erisna3363Avatar border
TS
erisna3363
Ana Uhibbuka Fillah
1. Awal Masuk Pesantren

.

Suara adzan ashar berkumandang, saat baru saja kupijakkan kaki di teras depan rumah Abah Yai Abdul Aziz, guru mengajiku yang sekarang. Alhamdulillah.

Sudah dua bulan aku mondok di sini, di Pesantren Darussalam. Suasana yang sejuk dan asri, khas pondok pesantren di pedesaan. Berbeda dengan pesantren yang dulu kutempati, karena padatnya bangunan khas perkotaan sehingga membuat udara di sekitarnya menjadi panas.

"Assalamu'alaikum." Sambil mengetuk pintu aku memberi salam.

Terdengar suara deritan pintu terbuka, "wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh."

Seorang wanita separuh baya membukakan pintu. Terlihat begitu anggun, dengan pakaian gamis berwarna maroon dan jilbab instan senada, serta senyuman ramah khasnya menyambut tamu. Ya, dia Ummi Khaddijah, istri abah yai.

"Nak Yusuf, mari silahkan masuk. Abah Yai ada di dalam," ujarnya ramah.

"Tidak usah Ummi, saya cuma mau mengantar ini, setoran uang bulanan para santri. Kebetulan sudah adzan, saya mau langsung ke masjid saja." Sembari memberikan amplop berwarna cokelat, aku pun sekalian pamit ke masjid.

Beliau pun menerima amplop tersebut, "Ya sudah, terima kasih ya. Hati-hati di jalan." Ujarnya kemudian.

"Sama-sama, Ummi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh."

Masih terdengar suara lembut Ummi Khaddijah di telinga, saat aku keluar dari gerbang rumah Abah Yai Abdul Aziz. Sungguh, betapa beruntungnya beliau mendapat jodoh seperti Ummi Khaddijah, yang begitu baik dalam segala hal. Andai, aku mendapat jodoh seperti beliau juga ....

Ah! Apaan sih. Kok aku jadi ngelantur gini? Jodoh 'kan sudah ada yang mengatur, kenapa juga aku harus galau begini?

Memang sih, di usiaku yang sudah matang seperti ini, siapa juga yang nggak kepikiran sama jodoh? Sedangkan aku, tersentuh hatinya oleh wanita pun tidak. Sudah berkali-kali Ayah mencarikan jodoh untukku, tapi tak ada satupun yang aku terima. Alasannya, aku masih ingin memperdalam ilmu agama. Hingga aku memutuskan untuk pindah ke pesantren ini.

Pertama kali masuk di sini, banyak sekali yang harus kusesuaikan. Terutama lingkungan. Tapi aku termasuk orang yang mudah bergaul, jadi semua tidak jadi masalah.

Satu bulan kemudian, aku di suruh Abah Yai untuk mengajar santri yang pengetahuannya masih di bawahku. Awalnya aku sedikit keberatan, tapi setelah Abah Yai memberi penjelasan, bahwa apa sudah aku dapatkan selama ini, haruslah diamalkan. Agar bisa bermanfaat di dunia dan akhirat, akupun menyetujuinya.

Memang benar, segala sesuatu yang kita miliki, semata-mata bukan hanya milik kita saja. Tapi ada sebagian, yang merupakan milik orang-orang yang berada di bawah kita. Seperti kita saat mendapat sejumput benih padi. Jika padi tersebut kita simpan saja, maka sejumput itulah yang kita miliki. Lain halnya kalau kita tanam. Sejumput padi itu bisa bertambah berlipat-lipat, sampai bisa menjadi sekarung, begitu seterusnya. Begitu juga dengan ilmu yang kita miliki.

"Jika seorang manusa meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya" (HR. Muslim)

Tak terasa, lima menit sudah aku berjalan. Di depan sana sudah terdengar suara muadzin mengumandangkan iqomah. Aku pun segera mempercepat langkahku.

***

Bersambung
Diubah oleh erisna3363 09-06-2020 13:06
nona212Avatar border
PupilsxoneAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
308
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan