Kaskus

Hobby

pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-X Pelarian
       Sorak suara ratusan orang diikuti langkah kaki yang berlari diringi gambelan bleganjur memeriahkan suasana kuburan ditengah sawah milik desa teteangga ini, sekitar terdengar ramai bagaikan orang mengarak Bade (menara pengusung jenazah), sangat meriah tapi hanya suara tanpa sedikitpun hujud yang ditangkap oleh mataku.

Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-X Pelarian
ilustrasi bade pengusung jenazah (gambar hanya ilustrasi acak dari mesin pencari)

          “Puput iriki manten suksema (cukup segiuni saja terimakasih)”, bisikan kata2 yang kemudian dilanjutkan tanagnku mengambil paksa kukusan bambu yang menjadi topi di kepala Odik, kemudian ku lempar kembali ketas  Pemuun (tempat pembakaran jenazah) kembali berkuimpul dengan saang (kayu bakar) yang sudah menjadi arang sebagian.

       “Huh!!” , Odik menghembuskan nafas panjang seperti orang nongol dipermukan habis tenggelam, matanya melihat sekeliling, aku pelahan melepaskan kuancianku dan mengusap lengan serta pakaianku yang kotor oleh daun kering.

           “Yon!, ci sing kal percaya apa ne tepukin cang, jani giliran ci nyoba (kamu gak bakal percaya apa yang aku lihat, sekarang giliranmu nyoba)”, Odik ngos2an berbisik, wajahnya penuh rasa ketakutan, pucat dengan keringat dingin yang mengucur di jidatnya, sesaat teringat akan misi sebelumnya, Odik kembali tiarap ke posisi semula setelah meangambil kaca matanya yang disankutkan di bambu patok pusaran bayi.

             “Sing perlu nyobak cang ba nawang, jani not gen ija bojoge to? (gak perlu nyoba aku sudah tau, sekarang lihat monyet itu dimana?)”, balasku berbisik, aku percaya banyak hal yang dia lihat,  bayangkan saja hanya dengan menyentuh badan Odik aku sudah bisa mendengar kengerian tempat ini apalagi sampai memakai topi kukusan itu, aku tidak mau gila seperti dia melisah (pontang-panting) di kuburan ini.

            Aku dan Odik kembali ke formasi tiarap awal di sebelah gundukan kuburan bayi, memutar hitam bola mata mencari sosok bojog gede (moyet besar) yang hilang di pandangan mata kami tadi, mataku berputar mencarinya sampai ahirnya tertuju pada pusaran.

          “Aduh ditu! (disana)”, aku mencolek pinggang Odik mengharap dia memperhatikan tempat yang sama denganku melihat sosok mahluk berbulu hitam lebat mertengger diatas patok nama milik neneknya Mira, dengan santainya mahluk itu bisa seimbang jongkok disana, kejengant -kejengit (cengar-cengir), seperti bojog ngamah lunak (monyet makan asem).

       “Kresek!”, dengan sekali hentakan kaki mahluk itu melompat dari batu nisan air, cepat sekali sampai mataku tidak mampu melihat pergerakannya, dia hilang lagi, mata ku memutar mancari entah dimana itu takutnya sih tetep dia nongol dibelakangku.

         “Plak!”, sebuah tepukan di bahuku membuatku menoleh ke Odik, yang memberi tanda dengan gelengan kepala, mataku mencari arah matanya memandang, terlihat didepan sana sebelah patung yang berisi keran air Wahyu dengan terburu memkakai kembali pakaianya.

         Matanya terlihat menunduk tak berani memandang sekitar, dengan teburu tanpa memperdulikan apaplun dia kenakan pakaian yang menjadi basah akibat air yang masih menempel di badannya.

         Wahyu memandang sekitar dengan panik ketika seluruh pakaian dia kenakan, “Krek!”, terdengar suara nyaring disebelahku, Wahyu menatap kerah tempat kami bersembunyi, aku dengan segera mekeledan (mundur) menyembunyikan wajah di balik gundukan tanah makam.


          Aku pandagi disebelahku si Odik tegang sampai urat wajahnya keluar yang  tidak sengaja tadi menindih ranting kering.

         “Ampura ampura (maaf)!”, terdengar suara Wahyu memelas ketakutan dibawah sana, perlahan kepalaku berderak menyembul dari balik gundukan tanah berusaha memastikan kemana si Wahyu.

        “AAAAA!!.. SETAN!!”, Wahyu berteriak memandang tepat kerahku, aku terkejut mendengarnya, begitu juga Odik.

           “Kleng kertara! (sial ketahuan!)”, Odik langsung nongol berdiri dari bebalik gelap rerimbunan, “Waaaa!!”, Wahyu berteriak melihat Odik berdiri, tanpa pikir panjang Wahyu berlari dengan kencang keluar gapura, Odik dengan cepat melompat Parkour dari atas tempatnya berguling di rerumputan tebal.

            “Yon mai (sini)!”, Odik mendongak kerahku yang masih tiarap, kambennya diikatkan ke pinggang dan segera menyusul langkah Wahyu yang begitu cepat berlalu.

           “Antiang cang (tunggu aku)!” sementara aku turun meniti anak tangga sambil memegang kamben layaknya rok Noni Belanda.

            “Woi!!!..” ditengah gelapnya malam, teriakan Odik terdengar jelas, sementara didepannya Wahyu ngacir begitu kencang, suara sendal bersautan memukul lantai aspal jalan yang membelah hamparan sawah itu.

Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-X Pelarian
ilustrasi jalan membelah sawah (gambar entah dimana bukan bagian dari cerita)

             “Ba***at!, pade becat gati melaib! (cepet banget larinya!)” aku berusaha dengan segenap tenaga mengejar mereka, langkah kakiku mungkin bersekali 2:1 dengan mereka, 2 langkah kakiku sama denagan 1 langkah kaki mereka yang panjang.

            “Yiihhaa hahaha!!!....”, aku paksakan tenagaku lari seperti Cowboy menunggang kuda hingga bisa menyalip si Odik dan mendekati Wahyu yang mulai melambat kelelahan.

         “We suud monto! (sudahlah!)”, aku Cumiik ngosngosan ketika tanganku berusaha meraih pundak baju yang Wahyu kenakan, merasakan kehadiranku dibelakanya, Wahyu membalikan badan dengan cepat membentakku dengan keras.

         “De amahe cang (jangan makan aku) Leak (mahluk jadian2an) !”, tangan kananya melesat kencang bersama pengutik dingengamannya, aku terkejut gelagapan berusaha meloncatkan badanku mundur secepatnya menghidari ujung logam tajam itu.

        “Cuiit!!” sabetan bilah terdegar bersiul menggesek udara, aku pegangi perutku dan meklangkah mundur, Wahyu menhentikan pelariannya dan melihatku, wajahnya beguitu terkejut melihatku yang ternyata Manusa Bungkulan (manusia asli), tangannya gemetar melihat ujung pisau ditangannya, aku aku lihat bajuku yang sobek dengan kulit tanpa lecet sedikitpun, Wahyu  melongo melihat itu.

        “Cang ba ngoiranaang suud monto!, (aku sudah bilang sudahlah!)”, ucapku padanya, Wahyu nosngosan “Kletek” membuang pengutik ke asapal kesebelahnya.

            “Nas k**ng ci (sialan kamu) @#$%^&..!!!..”, Odik menerjang dari belakangku, telapak kakinya dengan begitu sempurna mendarat di pipi Wahyu “Brukkk!!”, suara benturan sandal kulit sapi dengan kulit wajah manusia menunjukan reaksi yang tidak seimbang.

         Wahyu terpelanting tumbang darah mengalir dari hidung dan mulutnya, aku yang selama ini mengenal Odik sebagai orang yang agak penakut syok melihatnya berubah menjadi anak yang sangat garang. Wahyu mengusap darah dimulutnya, giginya mengerat emosi meandang sosok yang lancang menendangnya.

          Tangan yang penuh urat otot dan tato itu mengepal akan membalas, namun ketika wajah berkacamata terlihat oleh cahaya penerangan lampu kecil bertiang bambu tepi jalan, tangan Wahyu mengendor lunglai menyentuh aspal, wajah Wahyu terlihat pasrah berhadapan dengan wajah merah padam milik Odik.

          “Ngudiang ci nyuang tunangan cange!!!, (kenapa kamu ngambil pacarku!!!)”, tanpa ampun Odik mengamuk melepaskan pukulan dan tendangannya membabi buta kerah Wahyu yang masih duduk di aspal.

           “Plak! Pluk! Plak! Pluk!”, suara benturan kepalan tangan dengan wajah terdengar mirib rotan menghantam batal yang dijemur, aku menyaksikan beberapa detik tersadar melihat Wahyu tidak menangkis apalagi menghindari terjangan tangan dan kaki si Odik.

         “We suud monto!, (sudah selesai dah!)”, dengan semangat meski tak memakai celana hitam kemeja putih dan berdasi kupu2 aku mencoba melerai mereka, tarikan pada pinggang Odik tidak mampu membuatnya berhenti menghajar Wahyu yang tersungkur di ring aspal.

        Gajah tarung nyakcak (menghajar) gajah peladuk mati ditengah, seperti itulah pemandangan malam pekat ini, ketika aku mencoba meleraikan orang2 jangkung ini dari perbuatan yang menyenangkan kalau dilakukan rame2 itu.

         “Suud! (sudah!)”, bentaku dengan pelukan di pingngang dan tarikan paksa malkasang (memisahkan) Odik dari samsak hidupnya, Odik meronta dari pelukanku, “Lebang cang!!, (lepaskan aku!!)”, bentaknya,

          Wahyu bangun dari baringannya memamerkan wajahnya yang bonyok, darah mengucur dari hidung dan mulut, aku memandanginya “Wah!!.. amonto ba dal (dipukulin sebegitu) belum juga KO” aku begumam membayangkan kalo Wahyu ngamuk pasti tenaganya super mendingan aku kabur saja.

          “Lebangin be bli (lepasin aja bro), kalo belum puas biarkan saja”, Wahyu bersimpuh dihadapan kami mengusap darah di wajahnya, aku terkejut mendengar ucapanya yang mau nambah lagi, sementara Odik mulai lebih tenang terdian mendengar ucapan Wahyu.

          Wajahnya mendongak kearah aku dan Odik, terlihat Wahyu tersenyum tipis pasrah akan semua dosanya, aku menaikan alis tumben sekarang melihat target menyerah kalah tanpa perang, perlahan aku lepaskan Odik dari tanganku.

         “Ehh ba***at!, kenapa kamu merebut pacarku?!”, Odik membentak dengan nada yang sudah mulai melengking kecapean, telunjuknya menujuk kearah Wahyu yang bersimpuh dihadapannya.

          “Ampura (maaf), aku tidak bermaksud begitu”, ucapnya lirih, bagiku ini mirib ucapan ibunya tadi, tapi pamuputne (ahirnya) mauk (bohong).

          “Lalu apa arti dari semua ini!”, tanyaku padanya, dia menatap aku dan Odik, matanya berkaca-kaca mengalahkan badan besar dan tatoannya.

           “Aku sudah berusaha menjeleaskannya kesemua orang tapi tidak satupun yang percaya padaku!”, ekspersinya membuat aku tidak percaya manusia segarang dia bisa juga sedih.

          “Siapa yang percaya dengan semua yang aku saksikan!!,  jelas semua kamu penyebabnya!”, bentakan Odik membuat malam menjadi hening, “Sekarang cepat kamu sembuhkan Mira dari guna-guna yang kamu kirim!”, sambunya lagi dengan suara yang tidak kalah di-Gass Full.

          Wahyu terdiam berfikir sejenak dengan wajah keheranan, kemudian menggelengkan kepalanya “Aku tidak ada mengguna-guna Mira”.

         “Lalu bagaimana dia mau nurut sama kamu, bahkan bisa kamu bawa lari dan sekarang pengen nikah dengan kamu!”, Odik masih kenyat (ngotot) dengan segala bukti yang dia saksikan selama ini.

               “Mira melakukan semua itu atas kehendaknya sendiri”, Wahyu mencoba ngeles, aku yang muak dari tadi makan Les dan Bimbel merasa itu alasan yang dibuat-buat saja.

              “Mana ada gitu cing (njing)!, sudah jelas2 kamu ada hubungannya dengan perubahan Mira!”, Odik kembali menyela.

              “Harusnya kawanku ini yang nikah sama dia!”, aku menepuk pundak Odik, ternyata nimbrug di diskusi orang asik setelah aku mencobanya.

             “Mira sebenarnya sangat mencintai kamu, aku tau itu, begitu juga kamu yang sama rela berkorban untunya, tapi...”, entah sejak kapan Wahyu jadi bijak.

          “Tapi kenapa?” aku nimbruk lagi karena kadung jaen (terlanjur enak).
Hening sejenak Wahyu terlihat susah melanjutkan kata2nya seperti berfikir berat mengucapkan sesuatu yang agaknya tidak enak didengar.

           “Tapi..”, ucapan tertahan lama yang keluar dari Wahyu membuat Odik menatapnya dengan tajam penuh emosi.

           “Mekejangan puniki mula baikang milu nyarengin (semua ini memang aku ada sangkut pautnya), tapi apa yang terjadi ini semua bongkolne (pangkalnya) adalah”, Wahyu menatap Odik dengan datar dan suara lembut tapi hal itu cukup membakar emosiku yang udah capek2 sampai dimakan nyamuk kesini tapi sekarang diberikan teka-teki lagi.

            “Yeh nyen (lah siapa)?!”, Odik mendekati Wahyu ingin mencoba kembali nonjok muka orang yang pasrah gak ngelawan.

            “Plak” langkahnya terhenti dengan palangan tanganku, aku tatap wajah sahabatku dan menggelengkan kepala, kesadarannya kembali dari ledakan emosinya tadi mungkin Odik sudah bisa aku keleg (tekuk) jinak.

        “Minab len satwan ye ne Dik (mungkin beda persepsinya dia Dik)”, aku mengucapkan kata yang membuat odik menaikan alis kembali.

           “Liunan satwa cang ba med!!, (banyakan persepsi aku dah bosen!!), Odik menyindirku yang dari tadi hanya mendengar ocehan saja entah dari ibunya dan kini dari anaknya.

             “Kalo memang dia bisa menyembuhkan Mira kenapa kamu perlu aku?!, kenapa tidak dari dulu kamu seret saja dia kerumahnya Mira!”, jawabku menatap wajah Odik membalas kata2 yang membuatku kesal sambil menunjuk-nunjuk ke muka Wahyu.

            Odik terdiam ngenduk (melemah) mendengar ucapanku, “Sorry Yon aku emosi”, dipandanginya wajahku dengan raut menyesal.

            Aku memalingkan pandangan kepada Wahyu, “Yen mula len satwan cine kin cang sing kenapa, ( kalau memang persepsimu beda dengan persepsiku tidak apa)”, ucapku kepada tawanan perang yang bersimpuh dihadapan kami.

            “Lantes kenken satwan ci ne? (lalu gimana ceritamu?)”, aku menatap Wahyu dengan tatapan tajam mencoba mengintimidasi agar semua kebohongan tidak bisa dia sembunyikan dari gerak bola matanya, Wahyu mengusap wajahnya memandang penuh harap padaku.

         “Suksema sampun kayun miarsayang (terimakasi sudah mau mendengarkan), puniki bli (begini bro)”...

               Bersambung....
mastercasino88Avatar border
nona212Avatar border
nona212 dan mastercasino88 memberi reputasi
2
645
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan