- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Warga di Makassar Ramai-ramai Tolak Rapid Test Massal


TS
pasti2periode
Warga di Makassar Ramai-ramai Tolak Rapid Test Massal

Quote:
Di tengah tingginya penyebaran virus corona atau Covid-19 di Kota Makassar, sejumlah warga di pelbagai wilayah menolak untuk melakukan rapid test massal.
Mereka menilai bahwa rapid test dijadikan lahan bisnis semata.
Ekspresi penolakan tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan pada spanduk, seperti yang terlihat di ujung gang di Jalan Barukang, Kelurahan Panampu, Kecamatan Mamajang, ‘Menolak keras rapid test Covid-19 dan ‘Corona Virus Mafia’.
Penolakan serupa juga tampak di Jalan Da’wah, Kecamatan Tallo yang membentangkan spanduk menutup gang ‘Kami warga Da’wah menolak keras!! Rapid tes #bukan lahan bisnis’.
Warga Parang Layang, Kecamatan Bontoala, juga melakukan penolakan yang sama. ‘Warga Parang Layang Menolak Rapid Test Covid-19 Menerima Sembako’.

Camat Bontoala, Syamsul Bahri, mengatakan spanduk tersebut sudah turun setelah pihaknya melakukan edukasi kepada warga setempat.
“Hanya kesalapahaman informasi, Alhamdulillah mereka sudah paham. Mereka mendengar isu-isu luar,” kata dia.
Syamsul mengatakan pemerintah pasti akan memberikan informasi kepada warga dan edukasi soal penaganan Covid-19.
“Amanmi Bontoala yang tutup Jalan sudah dibuka,” kata dia kepadaterkini.id, Minggu, 7 Juni 2020.
Kendati begitu, ia mengatakan, saat ini, belum ada rapid test massal di Kecamatan Bontoala.
Berbeda dengan itu, Camat Tamalate, Hasan Sulaiman menyampaikan jika pihaknya telah menempuh segala cara, termasuk tindakan persuasif dengan warganya namun hasilnya nihil.
Sebagian warga, kata dia, memang bersikeras tidak mau melakukan rapid test.
“Kalau memang nyata-nyatanya punya gejala awal seperti itu (Covid-19), tinggal disampaikan ke masyarakat sekitar. Kita edukasi masyarakat sekitar supaya ia tidak melaksanakan aktivitas di luar, Begitupun masyarakat di sekitarnya (zona merah) tidak melakukan interaksi,” kata Hasan.
Sementara, Camat Wajo Ansaruddin mengaku heran dengan penolakan rapid test di daerahnya. Pasalnya, kata dia, memang tak ada rapid test massal di Kecamatan Wajo.
“Kita sudah beri pemahaman bahwa tidak ada rapid test di sana. Tidak ada program rapid test di Wajo,” kata dia.
Penolakan warga, kata dia, lantaran banyaknya isu yang beredar sehingga terjadi missinformasi.
“Apa yang mau ditolak kalau tidak ada (rapid test),” ungkapnya.
Pengamat pemerintahan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Priyanto menyebut, penolakan warga atau resistensi pada rapid test massal hanyalah dampak dari distorsi informasi tentang penanganan wabah Covid-19.
Pemerintah, kata dia, tidak cukup dipercaya warga dalam penyelenggaraan layanan rapid test.
“Selama ini, pemerintah dan otoritas kesehatan belum bisa memberi penjelasan yang meyakinkan soal posisi rapid test, terutama soal akurasinya yg banyak di ragukan,” ucap Luhur, Minggu, 7 Juni 2020.
Menurutnya, posisi seperti itu telah menimbulkan keresahan dan ketidakpastian status medis setelah menjalani rapid test.
“Pemerintah yang tertutup dan minus transparansi akan memicu public distrust. Trust atau kepercayaan publik bisa lahir kalau pemimpin atau komunikator pemerintah bisa menyampaikan informasi kebenaran (truthful information),” kata Luhur.
Oleh karena itu, pemerintah di seluruh tingkatan, kata Luhur, dituntut menyampaikan informasi dengan penuh empati, kejujuran, dan keterbukaan dalam menyampaikan informasi soal rapid test ini.
“Tanpa langkah-langkah komunikasi seperti itu, perlawanan demi perlawanan warga, akan terus terjadi. Sebuah sikap yang sedang mempertaruhkan pengorbanan tenaga medis dan kesehatan, yang sedang berjuang di garis depan perlawanan atas pandemi Covid-19,” tegasnya.
Anggota DPRD Makassar, Wahab Tahir mengatakan hal serupa. Ia menilai, saat ini, masyarakat kurang mendapatkan penjelasan yang baik dari Pemerintah Kota Makassar terkait alat rapid test ini. Sehingga, kata dia, mengakibatkan adanya gelombang penolakan dari warga.
“Inilah peran Pemerintah Kota Makassar untuk melakukan edukasi, apa itu rapid test, apa Swab, apa PCR. Itukan perlu disampaikan kepada masyarakat,” ucap Ketua Komisi D DPRD Makassar itu.
Wahab menyatakan, masyarakat trauma saat mereka dinyatakan reaktif dan akan melakukan isolasi salama 14 hari. Penolakan rapid test di sejumlah wilayah, kata dia, menjadi perhatian DPRD.
“Yang menggelitik adalah kejadiannya yang hampir bersamaan, serentak dan itulah yang sedang kita amati,” pungkasnya.
Sementara, pihak Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini Juru Bicara Penanganan Covid-19, Ismail Hajiali belum merespons.
Mereka menilai bahwa rapid test dijadikan lahan bisnis semata.
Ekspresi penolakan tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan pada spanduk, seperti yang terlihat di ujung gang di Jalan Barukang, Kelurahan Panampu, Kecamatan Mamajang, ‘Menolak keras rapid test Covid-19 dan ‘Corona Virus Mafia’.
Penolakan serupa juga tampak di Jalan Da’wah, Kecamatan Tallo yang membentangkan spanduk menutup gang ‘Kami warga Da’wah menolak keras!! Rapid tes #bukan lahan bisnis’.
Warga Parang Layang, Kecamatan Bontoala, juga melakukan penolakan yang sama. ‘Warga Parang Layang Menolak Rapid Test Covid-19 Menerima Sembako’.



Camat Bontoala, Syamsul Bahri, mengatakan spanduk tersebut sudah turun setelah pihaknya melakukan edukasi kepada warga setempat.
“Hanya kesalapahaman informasi, Alhamdulillah mereka sudah paham. Mereka mendengar isu-isu luar,” kata dia.
Syamsul mengatakan pemerintah pasti akan memberikan informasi kepada warga dan edukasi soal penaganan Covid-19.
“Amanmi Bontoala yang tutup Jalan sudah dibuka,” kata dia kepadaterkini.id, Minggu, 7 Juni 2020.
Kendati begitu, ia mengatakan, saat ini, belum ada rapid test massal di Kecamatan Bontoala.
Berbeda dengan itu, Camat Tamalate, Hasan Sulaiman menyampaikan jika pihaknya telah menempuh segala cara, termasuk tindakan persuasif dengan warganya namun hasilnya nihil.
Sebagian warga, kata dia, memang bersikeras tidak mau melakukan rapid test.
“Kalau memang nyata-nyatanya punya gejala awal seperti itu (Covid-19), tinggal disampaikan ke masyarakat sekitar. Kita edukasi masyarakat sekitar supaya ia tidak melaksanakan aktivitas di luar, Begitupun masyarakat di sekitarnya (zona merah) tidak melakukan interaksi,” kata Hasan.
Sementara, Camat Wajo Ansaruddin mengaku heran dengan penolakan rapid test di daerahnya. Pasalnya, kata dia, memang tak ada rapid test massal di Kecamatan Wajo.
“Kita sudah beri pemahaman bahwa tidak ada rapid test di sana. Tidak ada program rapid test di Wajo,” kata dia.
Penolakan warga, kata dia, lantaran banyaknya isu yang beredar sehingga terjadi missinformasi.
“Apa yang mau ditolak kalau tidak ada (rapid test),” ungkapnya.
Pengamat pemerintahan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Priyanto menyebut, penolakan warga atau resistensi pada rapid test massal hanyalah dampak dari distorsi informasi tentang penanganan wabah Covid-19.
Pemerintah, kata dia, tidak cukup dipercaya warga dalam penyelenggaraan layanan rapid test.
“Selama ini, pemerintah dan otoritas kesehatan belum bisa memberi penjelasan yang meyakinkan soal posisi rapid test, terutama soal akurasinya yg banyak di ragukan,” ucap Luhur, Minggu, 7 Juni 2020.
Menurutnya, posisi seperti itu telah menimbulkan keresahan dan ketidakpastian status medis setelah menjalani rapid test.
“Pemerintah yang tertutup dan minus transparansi akan memicu public distrust. Trust atau kepercayaan publik bisa lahir kalau pemimpin atau komunikator pemerintah bisa menyampaikan informasi kebenaran (truthful information),” kata Luhur.
Oleh karena itu, pemerintah di seluruh tingkatan, kata Luhur, dituntut menyampaikan informasi dengan penuh empati, kejujuran, dan keterbukaan dalam menyampaikan informasi soal rapid test ini.
“Tanpa langkah-langkah komunikasi seperti itu, perlawanan demi perlawanan warga, akan terus terjadi. Sebuah sikap yang sedang mempertaruhkan pengorbanan tenaga medis dan kesehatan, yang sedang berjuang di garis depan perlawanan atas pandemi Covid-19,” tegasnya.
Anggota DPRD Makassar, Wahab Tahir mengatakan hal serupa. Ia menilai, saat ini, masyarakat kurang mendapatkan penjelasan yang baik dari Pemerintah Kota Makassar terkait alat rapid test ini. Sehingga, kata dia, mengakibatkan adanya gelombang penolakan dari warga.
“Inilah peran Pemerintah Kota Makassar untuk melakukan edukasi, apa itu rapid test, apa Swab, apa PCR. Itukan perlu disampaikan kepada masyarakat,” ucap Ketua Komisi D DPRD Makassar itu.
Wahab menyatakan, masyarakat trauma saat mereka dinyatakan reaktif dan akan melakukan isolasi salama 14 hari. Penolakan rapid test di sejumlah wilayah, kata dia, menjadi perhatian DPRD.
“Yang menggelitik adalah kejadiannya yang hampir bersamaan, serentak dan itulah yang sedang kita amati,” pungkasnya.
Sementara, pihak Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini Juru Bicara Penanganan Covid-19, Ismail Hajiali belum merespons.
SUMBER
tolak rapid tapi terima sembako
mirip2 kelakuan nasbung
tolak china
usir2 etnis tionghoa
tapi klo imlek
antri paling depan









marsonos dan 63 lainnya memberi reputasi
62
6.7K
Kutip
137
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan