

TS
Opi.Sabai
Simuntu
Momen lebaran adalah momen yang ditunggu-tunggu. Apalagi oleh anak kecil. Momen di saat mereka bisa mendapatkan uang dengan mengunjungi tetangga-tetangga beralasan 'pai barayo'. Begitu juga dengan aku kecil. Momen lebaran momen lepas makan apa saja setelah satu bulan menahan lapar di siang hari.
Tapi ada yang tidak begitu menyenangkan bagi aku kecil. Ketika kami sekeluarga harus pulang kampung.
Orang tuaku lahir dan besar di desa Pauh, Nagari Panta Pauh, Kecamatan Matur. Setiap lebaran, selalu ada yang namanya Simuntu di sana. Waktu aku kecil, simuntu ini adalah seorang dewasa yang dihiasi penuh dengan karisiak. Karisiak adalah daun pisang yang kering. Semua tubuhnya dipakaikan karisiak, tanpa terkecuali.
Setelah semua tubuh ditutupi karisiak, simuntu ini diarak keliling kampung singgah ke beberapa rumah dan berakhir di 'balai-balai'.
Simuntu ini diarak dengan sorak-sorakan anak kecil yang mengiringinya. "Owaklah simuntu ... Owaklah simuntu ..." Begitu mereka bersorak sorai sambil berjoget-joget dan tertawa riang.

Sumber: koleksi foto grup pauh
Aku kecil jika sudah pulang kampung dan mendengar sorak sorai ini, langsung kabur ke kamar. Atau jika penasaran, lari ke atas loteng rumah, dan melihat simuntu dari atas. Entah mengapa rada takut saja melihat karisiak berjalan terseok-seok.
Biasanya simuntu ini makin riuh sorak sorai nya jika mengunjungi rumah-rumah para perantau yang pulang kampung. Sesampainya di rumah, para perantau selalu mempertanyakan, siapa yang ada di dalam karisiak yang menyamar sebagai simuntu tersebut. Si perantau pun ditantang untuk menebak. Jika tebakan mereka benar, simuntu akan membuka topeng karisiak-nya.
Lain dulu lain sekarang. Jika dulu waktu aku kecil, simuntu hanya 1 orang dewasa yang diarak sekeliling kampung, sekarang sudah mulai ramai. Tidak hanya satu. Banyak. Dan yang berpakaian seperti simuntu itu adalah anak-anak kecil. Mereka terpecah-pecah. Punya genk masing-masing.
Bentuknya pun berbeda antara simuntu dahulu dengan sekarang. Selain ukuran tubuh mereka yang mengecil, bagian kepala diganti dengan menggunakan kardus bekas. Jadi gampang untuk dibuka tutup, seperti badut. Padahal simuntu dahulu, menggunakan karisiak dari atas sampai bawah.
Bagi mereka menjadi simuntu adalah ajang 'pai manambang'. Mencari 'angpao' di rumah-rumah perantau yang pulang kampung saat lebaran.
Ada juga beberapa yang ciluah. Ketika si perantau satu memberikan lebih banyak uang dari perantau lainnya, mereka berulang datang ke rumah si perantau tersebut, dengan mengakali, mengganti teman-teman yang mengiringinya.
"Apak tu banyak agiah pitih dek ang, pek lah gantian. Antaan den ka rumah apak tu baliak. Den kan pakai karisiaknyo, nd ka kenal gai apak tu doh" ("Bapak itu kasih uang lebih. Yuk gantian. Anterin aku lagi ke rumah bapak itu. Aku kan pakai karisiak, jadi ga bakalan dikenal sama si bapak")
Namanya anak-anak, mereka tidak paham. Niat mengakali tapi tentu tidak berhasil. Karena bagian kepala hanya dibungkus kardus bekas, tentu kelihatan beda simuntu satu dengan simuntu lainnya, karena merk kardus mereka berbeda-beda.
"Waang alah kamari tadi kan? Baliak lo ang kamari baliak. Cadiak." ("Kamu sudah ke sini tadi, kan? Kok ke sini lagi. Curang.")
Begitulah keseruan simuntu di kampung kami. Asal muasal terbentuknya simuntu, aku tidak begitu tahu. Pernah baca, di daerah lain juga ada yang sejenis, tapi mereka menggunakan 'ijuak'. Dan konon katanya, itu adalah bentuk penyamaran masyarakat untuk mengelabui penjajah zaman dahulu.
***
Translate:
Pai barayo = pergi berlebaran
Balai-balai = tempat / lapangan untuk berkumpul masyarakat desa.
Pai manambang = lebaran dan mengharapkan uang dari tuan rumah
Ciluah = cadiak = curang
Ijuak = ijuk
Tapi ada yang tidak begitu menyenangkan bagi aku kecil. Ketika kami sekeluarga harus pulang kampung.
Orang tuaku lahir dan besar di desa Pauh, Nagari Panta Pauh, Kecamatan Matur. Setiap lebaran, selalu ada yang namanya Simuntu di sana. Waktu aku kecil, simuntu ini adalah seorang dewasa yang dihiasi penuh dengan karisiak. Karisiak adalah daun pisang yang kering. Semua tubuhnya dipakaikan karisiak, tanpa terkecuali.
Setelah semua tubuh ditutupi karisiak, simuntu ini diarak keliling kampung singgah ke beberapa rumah dan berakhir di 'balai-balai'.
Simuntu ini diarak dengan sorak-sorakan anak kecil yang mengiringinya. "Owaklah simuntu ... Owaklah simuntu ..." Begitu mereka bersorak sorai sambil berjoget-joget dan tertawa riang.

Sumber: koleksi foto grup pauh
Aku kecil jika sudah pulang kampung dan mendengar sorak sorai ini, langsung kabur ke kamar. Atau jika penasaran, lari ke atas loteng rumah, dan melihat simuntu dari atas. Entah mengapa rada takut saja melihat karisiak berjalan terseok-seok.
Biasanya simuntu ini makin riuh sorak sorai nya jika mengunjungi rumah-rumah para perantau yang pulang kampung. Sesampainya di rumah, para perantau selalu mempertanyakan, siapa yang ada di dalam karisiak yang menyamar sebagai simuntu tersebut. Si perantau pun ditantang untuk menebak. Jika tebakan mereka benar, simuntu akan membuka topeng karisiak-nya.
Lain dulu lain sekarang. Jika dulu waktu aku kecil, simuntu hanya 1 orang dewasa yang diarak sekeliling kampung, sekarang sudah mulai ramai. Tidak hanya satu. Banyak. Dan yang berpakaian seperti simuntu itu adalah anak-anak kecil. Mereka terpecah-pecah. Punya genk masing-masing.
Bentuknya pun berbeda antara simuntu dahulu dengan sekarang. Selain ukuran tubuh mereka yang mengecil, bagian kepala diganti dengan menggunakan kardus bekas. Jadi gampang untuk dibuka tutup, seperti badut. Padahal simuntu dahulu, menggunakan karisiak dari atas sampai bawah.
Bagi mereka menjadi simuntu adalah ajang 'pai manambang'. Mencari 'angpao' di rumah-rumah perantau yang pulang kampung saat lebaran.
Ada juga beberapa yang ciluah. Ketika si perantau satu memberikan lebih banyak uang dari perantau lainnya, mereka berulang datang ke rumah si perantau tersebut, dengan mengakali, mengganti teman-teman yang mengiringinya.
"Apak tu banyak agiah pitih dek ang, pek lah gantian. Antaan den ka rumah apak tu baliak. Den kan pakai karisiaknyo, nd ka kenal gai apak tu doh" ("Bapak itu kasih uang lebih. Yuk gantian. Anterin aku lagi ke rumah bapak itu. Aku kan pakai karisiak, jadi ga bakalan dikenal sama si bapak")
Namanya anak-anak, mereka tidak paham. Niat mengakali tapi tentu tidak berhasil. Karena bagian kepala hanya dibungkus kardus bekas, tentu kelihatan beda simuntu satu dengan simuntu lainnya, karena merk kardus mereka berbeda-beda.
"Waang alah kamari tadi kan? Baliak lo ang kamari baliak. Cadiak." ("Kamu sudah ke sini tadi, kan? Kok ke sini lagi. Curang.")
Begitulah keseruan simuntu di kampung kami. Asal muasal terbentuknya simuntu, aku tidak begitu tahu. Pernah baca, di daerah lain juga ada yang sejenis, tapi mereka menggunakan 'ijuak'. Dan konon katanya, itu adalah bentuk penyamaran masyarakat untuk mengelabui penjajah zaman dahulu.
***
Translate:
Pai barayo = pergi berlebaran
Balai-balai = tempat / lapangan untuk berkumpul masyarakat desa.
Pai manambang = lebaran dan mengharapkan uang dari tuan rumah
Ciluah = cadiak = curang
Ijuak = ijuk
Diubah oleh Opi.Sabai 08-05-2020 04:05




tuliptulipje dan darmawati040 memberi reputasi
2
908
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan