

TS
sitikumala16
Kekasih (Tak) Halal
Part 2
"Ke kantor!" Pria brewokan itu menitahkan sopirnya untuk pergi. Mereka meninggalkan beberapa staf yang tadi ikut bersama mereka. Terlihat kegusaran di wajahnya.
Getaran ponsel di kantong celana membuatnya tersentak. Dia mengambil dan membuka dengan terburu-buru. Bibirnya setengah menganga setelah membaca isi pesan yang baru diterima.
"Cepatan!"
Alza Mahendra, anak tunggal dari pemilik PT. Mahendra, Adi Mahendra. Pria yang jarang tersenyum dan jika berbicara terkesan ketus dan galak.
Tak lama kemudian mobil hitam itu berhenti di depan gedung PT. Mahendra. Alza berjalan cepat menuju lift. Setelah pintu terbuka, pria itu pun masuk lalu menutupnya. Tak membutuhkan waktu lama, Alza tiba di lantai tujuh. Di depan pintu yang bertuliskan manajer, dia berhenti sesaat. Mengembuskan napas lalu mendorong pintu kaca itu.
Di sana sudah duduk kedua orang tuanya. Selain itu ada juga seorang wanita berpakaian seksi yang tersenyum manis saat melihat Alza. Siapa dia? Claudia Mananda, kekasih Alza.
"Ada apa, Pa?" Alza duduk di kursi sofa sambil mengangkat kaki sebelah.
Adi Mahendra terkekeh," Ada apa? Papa sudah katakan padamu, berhenti berhubungan dengan wanita jahat ini!"
Alza bangkit. "Terserah papa mau jodohkan Alza ke siapa, tapi ... aku tidak akan memutuskan hubungan dengan Claudia!"
Adi menggeleng. Dia tak tahu harus mengatakan apa lagi. Alza begitu keras kepala untuk mempertahankan hubungan dengan Claudia. "Papa akan percepat pernikahanmu dengan Nadira."
Adi melenggang pergi meninggalkan Alza yang terpaku mendengar kalimat terakhir. Mempercepat pernikahan? Apa sebenarnya yang diinginkan orang tuanya itu? Alza mengeram kesal, lalu menghempaskan bokongnya di sofa. Claudia menghampiri, mengelus lembut lengan sang kekasih.
"Udah ... gak apa, Sayang. Aku ikhlas," ucap Claudia lalu menundukkan kepala, "lagian ... percuma kita teruskan kalau orang tuamu tidak pernah suka padaku."
Alza menggeleng, mengangkat dagu Alza hingga mereka bertatapan. "Aku akan menikah, tapi aku akan membuat wanita pilihan papa menyesal pernah bertemu denganku. Dia akan tersiksa lalu pergi, setelah itu kita yang akan menikah."
Claudia menangkup kedua pipi Alza. "Kamu yakin cara itu berhasil?"
"Kalau nggak berhasil, kita cari cara lain. Lagian dia anak yatim piatu pasti rapuh!" seru Alza diakhiri dengan kekehan.
Claudia tersenyum lalu memeluk tubuh Alza. Dalam hati gadis itu bersorak bahagia dan berharap apa yang mereka rencanakan berjalan dengan baik.
***
Semalaman Alza memikirkan cara agar acara lamaran hari ini gagal. Namun, dia sama sekali tak menemukan ide yang bagus. Akhirnya pagi ini mereka berangkat menuju pondok pesantren Nurul-Huda.
Kedatangan mereka membuat Nurul terkejut. Pasalnya dia tak mempersiapkan apa-apa karena memang Adi Mahendra sama sesekali tidak mengabarinya.
"Adi ... kenapa tiba-tiba?" Nurul bertanya dengan ekspresi tegang. Dia bingung harus menjelaskan apa nanti pada Dira. Gadis itu belum tahu apa-apa, tapi tiba-tiba lamaran.
Adi melirik tajam ke arah Alza. Cukup lama hingga Nurul juga ikutan menatap pemuda yang berdiri santai, seolah bukan dia yang sedang menjadi sorotan mereka.
"Masuk dulu, yuk," ajak Nurul.
Mereka pun masuk ke rumah sederhana yang bernuansa biru muda itu. Setelah mempersilakan duduk, Nurul pergi ke belakang memerintahkan Bi Rumi, juru masak di pesantren itu.
Tak lama kemudian, Bi Rumi datang bersama dengan sebuah nampan berisi dua gelas teh putih. "Silakan diminum, Pak."
Adi mengangguk dan berucap,"Terima kasih."
"Apa-"
Belum sempat Nurul menyelesaikan kalimat, Adi berucap tegas,"Pernikahan mereka akan dilangsungkan minggu depan!"
Sontak netra Nurul membulat."Kenapa begitu terburu-buru? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa pada Dira."
Alza memutar bola mata dengan malas. Sungguh sangat memuakkan baginya. Entah kapan papanya akan mengerti tentang dirinya. Entah kapan papanya baru akan menerima keputusan yang dipilih.
"Mereka juga belum saling mengenal satu sama lain," lanjut Nurul.
"Mereka akan saling mengenal setelah menikah, Nur. Percayalah ini waktu yang tepat." Adi mencoba meyakinkan Nurul.
Nurul mengangguk. "Baiklah. Aku panggil Dira dulu."
Setelah kepergian Nurul, Alza berniat bangkit, tapi dengan cepat ditahan sang papa. "Mau kemana, Kamu?"
"Mau pergilah, Pa," balas Alza acuh.
"Duduk! Kamu gak dengar, Nurul lagi memanggil Dira. Kalian akan berkenalan."
"Gak pen-"
"Maaf, lama, ya? Eh, Dira sini duduk." Nurul melambaikan tangan pada gadis berkerudung merah muda itu.
Pandangan kedua pria yang duduk itu beralih ke Dira. Adi bangkit lalu tersenyum hangat. Dira menyalim tangan Adi dengan takzim.
"Kamu cantik sekali, Nak. Beda banget sama waktu kecil," ujar Adi. Pandangannya teralih ke Alza yang masih duduk.
Dira tersenyum. "Masih sama kok, Om."
"Kok om, sih? Panggil papa aja, bentar lagi kan Dira jadi mantu di rumah kami."
Uhuk!
Dira melotot-tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. "A-apa?"
"Gini, Sayang ... ayah Dira dan papa Alza merencanakan perjodohan kalian sejak kecil. Jadi, sekarang usia kalian sudah dewasa, sudah waktunya untuk mewujudkan mimpi itu. Maafin ammah belum sempat cerita ke Dira." Nurul mulai menjelaskan.
Pandangan Dira tertuju pada Alza. Pria kemarin yang membuat jantungnya berdegub kencang. Mereka dijodohkan sejak kecil?
Dira mengangguk pelan. "Iya, Mah. Gak apa-apa."
"Jadi Dira mau jadi mantu papa Adi?" Pertanyaan itu sontak keluar dari mulut Adi Mahendra. Senyumnya semakin lebar saat Dira menjawab dengan anggukan malu-malu.
"Alhamdulillah!" seru Adi dan Nurul bersamaan. Sedangkan Alza menggerutu dalam hati. Memaki Dira. Dia bangkit hingga membuat Adi was-was. Takut, Alza akan melakukan hal yang tak terduga.
"Terima kasih," ucap Alza menyunggingkan senyum palsu.
Pipi Dira memerah karena malu. Tak tahan berlama-lama di sana, gadis itu pun pamit pergi ke kamar. Diam-diam Adi bernapas lega. Meski terkesan sederhana, tapi lamaran itu berjalan dengan baik.
***
Tbc
"Ke kantor!" Pria brewokan itu menitahkan sopirnya untuk pergi. Mereka meninggalkan beberapa staf yang tadi ikut bersama mereka. Terlihat kegusaran di wajahnya.
Getaran ponsel di kantong celana membuatnya tersentak. Dia mengambil dan membuka dengan terburu-buru. Bibirnya setengah menganga setelah membaca isi pesan yang baru diterima.
"Cepatan!"
Alza Mahendra, anak tunggal dari pemilik PT. Mahendra, Adi Mahendra. Pria yang jarang tersenyum dan jika berbicara terkesan ketus dan galak.
Tak lama kemudian mobil hitam itu berhenti di depan gedung PT. Mahendra. Alza berjalan cepat menuju lift. Setelah pintu terbuka, pria itu pun masuk lalu menutupnya. Tak membutuhkan waktu lama, Alza tiba di lantai tujuh. Di depan pintu yang bertuliskan manajer, dia berhenti sesaat. Mengembuskan napas lalu mendorong pintu kaca itu.
Di sana sudah duduk kedua orang tuanya. Selain itu ada juga seorang wanita berpakaian seksi yang tersenyum manis saat melihat Alza. Siapa dia? Claudia Mananda, kekasih Alza.
"Ada apa, Pa?" Alza duduk di kursi sofa sambil mengangkat kaki sebelah.
Adi Mahendra terkekeh," Ada apa? Papa sudah katakan padamu, berhenti berhubungan dengan wanita jahat ini!"
Alza bangkit. "Terserah papa mau jodohkan Alza ke siapa, tapi ... aku tidak akan memutuskan hubungan dengan Claudia!"
Adi menggeleng. Dia tak tahu harus mengatakan apa lagi. Alza begitu keras kepala untuk mempertahankan hubungan dengan Claudia. "Papa akan percepat pernikahanmu dengan Nadira."
Adi melenggang pergi meninggalkan Alza yang terpaku mendengar kalimat terakhir. Mempercepat pernikahan? Apa sebenarnya yang diinginkan orang tuanya itu? Alza mengeram kesal, lalu menghempaskan bokongnya di sofa. Claudia menghampiri, mengelus lembut lengan sang kekasih.
"Udah ... gak apa, Sayang. Aku ikhlas," ucap Claudia lalu menundukkan kepala, "lagian ... percuma kita teruskan kalau orang tuamu tidak pernah suka padaku."
Alza menggeleng, mengangkat dagu Alza hingga mereka bertatapan. "Aku akan menikah, tapi aku akan membuat wanita pilihan papa menyesal pernah bertemu denganku. Dia akan tersiksa lalu pergi, setelah itu kita yang akan menikah."
Claudia menangkup kedua pipi Alza. "Kamu yakin cara itu berhasil?"
"Kalau nggak berhasil, kita cari cara lain. Lagian dia anak yatim piatu pasti rapuh!" seru Alza diakhiri dengan kekehan.
Claudia tersenyum lalu memeluk tubuh Alza. Dalam hati gadis itu bersorak bahagia dan berharap apa yang mereka rencanakan berjalan dengan baik.
***
Semalaman Alza memikirkan cara agar acara lamaran hari ini gagal. Namun, dia sama sekali tak menemukan ide yang bagus. Akhirnya pagi ini mereka berangkat menuju pondok pesantren Nurul-Huda.
Kedatangan mereka membuat Nurul terkejut. Pasalnya dia tak mempersiapkan apa-apa karena memang Adi Mahendra sama sesekali tidak mengabarinya.
"Adi ... kenapa tiba-tiba?" Nurul bertanya dengan ekspresi tegang. Dia bingung harus menjelaskan apa nanti pada Dira. Gadis itu belum tahu apa-apa, tapi tiba-tiba lamaran.
Adi melirik tajam ke arah Alza. Cukup lama hingga Nurul juga ikutan menatap pemuda yang berdiri santai, seolah bukan dia yang sedang menjadi sorotan mereka.
"Masuk dulu, yuk," ajak Nurul.
Mereka pun masuk ke rumah sederhana yang bernuansa biru muda itu. Setelah mempersilakan duduk, Nurul pergi ke belakang memerintahkan Bi Rumi, juru masak di pesantren itu.
Tak lama kemudian, Bi Rumi datang bersama dengan sebuah nampan berisi dua gelas teh putih. "Silakan diminum, Pak."
Adi mengangguk dan berucap,"Terima kasih."
"Apa-"
Belum sempat Nurul menyelesaikan kalimat, Adi berucap tegas,"Pernikahan mereka akan dilangsungkan minggu depan!"
Sontak netra Nurul membulat."Kenapa begitu terburu-buru? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa pada Dira."
Alza memutar bola mata dengan malas. Sungguh sangat memuakkan baginya. Entah kapan papanya akan mengerti tentang dirinya. Entah kapan papanya baru akan menerima keputusan yang dipilih.
"Mereka juga belum saling mengenal satu sama lain," lanjut Nurul.
"Mereka akan saling mengenal setelah menikah, Nur. Percayalah ini waktu yang tepat." Adi mencoba meyakinkan Nurul.
Nurul mengangguk. "Baiklah. Aku panggil Dira dulu."
Setelah kepergian Nurul, Alza berniat bangkit, tapi dengan cepat ditahan sang papa. "Mau kemana, Kamu?"
"Mau pergilah, Pa," balas Alza acuh.
"Duduk! Kamu gak dengar, Nurul lagi memanggil Dira. Kalian akan berkenalan."
"Gak pen-"
"Maaf, lama, ya? Eh, Dira sini duduk." Nurul melambaikan tangan pada gadis berkerudung merah muda itu.
Pandangan kedua pria yang duduk itu beralih ke Dira. Adi bangkit lalu tersenyum hangat. Dira menyalim tangan Adi dengan takzim.
"Kamu cantik sekali, Nak. Beda banget sama waktu kecil," ujar Adi. Pandangannya teralih ke Alza yang masih duduk.
Dira tersenyum. "Masih sama kok, Om."
"Kok om, sih? Panggil papa aja, bentar lagi kan Dira jadi mantu di rumah kami."
Uhuk!
Dira melotot-tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. "A-apa?"
"Gini, Sayang ... ayah Dira dan papa Alza merencanakan perjodohan kalian sejak kecil. Jadi, sekarang usia kalian sudah dewasa, sudah waktunya untuk mewujudkan mimpi itu. Maafin ammah belum sempat cerita ke Dira." Nurul mulai menjelaskan.
Pandangan Dira tertuju pada Alza. Pria kemarin yang membuat jantungnya berdegub kencang. Mereka dijodohkan sejak kecil?
Dira mengangguk pelan. "Iya, Mah. Gak apa-apa."
"Jadi Dira mau jadi mantu papa Adi?" Pertanyaan itu sontak keluar dari mulut Adi Mahendra. Senyumnya semakin lebar saat Dira menjawab dengan anggukan malu-malu.
"Alhamdulillah!" seru Adi dan Nurul bersamaan. Sedangkan Alza menggerutu dalam hati. Memaki Dira. Dia bangkit hingga membuat Adi was-was. Takut, Alza akan melakukan hal yang tak terduga.
"Terima kasih," ucap Alza menyunggingkan senyum palsu.
Pipi Dira memerah karena malu. Tak tahan berlama-lama di sana, gadis itu pun pamit pergi ke kamar. Diam-diam Adi bernapas lega. Meski terkesan sederhana, tapi lamaran itu berjalan dengan baik.
***
Tbc
0
366
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan