Kaskus

Story

Ilal303Avatar border
TS
Ilal303
Perih(al) Mantan: Tri
Perih(al) Mantan: Tri

Rasanya ingin mengumpat, tetapi teman-teman sudah lebih dulu tertawa bekakakan. Aku nyaris terkilir saat sandal jepit itu putus. Untung saja ilmu meringankan tubuh tingkat dasar yang pernah kupelajari langsung aktiv dengan sendirinya, hingga piring-piring porselen yang kubawa tak berhambur berantakan di lantai.

Hari itu aku rewang. Pernikahan seorang karib. Sejak bakda Asar tadi, tamu undangan seperti paade pasukan Persia melawan seratus tiga belas orang prajurit terbaik Romawi, datang serupa air bah, tak putus-putus.

Aku meletakkan piring-piring kotor itu untuk segera merunduk, meng-openi sandal jepit sialan itu. Tepat saat aku menggeleng-gelengkan kepala dan memutuskan untuk membuangnya ke kotak sampah, saat itu pula terdengar suara lembut menyapa.

"Kak Ilal ...."

Kudongakkan kepala. Matahari yang nyaris jatuh di batas horison, menyemburatkan bermilyar-milyar partikel cahaya ke samping rumah bagian belakang, tempat yang luput dari sentuhan dekorasi resepsi pernikahan. Taburan magenta melatar-belakangi seraut wajah yang tengah memulas senyum. Itu adalah pemandangan lebih hebat daripada kau melihat lukisan Monalisa dalam bingkai berlapis emas sekalipun.

"Tri ...?" Aku mendadak gagap. "Tri Ari Isfiani?"

Dia mengangguk pelan. Wajahnya, senyumnya ....

Sepuluh tahun lalu dia menghilang dengan sepucuk surat terakhir (dan hatiku) yang ia cabik-cabik. Sekarang, lihatlah. Aku bahkan masih ingat setiap huruf yang menyusun nama panjangnya. Dia berdiri di depanku, menggandeng seorang anak kecil.
***

Aku menatapnya prihatin. Dia bercerita banyak hal di bawah lampu yang bergantungan di atap tarub. Sudah tak ada lagi tamu undangan yang datang. Tri ternyata saudara dekat dari sahabat yang hari itu menikah. Lebih dari itu, dia bercerita tentang alasannya pergi sepuluh tahun lalu yang meninggalkan luka menganga yang sulit sekali diobati. Pun tentang rumah tangganya yang berantakan lima tahun terakhir, yang berujung perceraian. Satu jam aku mendengarkan tiap kata yang dia ucapkan dengan mata sembap, membendung linangan yang nyaris tak tertahan.

Lalu apa gunanya pertemuan itu? Sepuluh tahun teka-teki itu terkubur dan sudah terlambat untuk disesali.

"Untuk semua hal yang menyakitkanmu itu, aku minta maaf, Kak."

Tidak. Sungguh, tak ada yang salah dengan takdir yang kita jalani. Tuhan telah begitu baik dengan menuliskan pertemuan itu untuk meluruskan segenap prasangka.

"Kita telah melewati sepuluh tahun itu, Tri. Kau akan mendapat hadiah terbaik untuk ketabahanmu selama ini. Maafkan kakak juga untuk banyak hal yang menyakitkanmu dulu."

Masa depan telah menunggu, bukan? Sampai hari ini aku telah memutuskan tak perlu lagi mengingat wajahnya yang basah oleh air mata pada malam itu.

Setelah sepuluh tahun, itu adalah pertemuan pertama dan terakhir kami.
***

Gambar pemanis: https://imamulmuttaqin.wordpress.com...idak-hari-itu/
nona212Avatar border
nona212 memberi reputasi
1
260
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan