- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Bilal Bin Rabah Di Benak Gus Yazid


TS
mambaulathiyah
Bilal Bin Rabah Di Benak Gus Yazid
Ketika Gus Yazid berkisah tentang Bilal bin Rabah
___
Semilir angin malam berhembus di antara celah kamar Ara dan membawa udara dingin menusuk tubuh. Tetapi, malam itu aku dan Ara tak bisa tertidur bukan dikarenakan tusukan angin di tubuh kami yang kian dingin melainkan suara tangisan Kanafi di dekat dinding rumah yang menyayat pilu.
Aku dan Ara bergegas bangun dan mencari sumber suara. Begitu melongok ke samping rumah, Kanafi yang masih menangis dicubiti kecil-kecil tangannya oleh Kang Ridlo seksi keamanan pondok.
"Dlo. Bocah cilik kok kamu cubiti. Tambah nangis iya," kataku tiba-tiba dan membuatnya malu seketika.
"Habis dari tadi nangis terus, Gus. Padahal tidur juga sudah ditemani banyak anak-anak eh, malah nangis lari ke sini."
"Sudah ... sudah. Kanafi baru saja kena musibah kok masih kamu ganggu. Ayo angkat ke musala," perintahku akhirnya. Kami semua kemudian berjalan ke musala dekat rumah dengan Ara yang menggelayut manja di punggung Kang Sanusi yang ikut menemani Kanafi tadi.
Kami semua sudah berada di Musala saat Kanafi bergumam lirih. "Abah, bolehkah ceritakan sebuah kisah? Kata Ning Ara, Abah sering mendongengkan kisah-kisah penuh romansa."
Uhuk. Rasanya seperti keselek bola bekel saat Kanafi bilang kisah penuh romansa. Sementara biang keladinya berpura-pura mengantuk dan tertidur di pahaku. Meskipun aku tak melihatnya, gerakan kedip matanya terasa oleh kulit. Ada-ada saja Ara.
"Baiklah. Habis tak critani kamu tidur ya, Le. Kanafi. Besok masih sekolah jadi harus tidur malam ini."
Kanafi mengangguk patuh. Lalu aku teringat bagaimana kelamnya kulit Kanafi membuatku teringat akan Bilal bin Rabah. Muazin Nabi Muhammad yang mengumandangkan adzan terakhirnya di Madinah.
***
"Wes. Podo anteng. Matanya terpejam. Abah akan bercerita tentang Bilal bin Rabah. Orang yang selalu mengumandangkan adzan untuk Nabi dan umat Islam. Suaranya membius semua untuk bergegas menghadap Tuhan untuk menunaikan salat."
Mata Ara terbuka. Dia merubah posisinya memintaku memangkunya dan dia memelukku dengan erat.
"Al-kisah. Hari itu saat Rasulullah Muhammad wafat Bilal bin Rabah berhenti mengumandangkan adzan. Meskipun Abu Bakar membujuknya tiada satupun rayuannya yang berhasil membuat Bilal bangkit berdiri untuk melantunkan azan."
"Abu Bakar tak mempan, Bah? Rayuannya?" Ara bangun dan menatapku. Aku mengangguk menjawabnya. Kupeluk dia lagi kemudian mengelus-elus kepalanya.
"Kemudian, Bilal memilih meninggalkan Madinah dan pergi ke Suriah. Dia merasa setiap sudut Madinah membuatnya teringat Rasulullah dan membuatnya sedih tiada tara. Hingga hari itu Rasulullah hadir dalam mimpinya."
"Abah, aku ingin ketemu Nabi dalam mimpi." Kanafi mengajukan keinginannya yang lugu dan murni. Kataku dalam hati, "bukan kau saja, Fi. Akupun sama."
"Ya. Berdoa saja semoga nanti Rasulullah sudi mampir ke alam mimpi kita. Tandanya kita umatnya yang istimewa." Kanafi mengangguk lalu menata posisi tidurnya.
"Lanjut mboten?"
"Lanjut ...." Kali ini Kang Sanusi dan Kang Ridlo yang menjawab.
"Kon, cah loro belum pernah dengar kisahnya juga?" Mereka menggeleng menjawab pertanyaanku. Aduh.
"Akhirnya, malam itu Rasullullah mendatangi Bilal dalam mimpi.
Rasulullah berkata, duhai sahabat sejatiku. Kenapa kau tak pernah lagi mengunjungiku dan pergi jauh dari sisiku.
Bilal terperanjat. Detik itu juga dia mengemasi barang-barangnya dan pergi menuju Madinah. Tepat saat dia tiba di Madinah dan selesai berziarah di Raudhah Bilal menangis sejadinya. Rasa rindunya kepada Baginda Nabi membuatnya semakin sedih.
Menyadari ada seseorang yang sesenggukan di depan makam Rasulullah maka dua anak kecil mendekat ke arahnya. Dua anak kecil itu siapa coba?" tanyaku mencoba menarik interaksi Sanusi dan Ridlo sementara Kanafi dan Ara hanya menggerakkan matanya antara kantuk dan bingung.
Mereka menggeleng. Sudah kuduga.
"Hasan dan Husein. Cucu Rasulullah yang masih suka bermain di sekitar makam.
Mereka berdua mendekati Bilal kemudian berteriak kegirangan.
Ya ... Muazin. Dikau adalah Muazin Nabi kan?
Bilal kemudian merangkul mereka berdua. Sambil menyeka air mata Bilal menciumi Hasan dan Husein. Hal itu dilakukan karena ingin menyalurkan kerinduannya kepada cucu Rasulullah.
Melihat orang tersebut adalah Bilal maka Hasan berujar. Ya Bilal. Kumandangkanlah Azan sebentar lagi. Kami rindu kakek dan jika mendengar suara azanmu kami akan merasa Rasulullah kembali membersamai kami.
Bilal menitikkan air mata dan tak sanggup menjawab permintaan kedua cucu Nabi."
Aku menghentikan cerita sejenak. Entah kenapa cerita ini juga mampu membuat air mataku sedikit menggantung di ujung mata. Tangan mungil Ara kemudian menghapusnya.
"Lanjutkan, Abah. Ara senang mendengarnya," katanya penuh rayuan. Aku mengangguk menjawabnya.
"Akhirnya kejadian itu tertangkap mata Khalifah Umar yang sedang lewat. Khalifah Umar berjongkok di dekat Bilal menepuk pundaknya lalu meminta hal yang sama. Terkabul!
Tepat saat masuk waktu salat, Bilal naik ke atas samping masjid tempat dimana dia biasa mengumandangkan azan.
Saat Bilal membuka suara semua masyarakat Madinah diam. Mereka mencari suara yang telah lama hilang dan sangat dirindukan.
Semua penjuru Madinah senyap. Orang-orang berlarian ke arah masjid dan mendengarkan azan Bilal. Sang Muazin yang menghilang.
Allahu Akbar. Bilal membuka suara dan seluruh Madinah hening.
Asyhadu an laa ilaaha illaAllah. Semua orang berteriak histeris merindukan masa-masa itu.
Saat hendak melanjutkan kalimat wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, suara Bilal tercekat. Dia menangis. Tidak hanya Bilal. Seluruh manusia yang ada di Madinah berurai air mata."
Akupun sama. Kisah ini begitu mengharukan. Tangisanku bukan membuat anak-anakku tidur mereka malah bangun dan ikut tersedu. Kang Sanusi dan Ridlo pun sama.
"Hari itu seantero Madinah mengingat kenangan. Mereka semua menangis teringat masa-masa indah bersama Rasulullah.
Tangisan paling keras berasal dari sahabat Umar bin Khattab. Di atas menara Nabawi, Bilal tak bisa meneruskan suara azannya. Mulutnya tercekat oleh air mata yang turun perlahan tak bisa lagi dibendung.
Hari itu, Bilal kembali azan yang pertama dan terakhir di Madinah. Karena setelah itu Bilal pun menyusul kepergian Rasulullah tak lama setelah dia kembali dari Madinah."
"Shollu'alannabiy," teriak kang Sanusi dan Ridlo lalu kami semua diam dalam keharuan.
Kanafi sudah lebih tenang setelah kisah itu. Dia tak lagi menangis histeris seperti sebelumnya. Bersama Kang Sanusi dan Ridlo mereka memutuskan tidur di teras Musala. Mereka ingin berebut bangun untuk menjadi yang pertama dalam mengumandangkan azan. Sementara aku dan Ara terdiam di dalam kamar membayangkan kenangan yang mengharukan itu.
Ternyata, rasa rindu yang sangat bisa membuat orang datang melawan kesedihannya.
Teruntuk Bilal bin Rabah, terima kasih sudah datang dalam ingatanku di saat aku butuh pijakan untuk tidak selalu hidup dalam kenangan. Mungkin, Ara juga mengambil ibrah dari kisah ini. Dia tertidur lebih dulu dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Semoga Allah senantiasa merahmati para sahabat Nabi yang berjuang di jalan Allah selalu. Amin. Lalu akupun menutup mataku dengan genangan air mata yang mulai kering. Terlelap di samping Ara dan berharap dengan sebuah harapan yang sama dengan Kanafi. Entah kapan? Wallahu A'lam.
___
Semilir angin malam berhembus di antara celah kamar Ara dan membawa udara dingin menusuk tubuh. Tetapi, malam itu aku dan Ara tak bisa tertidur bukan dikarenakan tusukan angin di tubuh kami yang kian dingin melainkan suara tangisan Kanafi di dekat dinding rumah yang menyayat pilu.
Aku dan Ara bergegas bangun dan mencari sumber suara. Begitu melongok ke samping rumah, Kanafi yang masih menangis dicubiti kecil-kecil tangannya oleh Kang Ridlo seksi keamanan pondok.
"Dlo. Bocah cilik kok kamu cubiti. Tambah nangis iya," kataku tiba-tiba dan membuatnya malu seketika.
"Habis dari tadi nangis terus, Gus. Padahal tidur juga sudah ditemani banyak anak-anak eh, malah nangis lari ke sini."
"Sudah ... sudah. Kanafi baru saja kena musibah kok masih kamu ganggu. Ayo angkat ke musala," perintahku akhirnya. Kami semua kemudian berjalan ke musala dekat rumah dengan Ara yang menggelayut manja di punggung Kang Sanusi yang ikut menemani Kanafi tadi.
Kami semua sudah berada di Musala saat Kanafi bergumam lirih. "Abah, bolehkah ceritakan sebuah kisah? Kata Ning Ara, Abah sering mendongengkan kisah-kisah penuh romansa."
Uhuk. Rasanya seperti keselek bola bekel saat Kanafi bilang kisah penuh romansa. Sementara biang keladinya berpura-pura mengantuk dan tertidur di pahaku. Meskipun aku tak melihatnya, gerakan kedip matanya terasa oleh kulit. Ada-ada saja Ara.
"Baiklah. Habis tak critani kamu tidur ya, Le. Kanafi. Besok masih sekolah jadi harus tidur malam ini."
Kanafi mengangguk patuh. Lalu aku teringat bagaimana kelamnya kulit Kanafi membuatku teringat akan Bilal bin Rabah. Muazin Nabi Muhammad yang mengumandangkan adzan terakhirnya di Madinah.
***
"Wes. Podo anteng. Matanya terpejam. Abah akan bercerita tentang Bilal bin Rabah. Orang yang selalu mengumandangkan adzan untuk Nabi dan umat Islam. Suaranya membius semua untuk bergegas menghadap Tuhan untuk menunaikan salat."
Mata Ara terbuka. Dia merubah posisinya memintaku memangkunya dan dia memelukku dengan erat.
"Al-kisah. Hari itu saat Rasulullah Muhammad wafat Bilal bin Rabah berhenti mengumandangkan adzan. Meskipun Abu Bakar membujuknya tiada satupun rayuannya yang berhasil membuat Bilal bangkit berdiri untuk melantunkan azan."
"Abu Bakar tak mempan, Bah? Rayuannya?" Ara bangun dan menatapku. Aku mengangguk menjawabnya. Kupeluk dia lagi kemudian mengelus-elus kepalanya.
"Kemudian, Bilal memilih meninggalkan Madinah dan pergi ke Suriah. Dia merasa setiap sudut Madinah membuatnya teringat Rasulullah dan membuatnya sedih tiada tara. Hingga hari itu Rasulullah hadir dalam mimpinya."
"Abah, aku ingin ketemu Nabi dalam mimpi." Kanafi mengajukan keinginannya yang lugu dan murni. Kataku dalam hati, "bukan kau saja, Fi. Akupun sama."
"Ya. Berdoa saja semoga nanti Rasulullah sudi mampir ke alam mimpi kita. Tandanya kita umatnya yang istimewa." Kanafi mengangguk lalu menata posisi tidurnya.
"Lanjut mboten?"
"Lanjut ...." Kali ini Kang Sanusi dan Kang Ridlo yang menjawab.
"Kon, cah loro belum pernah dengar kisahnya juga?" Mereka menggeleng menjawab pertanyaanku. Aduh.
"Akhirnya, malam itu Rasullullah mendatangi Bilal dalam mimpi.
Rasulullah berkata, duhai sahabat sejatiku. Kenapa kau tak pernah lagi mengunjungiku dan pergi jauh dari sisiku.
Bilal terperanjat. Detik itu juga dia mengemasi barang-barangnya dan pergi menuju Madinah. Tepat saat dia tiba di Madinah dan selesai berziarah di Raudhah Bilal menangis sejadinya. Rasa rindunya kepada Baginda Nabi membuatnya semakin sedih.
Menyadari ada seseorang yang sesenggukan di depan makam Rasulullah maka dua anak kecil mendekat ke arahnya. Dua anak kecil itu siapa coba?" tanyaku mencoba menarik interaksi Sanusi dan Ridlo sementara Kanafi dan Ara hanya menggerakkan matanya antara kantuk dan bingung.
Mereka menggeleng. Sudah kuduga.
"Hasan dan Husein. Cucu Rasulullah yang masih suka bermain di sekitar makam.
Mereka berdua mendekati Bilal kemudian berteriak kegirangan.
Ya ... Muazin. Dikau adalah Muazin Nabi kan?
Bilal kemudian merangkul mereka berdua. Sambil menyeka air mata Bilal menciumi Hasan dan Husein. Hal itu dilakukan karena ingin menyalurkan kerinduannya kepada cucu Rasulullah.
Melihat orang tersebut adalah Bilal maka Hasan berujar. Ya Bilal. Kumandangkanlah Azan sebentar lagi. Kami rindu kakek dan jika mendengar suara azanmu kami akan merasa Rasulullah kembali membersamai kami.
Bilal menitikkan air mata dan tak sanggup menjawab permintaan kedua cucu Nabi."
Aku menghentikan cerita sejenak. Entah kenapa cerita ini juga mampu membuat air mataku sedikit menggantung di ujung mata. Tangan mungil Ara kemudian menghapusnya.
"Lanjutkan, Abah. Ara senang mendengarnya," katanya penuh rayuan. Aku mengangguk menjawabnya.
"Akhirnya kejadian itu tertangkap mata Khalifah Umar yang sedang lewat. Khalifah Umar berjongkok di dekat Bilal menepuk pundaknya lalu meminta hal yang sama. Terkabul!
Tepat saat masuk waktu salat, Bilal naik ke atas samping masjid tempat dimana dia biasa mengumandangkan azan.
Saat Bilal membuka suara semua masyarakat Madinah diam. Mereka mencari suara yang telah lama hilang dan sangat dirindukan.
Semua penjuru Madinah senyap. Orang-orang berlarian ke arah masjid dan mendengarkan azan Bilal. Sang Muazin yang menghilang.
Allahu Akbar. Bilal membuka suara dan seluruh Madinah hening.
Asyhadu an laa ilaaha illaAllah. Semua orang berteriak histeris merindukan masa-masa itu.
Saat hendak melanjutkan kalimat wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, suara Bilal tercekat. Dia menangis. Tidak hanya Bilal. Seluruh manusia yang ada di Madinah berurai air mata."
Akupun sama. Kisah ini begitu mengharukan. Tangisanku bukan membuat anak-anakku tidur mereka malah bangun dan ikut tersedu. Kang Sanusi dan Ridlo pun sama.
"Hari itu seantero Madinah mengingat kenangan. Mereka semua menangis teringat masa-masa indah bersama Rasulullah.
Tangisan paling keras berasal dari sahabat Umar bin Khattab. Di atas menara Nabawi, Bilal tak bisa meneruskan suara azannya. Mulutnya tercekat oleh air mata yang turun perlahan tak bisa lagi dibendung.
Hari itu, Bilal kembali azan yang pertama dan terakhir di Madinah. Karena setelah itu Bilal pun menyusul kepergian Rasulullah tak lama setelah dia kembali dari Madinah."
"Shollu'alannabiy," teriak kang Sanusi dan Ridlo lalu kami semua diam dalam keharuan.
Kanafi sudah lebih tenang setelah kisah itu. Dia tak lagi menangis histeris seperti sebelumnya. Bersama Kang Sanusi dan Ridlo mereka memutuskan tidur di teras Musala. Mereka ingin berebut bangun untuk menjadi yang pertama dalam mengumandangkan azan. Sementara aku dan Ara terdiam di dalam kamar membayangkan kenangan yang mengharukan itu.
Ternyata, rasa rindu yang sangat bisa membuat orang datang melawan kesedihannya.
Teruntuk Bilal bin Rabah, terima kasih sudah datang dalam ingatanku di saat aku butuh pijakan untuk tidak selalu hidup dalam kenangan. Mungkin, Ara juga mengambil ibrah dari kisah ini. Dia tertidur lebih dulu dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Semoga Allah senantiasa merahmati para sahabat Nabi yang berjuang di jalan Allah selalu. Amin. Lalu akupun menutup mataku dengan genangan air mata yang mulai kering. Terlelap di samping Ara dan berharap dengan sebuah harapan yang sama dengan Kanafi. Entah kapan? Wallahu A'lam.






nona212 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
758
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan