- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
CERBUNG; The Temple Of Quartum Maximaaz


TS
Ilal303
CERBUNG; The Temple Of Quartum Maximaaz
PROLOG

Tahun 2011, pemerintah merilis program nasional Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Kebijakan yang menganggarkan dana tak kurang dari 6,9 triliyun pada tahap awal pelaksanannya itu bertujuan untuk menata ulang sistem pendataan kependudukan nasional. Itu adalah wacana pemangku kebijakan untuk menutupi tujuan utamanya. Tak ada yang tahu, tujuan penyimpanan data sidik jari dan retina mata dalam chip yang ditanamkan pada kartu identitas yang lebih modern itu sebenarnya adalah untuk melacak keberadaanku.
***
Aku Fad, lulus sekolah dua bulan yang lalu. Dua bulan yang hanya diha-biskan dengan bertumpuk-tumpuk rencana, tanpa pekerjaan. Menunda kuliah adalah kesepakatan yang dibuat bersama ibu. Setelah kepergian bapak, mau tak mau ibu ‘menggulung lengan baju’, berjibaku sendiri memenuhi penghidupan dan kebutuhan sekolah, sementara uang tabungan sisa penjualan motor peninggalan bapak sudah dihabiskan untuk membiayai semester terakhir. Maka, demikianlah, aku memutuskan menunda kuliah, mengesampingkan keberatan ibu. Tentang kelanjutan pendidikan akan kupikirkan kelak setelah memiliki pekerjaan tetap.
Pagi ini, setelah membaca lowongan CPNS yang brosurnya ditunjukkan seorang teman, aku memutuskan mendatangi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, mendaftarkan diri untuk membuat kartu tanda penduduk. Identitas kependudukan tersebut sebagai syarat pertama yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan berpelat merah itu. Aku sama sekali tak pernah menyadari sebelumnya bahwa langkah menuju kantor pemerintah daerah ini adalah titik balik yang mengantarkan pada hal hebat yang akan mempengaruhi masa depan masyarakat dunia. Yah, registrasi pengesahanku sebagai warga negara telah ditunggu, bahkan kemunculanku telah dituliskan sejak beratus tahun yang lalu.
“Ada yang bisa kami bantu, Dik?”
Seorang pegawai Pemda menyapaku yang kebingungan di lobi kantor.
“Anu, Mas ... eh, Pak ... saya ingin membuat KTP. Saya harus ke ruangan mana, ya?” Aku menjawab kikuk, khas seseorang yang tak pernah berurusan dengan biro-krasi.
“Perlu cepat ya, Dik?” Ia membolak-balikkan berkas yang kuberikan.
Aku mengangguk lekas.
“Iya, Pak. Kalau bisa, hari ini jadi. Soalnya, saya membutuhkan untuk mengirimkan lamaran pekerjaan besok.”
“Wah, sulit, Dik. Blangko tak selalu ada. Minimal seminggu, itu juga belum tentu jadi.”
“Jadi saya harus gimana, Pak?”
“Bisa diusahakan. Dua jam jadi, hari ini. Akan ada teman yang bersedia bantu. Tapi ....”
Aku sebenarnya sempat diingatkan oleh seseorang, kemarin, ketika berencana ke sini, bahwa di kantor pemerintah pun ada “jalan tol” dan ada “jalan biasa”. Jalan tol biayanya lebih mahal. Maka, narasi ‘tapi’ orang yang berbaik hati membantuku itu segera kusambar. Apa boleh buat, benda berukuran 53,98 kali 85,60 mm itu harus kumiliki hari ini jika besok ingin surat lamaranku diserahkan pada panitia seleksi.
“Berapa, Pak?” tanyaku lugas.
Orang itu berkata agak lirih, matanya melirik kiri kanan, memastikan situasi.
“Dua ratus.”
Deal. Aku merogoh saku celana, mengeluarkan nominal yang ia minta.
Singkat cerita, rekam sidik jari dan scaning retina mataku dilakukan hari itu. Kartu berbentuk persegi empat itu kuterima dua jam kemudian. Selesai. Aku pulang setelah lebih dulu singgah di gerai potokopi untuk menggandakan kembali kartu identitas dan kartu keluarga, juga membeli blanko daftar riwayat hidup.
Namun, satu yang tak pernah kusadari. Selain singgah secara resmi di data base dinas kependudukan, ternyata data pribadi yang kurekam tadi terkirim ke tempat lain. Secara ilegal, himpunan binari berisi data kewar-ganegaraanku itu melesat, lalu byte per byte-nya meng-hunjam ke sebuah ruangan di kedalaman sepuluh kilometer di perut bumi, membuat kaget staf yang sedang terkantuk-kantuk di depan komputer yang memberikan peringatan nyaring. Sesuatu yang telah ditunggu lama akhirnya singgah ke sistem canggih yang mereka miliki. Sesuatu yang telah memaksa super komputer itu menguyah ratusan juta data manusia satu negeri selama bertahun-tahun, untuk menyaring dan menemukan identitas yang baru saja masuk. Hari itu, layar yang tengah berkedip itu menggenapi tugasnya.
Staf itu bergegas setelah menyeruput kopi dan mencomot sekerat roti, mengunyahnya cepat, lalu segera menghidupkan alat komunikasi, memberi laporan ke protokol yang lebih tinggi.
Sekejap, unit rahasia milik pemerintah yang tak pernah diketahui khalayak itu geger. Pemilik kombinasi kode genetis, sidik jari, dan retina mata spesial itu telah ditemukan. ‘Yang Terpilih’ yang dinantikan telah hadir.

Ilustrasi by Fixabai
Saran dan kritik agan semua sangat ditunggu untuk penyajian trhead yang lebih baik.

Tahun 2011, pemerintah merilis program nasional Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Kebijakan yang menganggarkan dana tak kurang dari 6,9 triliyun pada tahap awal pelaksanannya itu bertujuan untuk menata ulang sistem pendataan kependudukan nasional. Itu adalah wacana pemangku kebijakan untuk menutupi tujuan utamanya. Tak ada yang tahu, tujuan penyimpanan data sidik jari dan retina mata dalam chip yang ditanamkan pada kartu identitas yang lebih modern itu sebenarnya adalah untuk melacak keberadaanku.
***
Aku Fad, lulus sekolah dua bulan yang lalu. Dua bulan yang hanya diha-biskan dengan bertumpuk-tumpuk rencana, tanpa pekerjaan. Menunda kuliah adalah kesepakatan yang dibuat bersama ibu. Setelah kepergian bapak, mau tak mau ibu ‘menggulung lengan baju’, berjibaku sendiri memenuhi penghidupan dan kebutuhan sekolah, sementara uang tabungan sisa penjualan motor peninggalan bapak sudah dihabiskan untuk membiayai semester terakhir. Maka, demikianlah, aku memutuskan menunda kuliah, mengesampingkan keberatan ibu. Tentang kelanjutan pendidikan akan kupikirkan kelak setelah memiliki pekerjaan tetap.
Pagi ini, setelah membaca lowongan CPNS yang brosurnya ditunjukkan seorang teman, aku memutuskan mendatangi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, mendaftarkan diri untuk membuat kartu tanda penduduk. Identitas kependudukan tersebut sebagai syarat pertama yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan berpelat merah itu. Aku sama sekali tak pernah menyadari sebelumnya bahwa langkah menuju kantor pemerintah daerah ini adalah titik balik yang mengantarkan pada hal hebat yang akan mempengaruhi masa depan masyarakat dunia. Yah, registrasi pengesahanku sebagai warga negara telah ditunggu, bahkan kemunculanku telah dituliskan sejak beratus tahun yang lalu.
“Ada yang bisa kami bantu, Dik?”
Seorang pegawai Pemda menyapaku yang kebingungan di lobi kantor.
“Anu, Mas ... eh, Pak ... saya ingin membuat KTP. Saya harus ke ruangan mana, ya?” Aku menjawab kikuk, khas seseorang yang tak pernah berurusan dengan biro-krasi.
“Perlu cepat ya, Dik?” Ia membolak-balikkan berkas yang kuberikan.
Aku mengangguk lekas.
“Iya, Pak. Kalau bisa, hari ini jadi. Soalnya, saya membutuhkan untuk mengirimkan lamaran pekerjaan besok.”
“Wah, sulit, Dik. Blangko tak selalu ada. Minimal seminggu, itu juga belum tentu jadi.”
“Jadi saya harus gimana, Pak?”
“Bisa diusahakan. Dua jam jadi, hari ini. Akan ada teman yang bersedia bantu. Tapi ....”
Aku sebenarnya sempat diingatkan oleh seseorang, kemarin, ketika berencana ke sini, bahwa di kantor pemerintah pun ada “jalan tol” dan ada “jalan biasa”. Jalan tol biayanya lebih mahal. Maka, narasi ‘tapi’ orang yang berbaik hati membantuku itu segera kusambar. Apa boleh buat, benda berukuran 53,98 kali 85,60 mm itu harus kumiliki hari ini jika besok ingin surat lamaranku diserahkan pada panitia seleksi.
“Berapa, Pak?” tanyaku lugas.
Orang itu berkata agak lirih, matanya melirik kiri kanan, memastikan situasi.
“Dua ratus.”
Deal. Aku merogoh saku celana, mengeluarkan nominal yang ia minta.
Singkat cerita, rekam sidik jari dan scaning retina mataku dilakukan hari itu. Kartu berbentuk persegi empat itu kuterima dua jam kemudian. Selesai. Aku pulang setelah lebih dulu singgah di gerai potokopi untuk menggandakan kembali kartu identitas dan kartu keluarga, juga membeli blanko daftar riwayat hidup.
Namun, satu yang tak pernah kusadari. Selain singgah secara resmi di data base dinas kependudukan, ternyata data pribadi yang kurekam tadi terkirim ke tempat lain. Secara ilegal, himpunan binari berisi data kewar-ganegaraanku itu melesat, lalu byte per byte-nya meng-hunjam ke sebuah ruangan di kedalaman sepuluh kilometer di perut bumi, membuat kaget staf yang sedang terkantuk-kantuk di depan komputer yang memberikan peringatan nyaring. Sesuatu yang telah ditunggu lama akhirnya singgah ke sistem canggih yang mereka miliki. Sesuatu yang telah memaksa super komputer itu menguyah ratusan juta data manusia satu negeri selama bertahun-tahun, untuk menyaring dan menemukan identitas yang baru saja masuk. Hari itu, layar yang tengah berkedip itu menggenapi tugasnya.
Staf itu bergegas setelah menyeruput kopi dan mencomot sekerat roti, mengunyahnya cepat, lalu segera menghidupkan alat komunikasi, memberi laporan ke protokol yang lebih tinggi.
Sekejap, unit rahasia milik pemerintah yang tak pernah diketahui khalayak itu geger. Pemilik kombinasi kode genetis, sidik jari, dan retina mata spesial itu telah ditemukan. ‘Yang Terpilih’ yang dinantikan telah hadir.

Ilustrasi by Fixabai
Saran dan kritik agan semua sangat ditunggu untuk penyajian trhead yang lebih baik.




nona212 dan jondolson memberi reputasi
2
363
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan