersamanya.
Hari itu adalah dua hari sebelum kelulusan di SMA. Ia mengajakku ikut serta untuk bekerja di rumah majikannya. Di rumah Kak Tania. Kak Tania yang waktu itu menyebabkan aku mendapat masalah. Sekarang ia tak lagi ada di rumah, sedang kuliah katanya di kota Jakarta. Untuk ia yang keluarganya kaya raya, tak masalah biaya berapa pun. Belum akan habis harta kekayaan yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun. Seperti mengikis debu di kaca. Debunya yang hilang kacanya tak berkurang.
"Kamu akan ke mana jika sudah lulus sekolah?" Ibu sama sekali tak memandangku saat bicara. Hanya punggungnya yang kulihat.
"Mungkin ke kota besar seperti Kak Tania." Aku mengelap piring dan meletakkan di rak. "Aku tak akan menyusahkan Ibu."
"Sebaiknya begitu." Ibu tak melarang. Nada suaranya juga tak berubah sedih atau kehilangan.
Baca juga Ibu, Aku Ingin Pulang 5
Terngiang bagaimana aku dicampakkan hari itu. Benar juga aku sudah dianggap tak ada. Ia bilang menyesal memilikiku. Terluka. Jelas dan lukanya makin dalam. "Ibu tak akan merindukanku?" Suaraku bergetar. Siap menangis. Jika ia mengatakan satu kalimat saja berisi kerinduan pada putrinya jika tak ada lgi di sisinya. Aku akan berbalik dan berkali-kali meminta maaf.
"Kenapa?"
Bulat sudah. Pertanyaannya sudah menjelaskan semuanya. Aku tak menjawab dan hanya diam saja.
Hari itu pun tiba. Dia tak mengantarku. Aku juga tak meminta. Di dalam hati aku bertekad. Jika ini terakhir kali melangkahkan kaki di kampung. Aku sudah tidak punya tempat kembali. Aku sudah diusir.
Walau aku yakin, setiap waktu aku akan merindukan tempat ini. Aku akan merindukan Ibu. Aku akan merindukan kehangatannya. Merindukan tangan kapalannya waktu itu. Aku akan rindu untuk pulang dan memeluk Ibu
***
Jam menunjukkan pukul 10.00 pm. Sebentar lagi jam kerja shif keduaku habis. Lega rasanya. Aku baru membuka lokerku saat telepon genggam bergetar. Siapa yang meneleponku selarut ini? Tidak mungkin Mbak Syl. Dia bilang akan honey moon selama beberapa waktu. Ah, bisa saja dia bertengkar dengan suaminya dan ingin mengadu padaku. Saat aku memeriksa nomor panggilan sebelum mengangkat, itu dari nomor tak dikenal. Aku was-was.
"Halo?" Ragu-ragu kubertanya.
"Ini Melati, kan?"
Suaranya amat familiar di telingaku, tapi siapa?
"Syukurlah. Aku pikir kamu ganti nomor. Aku teman sekolahmu, Mel. Kita satu SMA. Aku Najwa."
Memori kuputar dengan cepat. Aku ingat Najwa, gadis bongsor yang duduk di sekolahku.
"Ya, aku ingat. Ada apa, Wa?" tanyaku. Perasaanku mulai nyaman.
"Kamu harus pulang Mel. Jika masih ingin bertemu ibumu."
Dunia berputar tanpa arah dengan cepat di sekitarku kini.
Diubah oleh arganov 16-06-2020 13:09






pulaukapok dan 3 lainnya memberi reputasi
4
786
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan