Kaskus

Hobby

pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-VII
      Pepasangan (benda yang diletakan di rumah target dengan tujuan tertentu) jenis yang aku temukan ini sangatlah hebat, aku pernah mempelajarinya melalui beberapa pustaka lama yang aku kira bahwa hal seperti ini cuma jadi mitos jaman dulu, tapi ketika kini aku melihat hujudnya secara langsung aku percaya bahwa diluar sana masih banyak orang2 yang jauh lebih mistis dariku.

                “Kok bisa ada seperti ini di pekarangan kita Pak?”, ibunya Mira keheranan, sementara bapaknya Mira terdiam. “Apa ini tujuannya orang naruh beginian Gus?” sambung ibunya lagi.

                “sesuai namanya Grubug Karang Suung, (Grubug =wabah, Karang =pekarangan rumah, Suung = sepi), tujuannya untuk melenyapkan nyawa seisi pekarangan rumah ini, kalau tidak salah”, di luar dugaanku Odik menjelaskan dengan begitu tepat. Kalo saja ini quiz mungkin sudah dapat uang tunai dipotong pajak.

                “Mimih Ratu Betara!!, (Ya Tuhan!!), kok tega sekali sama keluarga saya?!”, ibunya Mira kelihatan syok mendengar ucapan Odik, matanya kembali memerah disertai nafas yang mulai sesak dan sempoyongan, sekarang gantian suaminya yang menenangkan.

Ohhh.. ternyata begini toh makna pepatah makuurenan jele melah salin isinin (berpasangan baik buruk saling mengisi), seandainya ada seseorang yang mengisi hidupku juga hah”, aku tersenyum membayangkan disaat seperti ini lamunanku jauh entah melayang kemana.

                “Apa ada buin gus?, (Apa ada lagi nak?)”, sebuah kata terlontar dari bapaknya Mira yang memapah dan mengusap punggung istrinya yang masih syok.

                “Sing, (tidak)” jawabku singkat sambil melangkah melalui mereka memikul linggis.

                “Sekenan?, (Benarkah?)”, bapaknya Mira menyadari aku sudah enggan membantu dirinya, dia berfikiran kalau saja masih ada pasti akan aku biarkan begitu saja.

                Odik berjalan cepat menenteng kain kasa dan patahan alu menghadangku, “dioalas Yon, anggap ci nulungin cang, de nganggep ne lenan!, (Please Yon, anggap saja kamu cuma nolongin aku, jangan ngagep yang lain2!)”, Odik mencoba menenangkanku, cuma masalahnya aku sudah tenang dari tadi.

                Beberapa saat kemudian entah dari mana nongolnya tiba2 didepanku sebelahnya Odik sudah ada ibunya Mira dengan gaya khasnya berlinang air mata.

                “Ampurayang kurenan tiange gus, mula ngawag sajan ye ngaba bungut!. (maafkan suami saya nak, memang dia sembarangan bawa mulutI)” Ucapnya sambil menuding2 suaminya yang kelihatan gugup, aku diam melongo “Mih ratu!, (ya ampun) kasar banget nih sama pasangan sendiri”, gumamku.

                “Ede gus mekeneh kel nulungin kurenan tiange (jangan beranggapan membantu suami saya),  anggap gus menolong ibu disini, kasiani ibu sama anak2nya ibu, ibu gak rela ngelihat anak2nya ibu sakit semua”, ibunya Mira melanjutakan kata2nya, membuatku kembali Baper, yang pasti kalo mencari ibu yang baik ibunya Mira ini kandidat yang bagus, tapi kalau sebagai istri kayaknya terlalu galak.
               
                Aku tersenyum memandangi mereka berdua dihadapanku “Seken-seken sing ada ( beneran gak ada)”, ucapku berterusterang, “Apa yang dibilang oleh sosok tadi hanya itu yang tiang (saya) tau”, ucapku, dan sepertinya mereka cukup puas mendengarnya.

                “Kreoog”, pintu kayu itu ditutup kembali oleh ibunya Mira, semetara aku menyandarkan linggis di kursi taman yang ada di pekarangan rumah yang luas.

                Odik berjalan didepanku sambil sesekali mencoba membaca aksara yang dirajah di kain putih yang ia genggam bersama sebatang alu.

                Sampai aku lihat Odik terdiam dari langkahnya ia bengong menantap lurus kedepan kearah kamar gedong dimana Mira terbaring, perlahan tangannya Odik gemetar menunjuk atap banguanan semua orang mendongak melihat.

                “Bapak!!... Api pak!!!” jerit ibunya mira dan langsung pingsan untung suaminya sempat Nyangkuak (nangkep) sebelum keburu terbentur tanah.

GIF gambar ilustrasi bola api

                Aku bisa melihat gumpalan api menyala sebesar bola tenis berputar2 melayang diatap rumah, bapaknya Mira yang jongkok merangkul istrinya terbelak menyakisan apa yang dia liat.

                Bola api itu tidak hanya satu entah dari mana nongol bola api lagi satu dengan ukuran yang sama kini saling berputar melayang diatas genting merah tanah liat.
                Salah satu bola api itu berhenti dan membesar serta meneteskan api, tapi anehnya api itu tidak membakar apapun yang terkena lelehnnya.

                “Byur..Byur... Byur..”, api itu menetes semakin cepat dan semakin besar hingga entah kenapa bisa membentuk tubuh manusia.

                Sosok wanita dengan wajah bengkak menjulurkan lidah panjangnya diatas sana, hujudnya begitu mengerikan dengan rambutnya yang berdiri acak2an, berpayudara panjang ngelenteng (menggantung) hampir sampai keperutnya.

                Sosok itu bertengger dengan sangat seimbang diatas kemiringan genting, dengan kain lusuh yang menutupi pinggangnya, jari2nya berkuku panjang terlihat menari sementara salah satu jemarinya mengenggam pengutik (pisau belati).

Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-VII
ilustrasi gambar diperoleh di internet

                “Waahhaahaa!!!... apa to??!!!!, (apa itu?!!)”, aku melotot menjerit ngosngosan melihat sesuatu yang bagiku tidak mungkin bisa dilihat rame2 begini.

                “Ee...eehh... itu dah,, aah..aa..aakuu lihat kemarin Yon!!!!!”, Odik  gagap memandangku sambil menunjuk mahluk itu dengan jarinya.

                Mahluk itu bungkuk membuka mulutnya dan tengok sana-sini seperti mencari sesuatu, sementara bola api yang lain berputar diatas mahluk itu.

                lutut ngejer (gemetar), linggis yang aku taruh di kursi aku ambil lagi kemudian aku peluk untuk jaga2 kalo aku saja lari pintu gerbang depan susah dibuka.

     “AAAAAAAAAAA!!!!!!!!” terdengar jeritan Cumiik keras dari dalam kamar gedong.

                “BLAGGGG!!!, pintu gedong tedorong paksan oleh tubuh adiknya Mira yang ketes (mental) keluar kamar, dengan cepat dia berdiri melihat kearah orang tuanya, dia terkejut melihat ibunya yang tak sadarkan diri dipangkuan bapaknya, semtara kami lebih terkejut melihat darah segar mengalir dari hidung dan mulut adiknya Mira ditambah garis berdarah melintang diwajahnya bekas cakaran Mira.

                “Bapak!, kak Mira ngamuk lagi!” teriaknya yang kemudian menyeka darah dari mulutnya menggunakan lengan baju, sementara didalam kamar sana terikan semakin kencang ditambah suara barang2 dibanting berjatuhan.

                Bapaknya Mira sekarang benar2 panik di tangannya kini istrinya terbaring sesak tak berdaya, sementara anak sulungnya mengamuk histeris dialam ruangan, sementara si bungsu babak belur karena ulah kakaknya.

                “AAAA!!... Mati jak mekejang mati!!, (mati semuanya mati!!)” Mira melompat keluar dari kamar berteriak histeris ingin berlari menuju pekarangan rumah tapi segera dicegat adiknya, dibekap dari belakang tubuh Mira yang berotak sampai ahirnya 2 bersaudara itu tejatuh berguling-guling dilantai marmer.

                “Mbok suud mbok!!...ne yang mbok!!!, (kak sudah kak!!.. ini aku kak!!)”, adiknya Mira berusaha menyadarkan kakaknya, tetapi tetap saja Mira meronta memaksa melepaskan diri, meski tubuh adiknya lebih besar dan tinggi tapi tetap saja kewalahan mengatasi tenaga Mira sampai beberapa kali pukulan tamparan dan cakaran mendarat diwajah adiknya sendiri.

                Ibunya Mira membuka mata nafasnya tersengal seperti baru bangun dari mimpi buruk, terus tersengal-sengal sembari memegang dadanya sendiri, sepertinya gelombang energi dari kehadiran mahluk2 itu membuat batin ibunya Mira tertekan sehingga seperti ini jadinya.

                “Pak.. tulungin (tolongin) ibu pak!!”, ibu Mira tersengal-sengal dipangkuan memegang tangan suaminya yang kebingungan memangku istrinya yang mendadak terkena sakit yang tidak jelas ini, dia bingung harus menolong dengan cara apa.

                “Sakit tangkah (dada) ibu pak!” , ibunya Mira semakin lama nafasnya semakin sesak, merintih memohon di baringan pangkuan suaminya.

                “Ibu engken ne?, (ibu kenapa ini?)”, bapaknya Mira menepuk pipi istrinya berkali2, semakin panik melihat istri  seperti orang kena serangan jantung.

                “HAAAAAAAHHHH..!!”, sosok mengerikan itu membuang nafas berat, seorah begitu senang dengan apa yang terjadi, menatap kearah aku dan Odik yang berdiri paling depan, entah mana matanya aku tidak tau pasti yang terlihat hanya lipatan2 seperti pipi semua.

                “Memene (ibunya) Wahyu B*ng**t!!”, ujar Odik dengan geram, “Dia mau menyakiti pacarku lagi!!!”, Odik memandang tajam tanpa rasa takut kearah mahluk berambut panjang berantakan, yang sedari tadi memperhatikan kami sambil tangan kanan mahluk itu mengepal2 gagang pengutik yang terlihat berkilauan, entah itu yang akan digunakanynya nebek (menusuk) kami semua.

                Aku menatap diatas atap bola api yang tadinya berputar mulai terdiam dan perlahan membesarkan kobaranya, tanda bahwa akan ada sosok lain lagi menampakan hujud, “gila!, benar2 dikeroyok aku kalo sampai ini terjadi”.

                “Nyen je ne?, (siapa ini?)”, aku berpikir siapa mereka berdua diatas sana, apakah teluh kiriman, ataukah sosok manusia yang punya ilmu lebih, “Apa mungkin ini sejatinya sosok ibunya Wahyu yang merupakan orang berilmu, ia tidak terima aku pulangkan, dan kini membawa pasukan pengiwa-nya (ilmu kiri), mintonin (menguji) aku disini.

                “Bapak!!, tulungin iyang (bantuin saya) pak!”, di depan sana adiknya Mira berteriak memanggil, bapaknya Mira menoleh menyaksikan kedua anaknya mekepu (berguling) menghantam kaki meja dan kursi.

                “Pak diolas tulungi iyang ajak mbok Mira!, (mohon bantu saya dan kak Mira!)”, sambung adiknya Mira dengan mata yang sudah bengkak membiru dan wajah berdarah-darah beberapa kali ditampar dan dicakar kakaknya  yang semakin lepas kontrol.

                Bapaknya Mira ingin beranjak membantu anak2nya tapi rintihan kesakitan ibunya Mira yang semakin meringis sejadinya memegang erat jemari ayahnya Mira yang bersimpuh, sementara disi lain kedua anaknya berteriak2 memerlukan bantuannya juga.

                “Pak sakit pak, sakit!!”, ibunya Mira mengerang serak tersengal seperti orang ngasen (sekarat), “Bapak!!, iyang sing kuat buin (saya gak kuat lagi) pak!” jauh diatas lantai marer Gedong sana anak laki2nya memanggil, beberapa kali Mira membenturkan kepalanya kewajah adiknya yang memeluk dari belakang sampai hidung dan mulut sang adik mengucurkan darah kembali, begitu juga dengan Mira yang perlahan darah menetes kepelipis dari sela2 rambutnya.

                “Ini tetangga pada kemana lagi cicing (anj**g)?!!!”, aku berteriak kencang tapi entah kenapa keribyutan dirumah ini seolah tidak sedikitpun didengar oleh tetangga, bahkan beberapa kali deru mesin motor yang lewat melintas seolah buta tuli tidak melihat rumah ini.

                Aku menengok kerah ibunya Mira, takut kalo dia mati, begitu juga kearah Mira dan adiknya yang sama juga aku takut mereka mati, dan tentunya dua mahluk diatas genting yang sama juga bisa membuatkku mati.

Kleng!!.. sibake kene!, (sial..!!, dibagi begini!)” konsentrasiku terbagi 3, pada halaman, teras rumah, dan diatapnya juga, bagaimana mungkin aku bisa bertahan melihat ini semua ini. Begitu juga bapaknya Mira yang bimbang dengan dua pilihan antara anak atau istri yang berteriak meminta bantuannya.

                Perlahan aku bisa liat air mata mulai menetes dari sosok laki2 yang harusnya paling tangguh di keluarga ini, aku merasa iba sesaat melihat bapaknya Mira dihadapkan kepada beban yang susah, kalau saja dia memilih anaknya dan berlari kearah Gedong maka mahluk itu akan melompat dan menghujamkan pisau ke perutnya, ahirnya sama saja tidak bisa ia menyelamatkan kedua anak dan istrinya bahkan dirinya sendiri. Jikalau dia diam anaknya akan  semakin ngamuk dencelakai adiknya, sementara diam ini juga tidak mampu menghilangkan rasa sakit istrinya.

                Ayahnya Mira memandang aku dan Odik, menyadari dia bukan satu2nya laki2 disini, perlahan diusap pipnya

                “Gus tulungin tiang, (nak bantu saya)”, sebuah kata dia lontarkan kearah aku dan Odik, aku menatap sesaat dengan sorot mata tajam, kemudian tersenyum sinis dan menganggukan kepala. Aku lihat Odik yang sejatinya dari tadi sudah kehilangan rasa takutnya ketika menyaksikan orang yang paling Odik sayangi hingga berani berkorban sejauh ini, Mira calon kurenan (istri)  mengamuk dihadapannya.

                “Odik!!” aku Cumiik membuat orang yang aku panggil menoleh, segera aku lemparkan sesuatu yang dari padi sampai berkeringat menempel di belakang pinggangku yang denga sigap Odik tangkap tanpa mengetahui apa yang aku berikan di keremangan cahaya lampu taman.

                Perlahan Odik menyadari, dia menarik pisau itu keluar dari sarungnya yang kemudian digenggam dengang erat.

                “Kita bertiga laki2 disini biar jangan sampai kalah medaya (taktik)”, aku mencoba memberi sedikit pidato penyemangat meski aku sendiri tidak semangat sedikitpun.

                “Cang nurusang Mira jak adine (aku mengurus mira dan adiknya)” Odik menatapku, “Sisane tulungin cang uli dori yon! (sisanya bantu aku dari belakang Yon!)”, Odik benar2 semangat kali ini, sosok anak cupu berkaca tebal rambut belah tengah sudah tidak lagi nampak diwajahnya terkecuali keberanian berapi2.

                “N*s kleng..nahhh!!!, (sialan..oke!!!)”, kataku kencang, Odik berjongkok dan berdoa kemudian menghukjamkan bilah pisau tanah 3 kali kemudian berdiri dan perlahan maju berjalan kedepan, menuju Mira yang berteriak2 kencang.

                Sosok mahluk diatas bangunan menunduk melihat Odik yang mendekat, mahluk itu berancang2 melayang mendekat ke tepi cucuran air.

                “WEEE!!”, sosok itu menoleh kearahku, tanah yang masih menempel di ujung linggi aku genggam dan usapkan naik membaluri seluruh batangan besi itu sambil beradu pandang dengan mahluk itu.

                “De to gulgule! (jangan itu diganggu), cang musuh cine (akulah musuhmu)!”, ucapan gila yang seharusnya tidak usah aku ikut sertakan nyawaku di kehidupan asmara seseorang tapi ba kadung engkenang men (sudah terlanjur mau gimana).

                “Ahhhh b*ng**t...!!!” Odik teriak berlari menuju Mira dengan pisau yang dihunus ditangannya, sementara aku  beberapa langkah dibelakangnya mengikuti.

                “HEMMM!!” mahluk itu menggeram kesal mengacungkan pisau ke arah kami yang kemudian seperti rudal otomatis bola api datas kepalanya menerjang turun mengikuti ujung pisau mengarah.

                “FUUUGGG!!” kobaran api itu membesar seperti kompor gas mernerjang kearah Odik didepan.

                “Kleng mati ba Odik! (sial mati dak Odik!)”, mataku terpejam ketika beberapa senti saja Odik pasti mental dibentur.

                Tapi ternyata nasib berkata lain, bola api itu menikung, bukan Odik yang dia cari tetapi aku yang tepat dibelakanya, “Kenapa bisa!!” mataku melotot menyadari siapa yang akan mati duluan, sepersekian detik kemudian..

                Bersambung....



nomoreliesAvatar border
666lucifer89Avatar border
666lucifer89 dan nomorelies memberi reputasi
1
789
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan