madhananis1990Avatar border
TS
madhananis1990
KONSEKUENSI

Adakah harta tanpa konsekuensi?

Apa gerangan motif orang yang uzlah, menyendiri, membatas dan menjeda interaksi dengan dunia luar?

Apakah person tersebut tak butuh dunia?

Atau hanya sebatas bosan dengan rutinitas berbau duniawi?

Atau person tersebut sangat berhati-hati dengan mengambil jarak dengan dunia?

Sedangkan di luaran sana, banyak person lain yang justru berkesebalikan.  Mereguk nikmat dunia dengan tangan terbuka, menerima dan menggayuh sekuatnya.

Kita kesampingkan dulu ranah agama, mencoba melihat dari sisi humanity sebagai makhluk sosial. Ada beberapa yang menjaga jarak dengan dunia tapi terpaksa, jatuhnya bukan menjaga, tetapi terkondisi untuk hidup seadanya. Yang menjadi soal, jika kemampuan dirinya akan dunia ibarat Data Sync dengan Konektor RJ45, menyatu dan tidak substitusi.

Mungkin person tersebut lelah dengan rutinitas, dan mencoba mencari suasan baru, memasang kembali kuda-kuda, atau sebatas relaksasi dari segala hiruk pikuk rutinitas. Namun, person tersebut enggan bergerak dari tempat dia relaksasi, tempat dia mecari suasan baru, dan enggan kembali ke rutinitas sedia kala.

Ketika ditanya, “kenapa betah di sini?”. Kalian tau jawabnya apa?

“Pemberian selalu mendatangkan konsekuensi”. Berulang-ulang person itu mengulang kalimatnya, seakan menekankan ucapannya.

“Pemberian (harta) itu seperti punya ruh, tapi isinya hanya nafsu” tambahnya lagi, nafsu untuk selalu minta dijaga, diperbanyak, dijiwai layaknya candu dan mengikat hati untuk memalingkan dari cahaya Tuhan.

Well, sampai sini saya cukupkan untuk mengutip kata, selebihnya akan saya rangkum dalam simpulan saja.  Bagian memalingkan dari cahaya Tuhan kita coba eliminasi, sesuai dengan komitmen di penggalan awal kisah ini, “humanity”.

Ini bukan kali pertama aku bertemu dengan person tersebut, setidaknya empat kali perjumpaan dengan dia. Hingga di perjumpaan yang kesekian kalinya, aku beranikan diri bertanya padanya, bertanya seperlunya. Dia membuka cerita tentang diri, karir, lingkungan, dan daerah asal. Karir yang melejit bak kurva lancip, kokoh dan stabil. Keadaan baik-baik saja kala itu, tibalah suatu saat selepas istirahat, seorang kurir mendatanginya, mengantarkan paket pesanannya. Paket diterima, basa-basi seadanya, sang kurir mohon diri berpamitan. Dengan sopan person menawari makanan kecil yang tergeletak di meja kantor, “ini dibawa mas!” Sang kurir menolak halus dengan menyatakan bahwa masih kenyang karena sudah makan bersama di rumah, kurir beranjak keluar. Sceneyang pendek, sangat tidak berarti bagi banyak orang, datar, dan bobotnya normatif belaka. Tapi lain bagi person, setelah kejadin itu, dia tidak bisa konsentrasi dalam bekerja. Ada apa gerangan?

Sifat dasar manusia memang selalu ingin membandingkan, komparasi dengan segala hal asal masih pantas diperbandingan. Sang Person membandingkan dirinya dengan kurir, dimulai dengan menakar kemampuan ekonomi, yah... matematis ekonomi. Dia merasa beberapa step di atas kurir, hanya yang membuat dia kalut, sang kurir mempunyai lebih banyak waktu untuk keluarga, bahkan bisa sarapan bersama, yang mana “sarapan bersama” telah menjadi dongeng saja di keluarga sang person. Mulailah sang person mencari kambing hitam, berawal dari kurangnya 24 jam waktu yang diberikan Tuhan, perjalanan yang jauh, disiplin birokrasi yang bertele-tele, dan tuntutan pekerjaan yang terlalu menyita. Satu persatu dipersalahkan, cukup membuat hati tenang untuk sementara waktu, usaha pembenarannya berhasil. Namun, hati kecilnya berteriak, lihatlah sang kurir, berapa waktu yang dia punya, sedangkan rute, google map, pick-up time, pick-up place, warning customer, rating yang mengancap kurva karir terus berdengung-dengung di kepala sang kurir. Ah, dia lebih kehabisan waktu, kata hati dari sang person membisik perlahan, mengusik benteng usaha pembenarannya sendiri. Gundah gulana gelombang dua membanjiri otaknya, hatinya mempermasalahkan keadaan. Ibarat satu batalion serang melawan satu kompi yang hasil akhirnya berkata kesebalikan matematis.

“Mengapa?”

Pertanyaan jadul dari zaman tyrex sampai zaman chipset mediatex. Terfikir olehnya untuk tidak bekerja lagi, demi menyamai pencapaian sang kurir “sarapan bersama”. Lantas, siapa yang akan memberikan nafkah keluarga, bukankah sang kurir juga masih bekerja saat “sarapan bersama”, tidak hanya berpasrah pada Tuhan belaka”, tidak terasa jurus kuno permodelan akhirnya dia lakukan, “dia kerja aku kerja, dia sarapan bersama aku tidak”. Perlu kalian tau, jurus permodelan sebenarnya tingkat lanjut bercabang dari tumpulnya komparasi, cabang satunya lagi adalah make different (membuat sesuatu yang berbeda). Alih-alih membuat sesuatu yang berbeda, person memilih menjadikan kurir sebagai model positif yang layak untuk dicopydan dijadikan tolok ukur.

Melalui proses panjang permodelan, akhirnya kembali lagi ke komparasi. Dua insan ini mempunyai banyak kesamaan, selisih di rasio-nya saja. Yang paling membedakan adalah manajemen waktu dan prioritas. Setiap aktivitas selalu ada dampak dan konsekuensi, tidak pernah bertepuk sebelah. Bukan masalah lini pekerjaan, aktivitas, kegiatan, atau semacamnya. Lebih kepada memahami dampak dari kegiatan, memilah berdasar efek, dan membuat skala prioritas. Tentunya akan sangat beragam, tergantung dari sudut mana dia akan ambil keputusan, dan menikmati efek dari seluruh kegiatannya. Akankah berdamai? atau perlu membuat penyesuaian, segalanya terserah kepada sang pejalan. Hal yang paling baku adalah, tidak ada tawar menawar dalam menerima efek atau konsekuensi dari setiap kegiatan, karena sunnatullah dari kegiatan adalah munculnya konsekuensi tadi, dan kesemua ini berujung pada bijaknya mengambil langkah, agar tidak kuwalat mengatai dan merutuk Sang Kuasa pencipta Alam Semesta.

Singkat cerita, Sang Person telah berdamai dengan kata hatinya, kini dia sarapan bersama dengan keluarga, punya empang dikampungnya, dan masih berkabar dengan rekan kerja serta atasannya di pekerjaannya yang dulu. Sambil menunggu perubahan besar di kampungnya, Bendungan Terbesar se-Asia Tenggara begitu julukannya. Dan sang kurir yang menutup mulut rapat-rapat dengan alasan tidak berkontribusi apapun atas kelapangan hati yang diperoleh insan lain (person), “hidup saja sudah pelajaran kok mas, saya cuma wayang, jangan didramatisir”. Hanya kata ini yang bisa dan disetujui untuk kukutip darinya.


Long life education.

nona212Avatar border
nona212 memberi reputasi
1
153
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan