Ada hal-hal baik yang mungkin bisa kau terima dari hidup sendirian: Tidak ada yang memerintah, pergi ke manapun tak perlu pamit, terlatih pula untuk merasa tak perlu pasangan.

Sunyi, sendiri kadang memang terasa manis. Tetapi jauh di lubuk hatimu, ia merongrong persendian rasamu, menggerus kesenanganmu, pelan-pelan. Hingga saatnya kau menyadari, merenung dan mulai berpikir: andai ada pasangan, tentun akan menyenangkan. Ada yang bisa diacak berbincang bukan hanya satu arah tetapi dua arah.

Larik kalimat terakhir itu mungkin juga terlintas oleh si Mul kira-kira 30 tahun. Salah seorang warga di desa tempat saya tinggal yang mengalami gangguan intelektual. Itu mungkin saja. Sebab dia tidak seperti orang kebanyakan yang pernah bersekolah.

Dalam keterbatasan yang ada pada dirinya, Mul, begitu dia biasa dipanggil, dituntut untuk hidup mandiri setelah ayahnya wafat sekira 10 tahun lalu. Hanya dengan ibu yang telah renta dan sakit-sakitan dia hidup. Menempati rumah warisan yang sangat sederhana. Terlihat lebih baik kini setelah memperoleh bantuan dari desa.


Walau begitu, Si Mul terlihat cukup mandiri dalam mengurus kebutuhan hidupnya. Dia bisa memasak, mencuci dan mengurus rumah. Bersedia disuruh-suruh apa saja oleh tetangga dengan upah seadanya. Mencuci piring, membantu di kebun atau pekerjaan kasar lain yang diperintahkan padanya. Ini berlaku sudah sejak beberapa tahun kebelakang. Terbiasa untuk melakukan kegiatan demikian dikarenakan kondisi ibunya yang renta dan tak mampu lagi berjalan.

Hal utama serius yang terkadang ia hadapi yakni tak ada baju layak untuk dipakai, sering pula tak punya beras juga lauk yang cukup untuk dimasak. Kalau sudah begitu Si Mul akan datang ke tetangga - tetangganya, menawarkan tenaga. Untuk mendapat sekantong beras saja.

Sebagai salah seorang tetangga rasa iba acap kali muncul. Mul dengan kesederhanaan, keluguan dan kepolosan menerima keadaan. Anak-anak kecil sering menggoda memanggil namanya. Mul, Mul, Mul. Dia tidak marah, bahkan tertawa. Melambaikan tangan, membalas sapa. Tak sadar dirinya sedang menjadi obyek candaan.

Iba, sungguh sangat mendera dada. Yang mengolok, yang mencela keterlaluan saya rasa. Dia tidak menyalahi sesiapa, hanya tidak sama itu saja. Mengapa harus diperlakukan sedemikian rupa?

Untunglah masih banyak yang baik hati padanya. Meski dalam kesederhanaan dia dan ibunya masih bisa makan. Walau seringnya mendapat makanan sisa kemarin dari tetangga. Dia mensyukuri. Dia balas dengan terima kasih dan doa. "Gusti Allah seng mbales nggih."

Itu yang selalu dikatakan pada yang sudah memberi. Termasuk pada saya. Segala doa, juga ucapan matur suwun diberikan. Termasuk senyum tulus darinya, juga ibunya. Bahagia terpacar ketika dia menerima zakat Fidyah dari orang tua kaya yang tak mampu puasa di desa saya. Saya mendapat amanah, menyampaikan fidyah, sebagai ganti puasa si orang tua kaya.

Saya tidak memberi. Hanya menyalurkan. Tetapi efek yang saya terima sungguh luar biasa. Ada rasa syukur, ada rasa malu mendapati diri yang sering suka mengeluh karena tak cukup penghasilan. Mul, dia tak pernah mengucap keluh. Hanya senyum dan tawa, untuk apapun yang dia terima. Bahkan ketika tak mendapatkan apa-apa.

Salam Mul, aku belajar narasi kehidupan padamu. Dalam sunyi, tanpa teman berbicang. Dengan kesendirian, ada pancaran syukur yang membuatku berkaca. Harusnya, kusyukuri semua yang kumiliki. Sepertimu Mul. Bersyukur, tanpa dalil dan dalih apapun.