- Beranda
- Komunitas
- Hobby
- Supranatural
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran


TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran
Matahari sudah berdiri agak tinggi ketika aku membuka mata, kulihat HP sudah menunjukan pukul 10 pagi. Tidurku sangat nyenyak karena minuman kemarin malam, sebenarnya aku ingin melanjutkan mimpi indahku tapi terpaksa batal ketika aku lihat WA penuh Notif dari chatnya Odik.
“Kleng!, aeng semangat jelamne ne!, (sial!, semagat baget orang ini!)”. dengan perasaan enggan aku keluar kamar menuju kamar mandi melakukan semua kewajiban dan setelahnya segera aku stater motor menuju rumahnya Odik.
Aku lihat dirumahnya Odik sudah menyiapkan diri, terlihat beberapa butir beras menempel di jidatnya, bunga masih nampak segar ditelingannya, dan rambutnya Odik basah kena air, ternyata Odik habis sembahyang.
“Wahh!!, lihat mahluk gaib sekali bisa langsung jadi religius, tapi kenapa kalo melihara banyak mahluk gaib malah dikatain gak religius ya?” gumamku disertai paradoks yang berputar didalam kepala.
“Oke!, dah ready nih, ayo kesana!” Odik bersemangat segera lompat keatas motorku.
Aku gass motorku menuju tempat tongkrongan si Wahyu, pertama-tama aku harus lihat orangnya langsung supaya tau gimana penampilannya. Ketika sampai dilokasi aku memarkirkan motorku agak jauh dari poskamling desa tempat Wahyu biasa nongkrong dengan teman2nya.
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521095827.jpg)
gambar ilustrasi poskamling (kreatif)
Aku bisa lihat beberapa motor terparkir disana, dan beberapa orang pemuda duduk asik minum tuak lesehan di dalam bangunan panggung kayu itu. Dari mendengar cerita Odik kemarin aku bisa tebak Wahyu adalah salah satunya yang ada disana.
“Itu ya?!, yang jenengne serem (wajahnya seram) itu?” kataku pada Odik yang mengangguk meng-iya-kan. Memang sekilas tidak ada yang aneh dari penampilannya si Wahyu ini, nampak pemuda biasa hampir seumuranku, berbadan tinggi dengan tatto di lengannya yang pasti sering di-GYM.
Tapi jujur saja dia memang seram, serem bukan karena penampilannya apalagi tato dan badannya, tapi karena ada sesuatu yang ganjil tapi entah apa, susah aku menjelaskan.
“Yon gimana?, apa langsung jagjagin (datangi) aja?”, tanya Odik yang sedari tadi celingukan di jok belakang memperhatikanku bengong.
“Huss!!, gila kamu Dik!, orang2 disana minum2 rame bisa di-cakcak (hajar) kita berdua!”, aku perhatikan Wahyu nampak mulai gerah sehingga ia membuka singletnya dan mengusap keringat badannya dengan baju itu.
“Nah itu dia!”, aku dapat melihat sesuatu yang melingkar di pinggangnya. Sebuah sabuk kulit yang mengikat erat celana jeans robek2 di pinggangnya. Sabuk biasa mungkin orang pikir dengan model kuno warna coklat tua itu, tapi aku tidak berpikir demikian, aku benar2 tidak yakin itu sabuk biasa ketika aku lihat si Wahyu mengusap sabuk itu dengan tuak yang dia colek dari gelas.
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521094211.jpg)
Gambar ilustrasi sabuk kuit coklat kuno
“Hmm.. bojog (monyet)”, ujarku memperhatikan Wahyu dari jauh.
“Nyen bojog (siapa monyet)?!”, Odik menyahut sembari mengunyah buah pisang mas yang sengaja aku bawa dari rumah.
“Lengeh ngudiang amah ci (bego kenapa kamu makan)??!, penting itu buat nanti!”, segera aku rebut sisir pisang ditangannya dan kemudian aku gantung di jepitan motor.
Merasa sudah cukup puas aku mengamati Wahyu dari kejauhan, segera aku pergi meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan Odik mengoceh terus mempertanyakan banyak hal.
“Gimana yon?. Apa ajian yang dimiliki si Wahyu?, tingkatannya berapa?, siapa sosok penjaga gaibnya?, atau dia punya kesaktian yang diwariskan leluhurnya?”.
Nampaknya kawanku ini terlalu banyak mengkonsumsi bacaan di internet tanpa di saring2 dulu, dia kira hanya dengan sekali melihat langsung bisa bakal tau ‘luar-dalam’nya seseorang, kalo saja bisa begitu mungkin aku sudah nongkrong di pantai sanur sambil mlototin cewek bule yang berjemur.
Rencanaku berikutnya adalah menengok Mira, aku harus buktikan apa benar seperti apa yang diceritakan Odik kalo Mira kena sesuatu yang diluar nalar, atau Mira memang sehat2 saja cuma karena bosen pacaran sama di Odik. tentunya lucu kalo siang begini aku kesana rasanya perlu waktu yang pas.
“Dik, ke rumah Mira yuk!”, pancingku ke Odik yang gandengan dibelakang.
“Mai ke! (ayo kesana), tapi aku agak sing juari (malu) kesana”, ucapnya
“Juari-juariang gen! (PD2-in aja), katanya kamu mau masalahnya cepat selesai!” balasku saat berhenti di lampu merah perempatan jalan. Odik hanya diam aku anggap sebagai jawaban iya.
“Tapi sing jani (gak sekarang), entaran kalo sudah menjelang gelap”, jelasku pada Odik. Aku lirik sepion terlihat Odik mengangguk tersenyum, sepertinya dia paham dan pernah baca artikel tentang ini
Ketika lampu hijau aku belokan motorku ke kiri, “Kemana ini?, kok belok kiri?” Odik keheranan dengan jalan yang aku pilih, tapi mendadak ia paham ketika motorku berhenti di depan warung nasi Be Guling.
“Nah (iya), cang (aku) traktir!” kata Odik ketika turun dari motor.
Matahari telah condong ke barat, jam tanganku sudah menunjukan pukul 17.37 ketika motor bututku terparkir didepan gerbang rumah Mira. Rumah yang asri dan indah lama aku tidak pernah kesini lagi, terahir pas tugas kerja kelompok jaman SMP. Odik mengucap salam dari depan gerbang.
“Om Swastiastu!!”, yang beberapa saat dibalas salam dari dalam gerbang, seorang wanita paruh baya membukakan pintu gerbang besi itu.
“Yeh gus Odik mriki ngeranjing (oh nak Odik sini masuk)” ucap wanita itu ramah meski awalnya sedikit terkejut melihat kami, aku masih ingat wanita itu, tak lain dia adalah ibunya Mira.
Kami pun memasuki pekarangan rumah yang luas dan segera dipersilahkan duduk di depan Bale Dangin (bangunan yang berada di tengah2 pekarangan) beralas tikar.
“Gus Odik sama siapa ini kesini?”, tanya ibu Mira, rupanya aku tumbuh dewasa begitu tampan sehinngga ibunya lupa denganku.
“Tiang (saya) Pionik ibu, masih ibu ingat dulu sering tugas kelompok disini, saya yang sering ngambil buah rambutan dipohon pojok sana”, kataku sambil menunjuk pojokan rumah yang kini sudah berdiri bangunan disana, dulu pohon rambutan berdiri teduh di bangunan itu.
“Ohh, anaknya Pak xxxxx (sensor). Beda sekarang ya?, sudah kurusan ganteng lagi” kata ibunya Mira, aku nyengir sambil menyenggol Odik dengan siku disebelahku meyakinkan padanya bahwa aku sekarang sudah kurus.
“Aduh Betara (ya Tuhan), begini lah kegiatan ibu sekarang, dirumah saja metanding (membuat kelengkapan sesajen), pergi keluar tidak bisa, jualan di pasar tidak bisa, cuma dirumah nongosin (menemani) Mira-nya yang sakit”, ucap ibunya Mira sambil memotong janur di tangannya dengan pisau.
“Mira nya disuruh makan gak mau, diminumin obat gak mau, diajak ngobrol jawabnya ngelantur kayak orang Paling (linglung), sering ngamuk lagi. Ibu ba pengeng ngurusang! (ibu sudah pusing ngurusin!)” terlihat ekspresi ibunya Mira begitu sedih membuat aku jadi iba melihatnya.
“Sekarang Mira nya dimana bu?”, tanya Odik.
Sambil menunjuk kesebuah kamar di gedong (bangunan utama), ibunya menjawab,”Dikamar gedong gus, itu bapak sama adiknya jagain, biasanya sore menjelang petang gini dia ngamuk”
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521094350.jpg)
gambar ilustrasi gedong diperoleh secara sembarang di internet tidak ada hubungan apapun dengan cerita.
“Boleh saya lihat Mira nya ibu?” segera aku potong kata2 ibunya Mira, sedikit agak lama terdiam mungkin ibunya lagi mikir2, dalam hatiku seandainya tidak dikasi ya sudah mungkin bakal sulit untuk kedepannya.
“Meriki gus (kesini nak), siapa tau Mira nya mau baikan ketemu kalian”, ibu Mira beranjak berjalan menuju kamar gedong diikuti aku dan Odik di belakannya.
2 Gedong bangunan utama style bali (bagus sekali ilustrasi gedongnya pengen punya suatu hari nanti)
Begitu pintu kamar dibuka aku terkejut bukan main melihat perubahan Mira sahabatku, tubuhnya yang dulu indah dipandang kini sudah tidak menarik dilihat lagi, nampak mira terbaring diatas kasur tubuh kurus dengan tulang yang dibungkus kulit, wajahnya Mira nampak seming (pucat).
Kelopak matanya yang kelihatan membiru mungkin jarang tidur atau karena nangis terus seharian, rambutnya yang dulu selalu dikepang dua, kini acak2an gak jelas, dengan wajah dan sekujur tangan memar penuh luka bekas cakarannya sendiri, miris aku melihatnya, tak aku sangka sampai begini dibuatnya sahabatku yang dulu sering aku contekin PR.
“Gede seken-seken gaene, (benar2 berat kerjaan ini)”, hatiku seakan2 berucap pada diriku sendiri.
Odik tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya yang begitu dalam, mungkin kenangannya bertahun-tahun bersama Mira kembali nongol melayang-layang di kepalanya. Aku lihat 2 orang laki2 duduk di kursi sebelah ranjang menatap aku dan Odik, aku ingat yang satu adalah bapaknya Mira dan yang satu adiknya yang kini sudah dewasa.
“Ibu ngujang ajak anak mai mecelep bu?!!, (ibu ngapain ngajak orang masuk kesini bu?!!)”, bapaknya Mira nampak risih melihat keberadaan kami, dari raut wajah bapaknya bisa aku lihat ia sudah stress berat dengan masalah ini.
“Pak, ne gus Odik jak timpalne, (ini nak Odik sama temennya), siapa tau anak kita sembuh ngelihat temen dan pacarnya”, jelas ibu Mira menenangkan suaminya,
“Gini dah kondisi Mira-nya sesudah dipaksa pulang, kayak orang gila. Ibu sudah mau Mepluasang (menanyakan pada orang pintar) tapi bapaknya tidak mau”, sambung ibunya Mira.
Bapaknya Mira menoleh “ibu ini!, Mira ini stres ibu!, depresi kata dokter. Udah dokter yang kasi obat, kok ibu masih aja!!”, kata bapaknya Mira dengan suara yang sedikit di gass.
“Nanti juga sembuh tinggal dikasi obat aja, ibu jangan isi aneh2 begitu, masih saja percaya yang gitu jaman moderen gini sudah ada dokter. Amerika sudah..”
“Bikin satelit”, Odik menyaut memotong penjelasan bapaknya Mira.
“Dik, coba panggil Mira”, ucapku mencoba mendinginkan suasana. Aneh ini suami istri malah debat, anak sakit bukannya saling menguatkan malah Mesiat (bertarung), takutnya anak tetep sakit orangtuanya cerai, kan repot.
Odik kemudian mendekati Mira dipebaringannya, diusap rambut di kening Mira “Gek (Gek: panggilan untuk cewek yang umurnya lebih muda, mirib seperti paggilan adek) bangun!, Gek Mira ini Wik (Wik : panggilan cowok yang lebih tua, mirib kata kakak atau abang) Odik dateng”.
Seketika perasaanku menjadi tidak enak, mual dan jijik mendengar panggilan sayang sahabatku. Tapi Mira tidak menggubris, dia tetep sibuk menatap kosong sambil memeluk bantal guling.
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521095158.jpg)
ilustrasi tidur tidak nyaman
Percuma saja pikirku Mira sudah dibuat bongol (tuli) tidak akan bisa mendengar ucapan siapapun, aku yakin ada orang yang mengirimkan sesuatu kepada Mira sehingga ia jadi begini. Aku lirik jam di dinding sudah hampir jam 7 menuju petang harusnya....
“AAAAA!!!!!!!!.......” Mira menjerit melengking sekeras-kerasnya mengejutkan semua orang dalam kamar termasuk diriku yang masih asik melamun, bantal di tanganya melayang hampir mengenai kepalaku, Mira berotak begitu kuat seperti belut ditaburi garam. Bantal, bead cover, selimut, semuanya mental, segera Odik memegangi Mira disusul ayah dan adiknya.
Mereka kewalahan mengatasi tenaga Mira yang begitu kuat, segera aku ikut memegangi Mira yang sudah histeris menendang-nendang kesana kemari. Hingga tak berapa lama Mira semakin melemah dan pingsan.
“Begini dah kalo kumat jam segini ngamuk, tengah malem ngamuk”, ucap ibunya Mira sambil merapikan pakaian anaknya yang terbaring lemas.
Bersambung..........
“Kleng!, aeng semangat jelamne ne!, (sial!, semagat baget orang ini!)”. dengan perasaan enggan aku keluar kamar menuju kamar mandi melakukan semua kewajiban dan setelahnya segera aku stater motor menuju rumahnya Odik.
Aku lihat dirumahnya Odik sudah menyiapkan diri, terlihat beberapa butir beras menempel di jidatnya, bunga masih nampak segar ditelingannya, dan rambutnya Odik basah kena air, ternyata Odik habis sembahyang.
“Wahh!!, lihat mahluk gaib sekali bisa langsung jadi religius, tapi kenapa kalo melihara banyak mahluk gaib malah dikatain gak religius ya?” gumamku disertai paradoks yang berputar didalam kepala.
“Oke!, dah ready nih, ayo kesana!” Odik bersemangat segera lompat keatas motorku.
Aku gass motorku menuju tempat tongkrongan si Wahyu, pertama-tama aku harus lihat orangnya langsung supaya tau gimana penampilannya. Ketika sampai dilokasi aku memarkirkan motorku agak jauh dari poskamling desa tempat Wahyu biasa nongkrong dengan teman2nya.
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521095827.jpg)
gambar ilustrasi poskamling (kreatif)
Aku bisa lihat beberapa motor terparkir disana, dan beberapa orang pemuda duduk asik minum tuak lesehan di dalam bangunan panggung kayu itu. Dari mendengar cerita Odik kemarin aku bisa tebak Wahyu adalah salah satunya yang ada disana.
“Itu ya?!, yang jenengne serem (wajahnya seram) itu?” kataku pada Odik yang mengangguk meng-iya-kan. Memang sekilas tidak ada yang aneh dari penampilannya si Wahyu ini, nampak pemuda biasa hampir seumuranku, berbadan tinggi dengan tatto di lengannya yang pasti sering di-GYM.
Tapi jujur saja dia memang seram, serem bukan karena penampilannya apalagi tato dan badannya, tapi karena ada sesuatu yang ganjil tapi entah apa, susah aku menjelaskan.
“Yon gimana?, apa langsung jagjagin (datangi) aja?”, tanya Odik yang sedari tadi celingukan di jok belakang memperhatikanku bengong.
“Huss!!, gila kamu Dik!, orang2 disana minum2 rame bisa di-cakcak (hajar) kita berdua!”, aku perhatikan Wahyu nampak mulai gerah sehingga ia membuka singletnya dan mengusap keringat badannya dengan baju itu.
“Nah itu dia!”, aku dapat melihat sesuatu yang melingkar di pinggangnya. Sebuah sabuk kulit yang mengikat erat celana jeans robek2 di pinggangnya. Sabuk biasa mungkin orang pikir dengan model kuno warna coklat tua itu, tapi aku tidak berpikir demikian, aku benar2 tidak yakin itu sabuk biasa ketika aku lihat si Wahyu mengusap sabuk itu dengan tuak yang dia colek dari gelas.
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521094211.jpg)
Gambar ilustrasi sabuk kuit coklat kuno
“Hmm.. bojog (monyet)”, ujarku memperhatikan Wahyu dari jauh.
“Nyen bojog (siapa monyet)?!”, Odik menyahut sembari mengunyah buah pisang mas yang sengaja aku bawa dari rumah.
“Lengeh ngudiang amah ci (bego kenapa kamu makan)??!, penting itu buat nanti!”, segera aku rebut sisir pisang ditangannya dan kemudian aku gantung di jepitan motor.
Merasa sudah cukup puas aku mengamati Wahyu dari kejauhan, segera aku pergi meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan Odik mengoceh terus mempertanyakan banyak hal.
“Gimana yon?. Apa ajian yang dimiliki si Wahyu?, tingkatannya berapa?, siapa sosok penjaga gaibnya?, atau dia punya kesaktian yang diwariskan leluhurnya?”.
Nampaknya kawanku ini terlalu banyak mengkonsumsi bacaan di internet tanpa di saring2 dulu, dia kira hanya dengan sekali melihat langsung bisa bakal tau ‘luar-dalam’nya seseorang, kalo saja bisa begitu mungkin aku sudah nongkrong di pantai sanur sambil mlototin cewek bule yang berjemur.
Rencanaku berikutnya adalah menengok Mira, aku harus buktikan apa benar seperti apa yang diceritakan Odik kalo Mira kena sesuatu yang diluar nalar, atau Mira memang sehat2 saja cuma karena bosen pacaran sama di Odik. tentunya lucu kalo siang begini aku kesana rasanya perlu waktu yang pas.
“Dik, ke rumah Mira yuk!”, pancingku ke Odik yang gandengan dibelakang.
“Mai ke! (ayo kesana), tapi aku agak sing juari (malu) kesana”, ucapnya
“Juari-juariang gen! (PD2-in aja), katanya kamu mau masalahnya cepat selesai!” balasku saat berhenti di lampu merah perempatan jalan. Odik hanya diam aku anggap sebagai jawaban iya.
“Tapi sing jani (gak sekarang), entaran kalo sudah menjelang gelap”, jelasku pada Odik. Aku lirik sepion terlihat Odik mengangguk tersenyum, sepertinya dia paham dan pernah baca artikel tentang ini
Ketika lampu hijau aku belokan motorku ke kiri, “Kemana ini?, kok belok kiri?” Odik keheranan dengan jalan yang aku pilih, tapi mendadak ia paham ketika motorku berhenti di depan warung nasi Be Guling.
“Nah (iya), cang (aku) traktir!” kata Odik ketika turun dari motor.
Matahari telah condong ke barat, jam tanganku sudah menunjukan pukul 17.37 ketika motor bututku terparkir didepan gerbang rumah Mira. Rumah yang asri dan indah lama aku tidak pernah kesini lagi, terahir pas tugas kerja kelompok jaman SMP. Odik mengucap salam dari depan gerbang.
“Om Swastiastu!!”, yang beberapa saat dibalas salam dari dalam gerbang, seorang wanita paruh baya membukakan pintu gerbang besi itu.
“Yeh gus Odik mriki ngeranjing (oh nak Odik sini masuk)” ucap wanita itu ramah meski awalnya sedikit terkejut melihat kami, aku masih ingat wanita itu, tak lain dia adalah ibunya Mira.
Kami pun memasuki pekarangan rumah yang luas dan segera dipersilahkan duduk di depan Bale Dangin (bangunan yang berada di tengah2 pekarangan) beralas tikar.
“Gus Odik sama siapa ini kesini?”, tanya ibu Mira, rupanya aku tumbuh dewasa begitu tampan sehinngga ibunya lupa denganku.
“Tiang (saya) Pionik ibu, masih ibu ingat dulu sering tugas kelompok disini, saya yang sering ngambil buah rambutan dipohon pojok sana”, kataku sambil menunjuk pojokan rumah yang kini sudah berdiri bangunan disana, dulu pohon rambutan berdiri teduh di bangunan itu.
“Ohh, anaknya Pak xxxxx (sensor). Beda sekarang ya?, sudah kurusan ganteng lagi” kata ibunya Mira, aku nyengir sambil menyenggol Odik dengan siku disebelahku meyakinkan padanya bahwa aku sekarang sudah kurus.
“Aduh Betara (ya Tuhan), begini lah kegiatan ibu sekarang, dirumah saja metanding (membuat kelengkapan sesajen), pergi keluar tidak bisa, jualan di pasar tidak bisa, cuma dirumah nongosin (menemani) Mira-nya yang sakit”, ucap ibunya Mira sambil memotong janur di tangannya dengan pisau.
“Mira nya disuruh makan gak mau, diminumin obat gak mau, diajak ngobrol jawabnya ngelantur kayak orang Paling (linglung), sering ngamuk lagi. Ibu ba pengeng ngurusang! (ibu sudah pusing ngurusin!)” terlihat ekspresi ibunya Mira begitu sedih membuat aku jadi iba melihatnya.
“Sekarang Mira nya dimana bu?”, tanya Odik.
Sambil menunjuk kesebuah kamar di gedong (bangunan utama), ibunya menjawab,”Dikamar gedong gus, itu bapak sama adiknya jagain, biasanya sore menjelang petang gini dia ngamuk”
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521094350.jpg)
gambar ilustrasi gedong diperoleh secara sembarang di internet tidak ada hubungan apapun dengan cerita.
“Boleh saya lihat Mira nya ibu?” segera aku potong kata2 ibunya Mira, sedikit agak lama terdiam mungkin ibunya lagi mikir2, dalam hatiku seandainya tidak dikasi ya sudah mungkin bakal sulit untuk kedepannya.
“Meriki gus (kesini nak), siapa tau Mira nya mau baikan ketemu kalian”, ibu Mira beranjak berjalan menuju kamar gedong diikuti aku dan Odik di belakannya.
2 Gedong bangunan utama style bali (bagus sekali ilustrasi gedongnya pengen punya suatu hari nanti)
Begitu pintu kamar dibuka aku terkejut bukan main melihat perubahan Mira sahabatku, tubuhnya yang dulu indah dipandang kini sudah tidak menarik dilihat lagi, nampak mira terbaring diatas kasur tubuh kurus dengan tulang yang dibungkus kulit, wajahnya Mira nampak seming (pucat).
Kelopak matanya yang kelihatan membiru mungkin jarang tidur atau karena nangis terus seharian, rambutnya yang dulu selalu dikepang dua, kini acak2an gak jelas, dengan wajah dan sekujur tangan memar penuh luka bekas cakarannya sendiri, miris aku melihatnya, tak aku sangka sampai begini dibuatnya sahabatku yang dulu sering aku contekin PR.
“Gede seken-seken gaene, (benar2 berat kerjaan ini)”, hatiku seakan2 berucap pada diriku sendiri.
Odik tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya yang begitu dalam, mungkin kenangannya bertahun-tahun bersama Mira kembali nongol melayang-layang di kepalanya. Aku lihat 2 orang laki2 duduk di kursi sebelah ranjang menatap aku dan Odik, aku ingat yang satu adalah bapaknya Mira dan yang satu adiknya yang kini sudah dewasa.
“Ibu ngujang ajak anak mai mecelep bu?!!, (ibu ngapain ngajak orang masuk kesini bu?!!)”, bapaknya Mira nampak risih melihat keberadaan kami, dari raut wajah bapaknya bisa aku lihat ia sudah stress berat dengan masalah ini.
“Pak, ne gus Odik jak timpalne, (ini nak Odik sama temennya), siapa tau anak kita sembuh ngelihat temen dan pacarnya”, jelas ibu Mira menenangkan suaminya,
“Gini dah kondisi Mira-nya sesudah dipaksa pulang, kayak orang gila. Ibu sudah mau Mepluasang (menanyakan pada orang pintar) tapi bapaknya tidak mau”, sambung ibunya Mira.
Bapaknya Mira menoleh “ibu ini!, Mira ini stres ibu!, depresi kata dokter. Udah dokter yang kasi obat, kok ibu masih aja!!”, kata bapaknya Mira dengan suara yang sedikit di gass.
“Nanti juga sembuh tinggal dikasi obat aja, ibu jangan isi aneh2 begitu, masih saja percaya yang gitu jaman moderen gini sudah ada dokter. Amerika sudah..”
“Bikin satelit”, Odik menyaut memotong penjelasan bapaknya Mira.
“Dik, coba panggil Mira”, ucapku mencoba mendinginkan suasana. Aneh ini suami istri malah debat, anak sakit bukannya saling menguatkan malah Mesiat (bertarung), takutnya anak tetep sakit orangtuanya cerai, kan repot.
Odik kemudian mendekati Mira dipebaringannya, diusap rambut di kening Mira “Gek (Gek: panggilan untuk cewek yang umurnya lebih muda, mirib seperti paggilan adek) bangun!, Gek Mira ini Wik (Wik : panggilan cowok yang lebih tua, mirib kata kakak atau abang) Odik dateng”.
Seketika perasaanku menjadi tidak enak, mual dan jijik mendengar panggilan sayang sahabatku. Tapi Mira tidak menggubris, dia tetep sibuk menatap kosong sambil memeluk bantal guling.
![Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-IV Memastikan Kebenaran](https://s.kaskus.id/images/2020/05/21/10832441_20200521095158.jpg)
ilustrasi tidur tidak nyaman
Percuma saja pikirku Mira sudah dibuat bongol (tuli) tidak akan bisa mendengar ucapan siapapun, aku yakin ada orang yang mengirimkan sesuatu kepada Mira sehingga ia jadi begini. Aku lirik jam di dinding sudah hampir jam 7 menuju petang harusnya....
“AAAAA!!!!!!!!.......” Mira menjerit melengking sekeras-kerasnya mengejutkan semua orang dalam kamar termasuk diriku yang masih asik melamun, bantal di tanganya melayang hampir mengenai kepalaku, Mira berotak begitu kuat seperti belut ditaburi garam. Bantal, bead cover, selimut, semuanya mental, segera Odik memegangi Mira disusul ayah dan adiknya.
Mereka kewalahan mengatasi tenaga Mira yang begitu kuat, segera aku ikut memegangi Mira yang sudah histeris menendang-nendang kesana kemari. Hingga tak berapa lama Mira semakin melemah dan pingsan.
“Begini dah kalo kumat jam segini ngamuk, tengah malem ngamuk”, ucap ibunya Mira sambil merapikan pakaian anaknya yang terbaring lemas.
Bersambung..........


mastercasino88 memberi reputasi
1
949
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan