Kaskus

Story

mbak.farAvatar border
TS
mbak.far
Kau Tak Bersamaku, Tetapi Doaku Menyertaimu
Kau Tak Bersamaku, Tetapi Doaku Menyertaimu

"Saya berjanji akan rajin salat dan belajar mengaji setelah ini, Om," rintih Mas Sam mirip rengekan anak kecil yang ingin dikasihi.

Abah melotot dengan sinis ke arah pemuda tampan yang tangannya dipenuhi tato itu.

"Sudah telat!" jawab Abah singkat sembari membuang muka.

Aku hanya bisa menggigit bibir sembari menelan getir kenyataan, di balik kelambu jendela kamar yang persis menghadap ruang tamu.

"Tapi, Om ...." Mas Sam mencoba menyangkal keangkuhan Abah dengan sorot matanya yang sayu, tersimpan sebuah harapan besar di sana. Aku tahu itu.

"Kamu gak pantas jadi pendamping anak saya. Gak becus jadi imam. Salat gak pernah, ngaji gak bisa. Cih! Lebih baik jangan pernah ke sini dan jangan pernah lagi menemui Farha," seru Abah pongah sambil melipat tangan. Ia bangkit dari kursi, memberi isyarat agar Mas Sam beranjak pergi.

Tidak terasa bulir bening menghangat di kedua pipiku, menyaksikan betapa Mas Sam tampak begitu terhina dengan seloroh Abah.

Sekali ini aku bahkan bisa melihat seorang pemuda sangar itu pun menitikkan air mata, tetapi begitu, ia masih mempertahankan tata krama yang belakangan coba ia terapkan.

"S-saya pamit, Om. Assalamu'alaikum." Mas Sam mendekati Abah, tetapi ayah kandungku itu justru menjauh untuk menolak memberi salim kepadanya.

Mas Sam menyeka air mata, sekali melirik ke arah jendela dan melempar senyum ketegaran ke arahku. Aku mengangguk sekali dengan menangkupkan telapak ke mulut.

"Mas Sam, kita nikah lari saja!" saranku siang lalu, di belakang komplek madrasah.

Ia hanya tersenyum teduh menatap padang ilalang yang menghampar luas di hadapannya, sembari mendesah sebentar, "tidak, Far, tidak!"

Sejenak tercipta kebisuan, hanya kicau burung beranjangan dan sema'an ngaji yang merdu nan kompak anak-anak madrasah.

"Kita ingin meraih ridho Tuhan dengan menikah, bukan?" Ia menoleh ke arahku yang duduk 1 meter darinya.

Aku mengangguk dalam tunduk.

"Aku tidak ingin memulai hubungan suci dengan jalan yang tak direstui. Aku tidak ingin menjadi pria pengecut yang memilih lari daripada berusaha meraih restu orangtua," sambungnya membuatku merasa terpana sekaligus tertampar seketika.

Aku, sungguh malu kepada Mas Sam, yang ternyata memiliki pemahaman adab lebih baik, meski sejauh ini ia diasuh oleh pendidikan liar yang cukup keras.

Mas Sam, ia sebenarnya lelaki yang baik, tetapi mengapa Abah tidak mengerti itu?

Mengapa Abah enggan memberinya kesempatan untuk berubah menjadi baik? Bukankah Tuhan pun selalu memberi kesempatan untuk hamba-Nya berubah selama napas masih dikandung badan?

"Percayalah, Far, Mas Sam-mu ini akan rajin salat."

Ia menatap hamparan langit biru yang berhias awan cumulunimbus, "akan segera kubuktikan kepada Abahmu, kalau aku juga bisa mengaji," tekadnya dengan sorot penuh keyakinan.

Ia menyedekapkan tangan sembari menyandar ke kursi rotan yang kokoh. Semakin nampak gambar tato naga menghiasi tangan dan lengannya yang kekar.

"Sejak mengenalmu, aku jadi berubah sekarang. Aku jadi kenal siapa Tuhan-ku. Aku juga jadi malas godain cewek-cewek di komplek perempatan. Maunya malah pingin segera jadi imammu, eh, suamimu. Hihi ...," godanya setengah berkelakar.

Aku tersenyum kecil. Rasanya, seperti mendengar sebuah harapan. Dan, apalagi? Aku menunduk malu-malu sambil menghalau ujung kerudung yang tertiup angin.

"Kau tahu, sebelumnya hidupku sangat kotor dan gelap," kenangnya sambil mengubah posisi duduk. Sorot matanya seolah menerawang ke sebuah masa yang paling ia lekat.

"Semua orang memiliki kisah hidupnya masing-masing," lirih jawabku.

"Dan bersamamu aku ingin berubah menjadi lebih baik," rayunya sambil melempar kerlingan.

Aku tersipu. Rasanya, kedua pipiku telah merah merata.

Entah, siapa yang mengira jika peristiwa yang menimpaku 6 bulan lalu, saat Mas Sam datang menolongku bak pahlawan dari aksi begal, rupanya menjadi awal mula kami saling kenal lantas saling mencinta hingga memutuskan ingin membina rumah tangga bersama.

Jalan hidup siapa yang mengira, bukan?

Selama 6 bulan belakangan, aku mengenal dengan baik siapa Mas Sam.

Abah hanya menilai seseorang sebatas dari penampilan luar. Selalu seperti itu, dan itulah yang kujadikan alasan untuk menolak laki-laki pilihannya.

"Kamu siap-siap, nanti malam Abdulloh mau ke sini sama keluarganya," ujar Abah usai mengusir Mas Sam secara tidak langsung.

"Abdulloh?" gumamku dengan kening mengeryit.

Abah selalu lekas jika itu berurusan dengan keinginannya, tanpa perlu bertanya dan meminta persetujuan dariku selaku yang bersangkutan memiliki hajat hidup.

Riuh gemuruh memenuhi langit-langit ruang tamu. Berbagai kudapan tersaji di atas meja menemani obrolan hangat dua keluarga.

Aku mengintip dari jendela, dan baru sekali ini melihat wajah pemuda yang ditetapkan Abah sebagai calon suamiku.

"Calon suami?" Air mataku meleleh kembali, sembari menyandarkan punggung yang berguncang kecil ke tembok.

Terbersit sebuah ide gila di kepala, segera kuraih ponsel di atas ranjang untuk memberi tahu Mas Sam agar lekas membawaku pergi sejauh mungkin.

"Kadang-kadang orangtua perlu diberi sedikit pelajaran," pekikku dalam hati.

Namun sebelum itu, di waktu yang bersamaan Mas Sam lebih dulu melakukan panggilan video yang membuat hatiku semakin teriris.

"Bagaimana, aku sudah sedikit lancar, kan, mengajinya?" ucapnya semringah di akhir pembacaan surah al-Fatihah.

Aku mengangguk berulang kali, sekaligus menangis dibalut senyum bangga. Betapa niat belajar Mas Sam begitu sungguh.

Kau Tak Bersamaku, Tetapi Doaku Menyertaimu
gambar

Namun, seketika aku mengurungkan niatku untuk memberitahu, jika di luar sudah ada keluarga dan orang yang akan secara sah menghalau hubunganku dengannya.

Aku tak sanggup melihat Mas Sam hancur, terlebih, di saat tengah giatnya ia belajar agama.

Semua terjadi begitu cepat.

Dua bulan kemudian, sebuah acara digelar di rumah, dihadiri tamu undangan yang sebagian besar adalah rekan Abah.

Aku sudah dipenuhi hiasan layaknya pengantin. Bersama pria yang dengannya takdirku telah dipaksakan oleh Abah.

"Maafkan aku, Mas Sam, aku tak sanggup memberitahu pernikahanku ini kepadamu. Maafkan aku selama ini menghindar darimu. Aku tak sanggup," pekikku dalam hati sembari menahan tangis, dan memaksa senyum hambar untuk setiap tamu undangan yang datang.

Aku tidak pernah menyangka jika di antara tamu undangan, adalah Mas Sam yang hadir dengan penampilannya telah berubah.

Ia bukan lagi Mas Sam yang lengannya dipenuhi tato, dengan rambut gondrong dan berewok yang khas.

Ia adalah Mas Sam-ku, lelakiku, raja yang masih bertakhta di hatiku, dengan senyum keikhlasan ia tampil bersahaja, tanpa tato, rambut rapi serta mukanya bersih yang membuatnya semakin tampan.

"Selamat, ya, Farha," ucapnya singkat, merontokkan hatiku yang rapuh. Aku tak sanggup membalas, hanya menatap lekat dengan air yang telah memenuhi kelopak.

Lantas ia pergi, kutahu membawa pedih yang sama. Dalam tunduk hilang di antara kerumunan, membawa serta hatiku yang raganya telah menjadi milik orang.

Tuhan, mengapa Engkau pertemukanku dengannya jika akhirnya getir pisah yang kuterima?

Mas Sam-ku, ini Far-mu.
Kau tak bersamaku, tetapi doa-doaku selalu menyertaimu.
Diubah oleh mbak.far 03-05-2020 19:51
Iqiramadan21Avatar border
abellacitraAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
567
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan