Quote:
Masa pacaran kita sangat seru dan kita masih sangat muda saat itu, aku 18 dan kau 19 tahun. Sempat terbersit olehku untuk menerima lamaranmu tapi aku tahu, dia lebih menyayangimu melebihiku. Selain itu, aku ingin kau jadi pria sejati, tetaplah bersamanya.
sumber
Suara klakson genitmenyapaku yang tengah berdiri tepat di depan pagar, disusul sungging senyuman dari sesosok cowok di dalam mobil yang merasa puas karena berhasil membuatku gusar.
"Aak masih kayak dulu, ya, jahil!" cetusku pura-pura kesal sambil menyalami tangannya.
"Hehe, pa kabar, Al?" sapanya sambil nyengir kuda, seolah tiada dosa.
"Alhamdulillah, baik. Langsung jalan, yuk!" ajakku.
Iki langsung mengarahkan kendaraannya menuju GOR Jakabaring, markasnya Sriwijaya FC, klub sepak bola kebanggaan wong Palembang. Lokasinya tak begitu jauh dari rumahku.
Dengan kecepatan normal, kami bisa tiba di sana kurang dari 5 menit. Berhubung Iki bawanya lelet kayak kura-kura ninja lagi mager maka kami bisa saja baru tiba keesokan harinya.
Di kejauhan, nampak olehku tugu bundaran Jakabaring yang berdiri dengan kokoh di seberang pintu masuk GOR Jakabaring. Nama sebenarnya dari tugu itu adalah tugu Parameswara.
Hanya saja, masih banyak yang belum mengetahuinya sehingga kerap menyebutnya dengan 'tugu bundaran Jakabaring'. Namun, tugu itu bukan sembarang tugu, melainkan tugu bersejarah yang menjadi saksi bisu cerita cinta ratusan remaja di kota Palembang, termasuk aku dan Iki.
Alasannya, kawasan sekitar tugu menjadi tempat nongki favorit muda-mudi di Palembang. Di bulan puasa, menjadi lokasi yang asyik buat ngabuburit. Di sabtu sore/malam minggu/hari libur nasional, tempat itu berubah menjadi arena balap liar yang memiliki banyak penonton setia.
Asyiknya lagi, ada banyak penjual makanan di sekitar tugu sehingga yang sedang pacaran atau sekedar nongki tak perlu takut kelaparan. Untuk makanan, yang jadi favoritku di sana adalah jagung bakar dan pempek panggang.
*****
Quote:
1,5 tahun yang lalu, aku dan Iki pertama kali bertemu di dekat tugu bundaran Jakabaring itu saat kami sama-sama sedang nongkrong bersama teman-teman kami masing-masing.
Ia ternyata mantan joki yang sudah insyaf karena hampir kehilangan nyawa. Aku melihat sisa-sisa kengerian itu di tubuhnya dalam bentuk bekas luka.
Namun, beberapa temannya masih ada yang berprofesi di bidang itu. Oleh karenanya, ia tetap rutin main di kawasan itu untuk sekedar menonton atau menemani temannya yang hendak balapan.
Aku memang penganut cinta pandangan pertama. Saat pertama kali Iki menyapa dan terlihat tertarik padaku, aku langsung memberikannya lampu hijau sehingga ia tak ragu untuk meminta nomor HP-ku.
Tak butuh waktu lama, dalam beberapa hari saja, kami langsung pacaran karena kebetulan, aku sedang kosong. Hari-hari kami sangat seru karena secara ajaib, kami punya banyak kesamaan.
Merasa sama-sama cocok, ia pun membawaku ke rumahnya untuk diperkenalkan pada keluarganya. Sebaliknya, hal tersebut kulakukan pula untuknya.
Di bulan ke-3 berpacaran, ia bertanya, apa aku mau jadi istrinya di usiaku yang masih 18 tahun, sedangkan dirinya hanya lebih tua 1 tahun dariku. Ia mantap pada niatnya karena telah memiliki penghasilan sendiri.
Menikah muda memang impianku tapi ketika saat itu tiba, aku justru tak bisa menjawabnya dan memintanya untuk memberikanku waktu. Syukurlah, Iki sedia menungguku sampai aku siap memberinya jawaban.
=======
Sebuah nomor tak dikenal mencoba menghubungiku beberapa kali. Aku enggan menjawabnya karena takut ulah orang iseng. Aku meresponnya dengan mengirim sms untuk menanyakan identitas dan tujuannya menelpon.
"Maaf, ganggu. Ini benar Aldys, kan? Takutnya salah nomor. Soalnya, aku ada perlu. Ada hal yang harus kusampaikan," balas orang asing tersebut dalam sms-nya.
"Iya, betul. Ada apa, ya?" tanyaku menyelidik.
"Aku Lala. Salam kenal ya, Al. Maaf, aku mau tanya, kamu pacarnya Iki?"
"Iya. Salam kenal juga, La. Betul, saya pacarnya Iki. Memangnya ada apa? Bisa to the point, Sis? Sumpah, saya jadi penasaran ini. Kamu, tiba-tiba menghubungi saya dan bertanya soal Iki." Pikiranku seketika kalut karena merasa ada sesuatu yang gak beres.
"Kalau kamu ingin tahu lebih detail aku siapa dan kenapa menghubungimu, please, angkat teleponku biar aku bisa jelasin semua."
Seketika, tanganku gemetar setelah membaca sms terakhir darinya. Bersamaan dengan itu, HP-ku jadi ikut gemetaran juga. Kukira kesurupan, ternyata, ada telepon masuk dari cewek bernama Lala itu.
"Assalammualaikum? Ya, La. Silakan, kamu jelaskan sedetail-detailnya," tukasku padanya.
"Waalaikum salam, Al. Aku sebelumnya minta maaf tapi kamu harus tahu kebenarannya. Aku dan Iki sudah pacaran selama 4 tahun sejak kami SMP. Selama pacaran, hampir tiap hari dia main ke rumahku, kecuali sedang sibuk ...." Ia menghentikan ceritanya sejenak untuk memastikan bahwa aku masih mendengarkannya.
"Ya, aku mendengarkan," sahutku mencoba tetap kalem.
"Namun," lanjutnya lagi, "beberapa bulan belakangan, dia jadi jarang ke rumah. Hampir gak pernah malah, kecuali saat kuancam bakal susulin ke rumahnya, barulah ia mau datang." Ia menghela nafas dan kembali melanjutkan ceritanya.
"Saat itu, feeling-ku bilang buat cek HP-nya. Bener aja, dia punya cewek lain dan ternyata, cewek itu kamu. Aku tanya ke dia soal kamu. Dia malah marah dan kami ribut besar. Akhirnya, dia mutusin aku."
"Kapan terakhir dia nemuin kamu?" tanyaku penasaran.
"Seminggu yang lalu, Al," jawabnya lirih.
Aku menghela nafas panjang. Terkejut sekaligus kecewa pada Iki. Bisa-bisanya dia ngedobelinaku dan Lala. Akan tetapi, yang membuatku heran adalah aku sama sekali gak pernah melihat tanda-tanda bahwa Iki sudah punya cewek selama 3 bulan kami berpacaran.
Aku sering berada di tempat Iki berada, baik itu di rumahnya, di tempat tongkrongannya atau di tempatnya bekerja. Lalu, tiba-tiba, cewek bernama Lala ini datang dan mengaku sebagai pacarnya Iki. Kemana aja, Sis selama 3 bulan ini???
Namun, di sisi lain, entah kenapa hatiku percaya bahwa Lala berkata jujur sehingga aku tertarik untuk mendengarkan kisah kasih mereka dari nol, tentang perjuangan mereka melewati suka-duka bersama-sama hingga berakhir dengan Iki mencampakkannya.
Sebagai sesama cewek, tentu aku bersimpati pada Lala. Selain itu, aku menghargai cara bicaranya yang sopan terhadapku dan sikap bijaknya karena gak menyalahkanku atas perselingkuhan yang dilakukan cowoknya. Lagi pula, aku benar-benar gak tahu kalau Iki sudah punya pacar, sumpah!.
Demi mendapatkan Iki kembali, Lala tak berhenti, ia selalu memohon padaku untuk melepaskan Iki. Aku memberitahunya bahwa aku berusaha menurutinya tapi Iki ngotot gak mau diputusin.
=====
Sesuai janji, aku dan Lala bertemu di tugu bundaran Jakabaring karena dia bilang, ada sesuatu yang harus kuketahui. Sebenarnya, Iki melarangku. Namun, rasa penasaran membuatku bersikeras untuk tetap pergi menemui Lala.
Baru saja hendak memulai obrolan, tiba-tiba, melintas kencang seorang pengendara motor ninja R 2 tak tak jauh dari posisi kami duduk dengan suara knalpotnya yang sangat berisik.
"Itu Iki, Al!" seru Lala padaku.
"Emang iya?" Aku terkejut karena Lala bahkan hapal suara motor Iki. Aku saja gak ngeuh kalau pengendara yang knalpotnya berisik tadi adalah Iki.
"Eh, tapi dia tahu darimana kalau kita bertemu di sini?" tanyanya padaku.
"Aku kok yang kasih tahu tapi aku gak tahu kalau dia sampe nyusulin ke sini," jawabku. "Oh, iya. Katamu, ada yang mau diomongin?" Ingatku padanya.
"Iya, Al. Jadi, aku nemuin kamu buat mohon sama kamu supaya kamu bener-bener tekat buat ninggalin Iki, please," pintanya penuh harap padaku.
"Kenapa? Karena kamu sayang dia? Kamu cinta dia? Cuma kamu aja, La? Terus aku enggak?" cecarku padanya.
"Aku paham kalau kamu nganggep aku egois tapi aku punya alasannya. Alasan yang sangat kuat ...." Seolah ia ragu untuk melanjutkan perkataannya.
"Udah, ngomongin aja semuanya, sekarang, di sini! Buat apa ketemu kalau kamu gak mau ngomong?"
"Aku malu, Al buat bilangnya." Matanya tampak berkaca-kaca.
"Malu? Kenapa, La? Kamu udah diperawanin ama dia? Maaf. Aku udah dari kemarin-kemarin menilai caramu yang gak wajar demi bisa balikkan ama Iki." Aku mengatakan itu sambil memandang lekat-lekat pada matanya dan berharap bahwa dugaanku salah.
"Aarrghhhh!" erangku. Aku tertawa. Antara percaya dan tidak tapi mata Lala berkata jujur. "Baiklah, La. Aku janji, aku bakal tinggalin dia buat kamu!" janjiku pada Lala.
Lala menggenggam erat kedua tanganku dan mengucapkan terimakasih banyak atas janji dan pengorbanan yang sudah kubuat untuknya.
Aku melakukan itu bukan tanpa alasan. Aku cewek, dia cewek tapi aku masih punya banyak kesempatan buat dapetin cowok lainnya. Sedangkan Lala, mungkin, Iki satu-satunya kesempatannya.
=====
"Kemarilah! Dia sudah pergi," pintaku pada Iki setelah yakin bahwa Lala sudah gak ada di kawasan tugu lagi.
Gak sampai 1 menit, ia dan motornya yang berisik sudah tiba di hadapanku. Ternyata, Iki terus mengawasi aku dan Lala sewaktu kami sedang bicara.
"Aak, Al udah tahu semuanya, semuanya!" Aku sengaja menekan kata itu sambil menunggu responnya. Ia hanya tertunduk dan tampak menyesal.
"Maafin aak, Al tapi aak gak mau kita pisah. Aak sudah putusin dia. Dia bukan siapa-siapa aak lagi."
"Aak, kalau aak sama dia cuma sebatas pacaran, Al mungkin masih bisa terima meskipun aak sudah berani dobelin Al. Tapi ini ... Aak tu sama dia udah ngelakuin hal yang di luar norma. Aak gak sekedar pegang tangan atau cium dia, Aak ngelakuin jauh dari itu ...." Suaraku meninggi saat merinci kelakuannya.
"Tapi, aak betul-betul sayang dan maunya nikah sama Al. Itulah kenapa aak jagain Al terus supaya Al gak dirusak dan gak rusak, baik itu sama cowok lain atau aak sendiri."
Aku tersanjung mendengar perkataannya. Memang benar adanya, Iki tak pernah menyentuh, apalagi merusak bagian dari diriku itu. Namun, tetap saja. Ia telah melakukannya dengan cewek lain.
"Terus, aak boleh gitu mencampakkan seseorang seenak hati Aak? Boleh, aak ninggalin dia setelah masa depannya aak hancurin? Nggak, Aak gak bisa, aak gak boleh begitu!"
"Al sudah tekat buat putus dari aak demi kebaikan kita bersama. Tolong, aak kembali ke Lala. Jaga dia, seperti dulu, sebelum Aak kenal Al." Aku langsung mengkode temanku yang menemaniku ke sana agar kami segera cabut dari tempat itu.
"Tunggu, Al" Tangan Iki meraih dan mencengkram kuat tanganku. Aku seketika murka sambil melihat ke arahnya. Namun, wajahnya sedang tertunduk. Terdengar suara isakkan. Sangat kecil tapi aku tahu, Iki menangis!.
Aku paling gak bisa melihat air mata seorang cowok. Bagiku, air mata mereka adalah kesedihan atau penyesalan yang mendalam. Terlebih, Iki sosok cowok yang mandiri dan tahan banting. Jika ia sampai menangis, berarti aku telah sangat menyakitinya.
"Aak," sapaku selembut mungkin, "sini!" Aku membawa kepalanya agar beralih ke pundakku. Bagai anak kecil, ia menurut.
"Ceup, ceup, ceup!" ucapku menenangkannya sambil menepuk pundak dan mengelus rambutnya sepelan mungkin.
"Ini yang bikin aak milih Al," ucapnya lirih, "Al janji dulu! Gak marah lagi sama aak? Gak ninggalin aak?" rengeknya padaku, seperti bayi.
Keadaan membuatku terpaksa berkata, "baiklah!"
Ia kemudian melepas kalung dari lehernya. Aku tahu betul, kalung itu sangat bersejarah dalam menemani perjalanan hidupnya. Ia menabung dari hasil kerja kerasnya dan ketika uangnya sudah cukup, ia membeli kalung itu.
"Al sayang, kalung ini sebagai penanda bahwa Iki sudah mengikat Al!" ucapnya sambil memasangkan kalung itu di leherku. "Kalau Al bilang, iya! Aak bakal siapin cincin pernikahan kita. Sementara itu, tolong, jaga kalung ini. Hati aak ada bersama kalung ini." ucapnya penuh harap sambil menata kalung itu di leherku.
"Makasih, Aak. InsyaAllah, jika kita berjodoh maka kalung ini akan selalu ada di leher, Al. Soal nikah, Al butuh waktu. Gapapa, kan?" bujukku meyakinkannya.
Bagai buah simalakama. Jika aku menepati janji pada Lala maka aku akan menyakiti Iki tapi Iki sepertinya benar-benar mencintaiku. Kata ibu, aku akan bahagia jika menikahi cowok yang sangat mencintaiku, bukan kebalikannya.
Akan tetapi, jika aku menerima ajakan Iki maka aku akan menyakiti Lala. Bagaimana kalau nanti Lala nekat bunuh diri? atau aku terkena balasan karena telah menyakiti hati sesama cewek meskipun berawal dari ketidaktahuan?
"Al," panggil Iki sambil mengelus rambut sampingku sehingga menggoyahkan seluruh ingatan di otakku akan masa lalu kami diantara pilihan yang sulit.
"Kamu cantik, ya kalau lagi bengong tapi lebih cantik lagi kalau lagi bete'," ucapnya sambil menarik hidungku.
"Ih, apaan, sik. Masih jahil aja, heran," omelku padanya dengan gusar.
"Kejahilan yang sama dengan hati yang masih sama," ucapnya pelan dengan senyuman pahit di wajahnya sambil tetap fokus menyetir mobil. "Eh, jadi, Al udah punya cowok, kan?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Ah, itu. Al rasa Riza udah ngasih tahu, kan?" pungkasku padanya agar obrolan pribadi semacam itu tak dibahasnya terlalu jauh.
Kami bertemu kembali setelah sekian lama gara-gara Riza, temanku. Ia dan Iki bertemu secara tak sengaja di tugu bundaran Jakabaring saat sama-sama tengah nongkrong.
Iki menanyakan kabarku padanya. Rasa rindu membuat Iki meminta bantuan Riza untuk bisa bertemu denganku. Alasanku masih mau menemui Iki karena ia bilang, itu untuk yang terakhir kali.
"Al, apa dia menjagamu, seperti aak dulu?" Tiba-tiba, Iki bertanya dengan serius.
"Sebaik aak! Jangan khawatirkan Al," ucapku meyakinkannya sambil berusaha tetap tersenyum.
Aku sendiri tak memiliki keberanian untuk bertanya balik padanya tentang bagaimana hubungannya dengan Lala atau bagaimana ia menjalani hidupnya setelah aku pergi meninggalkannya.
Tak sedikitpun... karena aku merasa sudah sangat jahat padanya. Meski, sesungguhnya aku sangat ingin bertanya, dimana ia tinggal sekarang? Sudah menikah atau belum? Kerja apa? Kerja dimana? Bagaimana keadaan keluarganya?
Namun, saat itu, aku memang tak punya pilihan lain. Menurutku, meninggalkannya adalah keputusan terbaik untuk kami bertiga.
Aku ingin memberi Iki kesempatan menjadi seorang pria sejati dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Lala.
Lagi pula, aku tahu, Lala sangat menyayangi Iki melebihi rasa yang kumiliki untuk Iki. Jika Lala yang diajak menikah oleh Iki, ia pasti tak akan berpikir berulang kali seperti aku.
Oleh karena itu, aku yakin, Lala pasti bisa menyembuhkan luka yang telah kubuat di hati Iki.
"Kita berhenti di sini?" tanya Iki padaku sambil memperlihatkan taman bunga yang indah yang terdapat dalam kawasan GOR Jakabaring.
"Boleh," jawabku.
"Ada penjual minuman. Ingin minum sesuatu?" tawarnya padaku.
"Boleh," jawabku.
"Ingin ikut denganku, bertemu orang tuaku?"
"Hah?" responku kaget.
"Dari tadi jawabnya boleh muluk, giliran ditanya begitu, malah, hah!" cetusnya pura-pura gusar.
Aku cengengesan sambil menikmati minuman teh kemasan botol di tanganku.
"Al, aak akan pindah ke luar kota. Kita mungkin gak akan bertemu lagi makanya aak ngajak ketemu hari ini."
Aku ingin mengucapkan sesuatu untuknya tapi lidahku kelu, aku tak tahu harus berkata apa. Setidaknya, aku ingin kata-kataku membuat hatinya tenang atau minimal, aku gak salah bicara.
"Ya, Aak. Al mendoakan, semoga Allah menuntun aak ke tempat yang memang baik untuk aak dan semoga segala sesuatunya berjalan baik, menjadi baik dan juga berkah, aamiin allahumma aamiin." Akhirnya, kata-kata itu bisa keluar juga dari bibirku.
"Hmmphh, makasih ya, Al," ucapnya sambil memandang wajahku lekat-lekat.
Posisi kami di dalam mobil dan bersiap untuk pulang tapi entah kenapa, melihat sikap Iki yang seperti itu padaku membuatku merasa takut.
"Tak kusangka. Gadis kecilku dulu, kini sudah tumbuh menjadi dewasa," Iki berbicara sambil mengelus pipiku. Lalu berganti dengan gerakan jemarinya yang menuruni leherku.
Aku sesak nafas rasanya karena tak tahu harus berbuat apa. Apa Iki akan mencekikku sekarang karena perbuatanku dulu? Aku memejamkan mata dan untuk sesaat, aku merasa ikhlas jika itu dapat mengobati luka di hatinya.
"Mana kalung dari aak dulu, Al?" tanyanya.
Aku salah sangka, Iki hanya mencari kalung yang dulu pernah diberikannya padaku.
"Maafkan Al, Aak. Al sudah berusaha menjaga kalung itu sebaik mungkin tapi kalungnya hilang," jawabku jujur dengan raut wajah sedih. Aku tahu, aku menambah rasa kecewa lagi di hatinya.
"Gapapa, Al. Seperti yang dulu kamu pernah bilang bahwa kalung itu penanda, jodoh atau tidaknya kita."
Aku benar-benar menyesal telah menghilangkan kalung pemberian Iki. Sesungguhnya, aku berniat untuk mengembalikan kalung itu padanya tapi kalungnya terlanjur hilang. Aku mencarinya kemana-mana tapi tetap tak kutemukan.
Iki mendekatkan wajahnya padaku. Aku benar-benar gemetar tentang apa yang akan dilakukannya kali ini. Beruntung, ia menyadari kondisiku detik itu pula sehingga ia memundurkan wajahnya dariku.
Aku buru-buru membuang muka dan tubuhku berlawanan dengan posisi duduknya sehingga membuatnya tersadar akan kesalahan yang dibuatnya.
"Al maaf," ujarnya memohon. Sementara aku tetap diam. "Aak benar-benar minta maaf tapi sumpah, Aak gak punya niat buruk sama sekali. Aak hanya merasa akan merindukan Al makanya aak mandangin wajah Al terus." Suaranya terdengar lirih.
Aku jadi merasa bersalah karena sudah bersikap berlebihan, "iya, Aak. Al juga minta maaf, ya," ucapku sambil mengambil salah satu tangannya dan menepuk-nepuknya pelan.
"Kalau begitu, aak boleh lihat wajah Al dari dekat sekali lagi? Aak janji, ini yang terakhir kalinya dan mungkin, kita tak akan bertemu lagi, kecuali dalam waktu yang lama" ucapnya meyakinkanku.
"Baiklah tapi Aak janji, ya! Jangan buat Al takut, apalagi menyakiti Al?"
"Tidak akan, Al!" ucapnya mantap.
Iki memegang wajahku dengan kedua tangannya. Ia mengelus kedua pipiku dengan kedua ibu jarinya. Ia masih ingat bahwa itu adalah perlakuan yang membuatku nyaman. Ia lalu meletakkan wajahku di bahunya dan memeluk erat bahuku.
"Al jaga diri, ya!" ucapnya sedih.
"Al," Iki kembali merengkuh wajahku dengan kedua tangannya lagi. Aku tertegun menatapnya. Ia lama, seperti menunggu izin dariku untuk menciumku. Aku bingung tapi kuizinkan juga karena melihat ekspresi di wajahnya.
"Maaf, ya, Al. Anggap saja, ini kenang-kenangan terakhir darimu untukku," ucapnya yang melupakan kata "Al dan Aak" dan menggantinya dengan kata "mu dan ku".
=====
Sudah bertahun-tahun lamanya sejak pertemuan terakhir kami. Mungkin, itu benar-benar menjadi pertemuan terakhir kami. Hingga saat ini, aku dan Iki tak pernah bertemu lagi.
Apa kabar, Iki? Al sudah tidak di sana lagi, baik di tugu atau di kota, dimana kita dulu bertemu. Sepertimu, aku juga pergi tapi aku tak sendiri. Aku bersama seseorang yang kusebut, suami.
Semoga kau bahagia, sepertiku, aamiin allahumma aamiin.
Quote:
Sumber : Pengalaman Pribadi
Gambar : Tercantum
Quote:
---------------------------------------------
Kalau suka thread ini, jangan lupa
---------------------------------------------
✓ Rate dan cendol thread ini
✓ add pertemanan
✓ share thread ini

---------------------------------------------